Blog

Get informed about our latest news and events

SENYAWA AKRILAMID DALAM SEDUHAN KOPI

SENYAWA AKRILAMID DALAM SEDUHAN KOPI

Sri Mulato [cctcid.com]

Seduhan kopi merupakan salah satu minuman populer di dunia. Hampir 2,25 milyar cangkir kopi setiap hari dikonsumsi oleh penduduk dunia. Hasil studi National Coffee Drinking Trends  [NCDT USA] menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan konsumsi kopi sebanyak hampir 3 kali dalam rentan waktu tahun 2008 sampai tahun 2016. Selain faktor citarasa khas kopi, ketertarikan minum kopi secara rutin dipicu oleh faktor kesehatan. Konsumsi kopi dalam jumlah mederat [3 – 4 cangkir] per hari  dapat mencegah beberapa jenis penyakit, seperti, kanker usus, diabetes-2, penyakit jantung, kristalisasi asam urat pada tulang persendian dll. Sebaliknya, minum kopi dalam jumlah berlebihan bisa  memunculkan resiko buruk pada kesehatan peminumnya, yaitu, ekspansi asam lambung ke tenggorokan [heartburn], tekanan psikologis [stress], peningkatan detak jantung, sulit tidur [insomnia] dan kepala pening [migrain]. Baru-baru ini, penikmat kopi  diusik oleh isu bahwa seduhan kopi mengandung senyawa akrilamid [C3H5NO] yang diduga bersifat karsinogenik. Badan dunia di bawah naungan WHO, yaitu, International Agency for Research into Cancer [IARC] bahkan telah memasukkan akrilamid sebagai golongan senyawa “probably carcinogenic for humans”. Senyawa akrilamid merupakan hasil reaksi antara senyawa asam amino bebas jenis asparagin dan gula reduksi saat proses penyangraian biji kopi. Meskipun, pengujian masih terbatas pada hewan, keberadaan senyawa akrilamid dalam seduhan kopi harus diminimalisir sampai tingkat yang tidak membahayakan bagi kesehatan peminumnya. Beberapa metoda mitigasi [menurunkan] kadar senyawa akrilamid dalam seduhan sudah dilakukan dimulai dari pemilihan jenis biji kopi, perlakuan enzimatis biji kopi, kondisi sangrai dan cara penyeduhannya. Saat ini, batasan maksimal asupan akrilamid yang aman bagi kesehatan tubuh [safe daily intake] adalah 2,60 ppb/berat badan/hari.

REAKSI PEMBENTUKAN SENYAWA AKRILAMID

Pembentukan senyawa akrilamid dalam kopi selama penyangraian melewati 3 rute, masing-masing adalah reaksi Maillard, reaksi dekarboksilasi asam amino asparagin dan sintesa asam akrilat dari lemak atau dari asam amino non-asparagin yang banyak terkandung dalam biji kopi  [Gambar 1].

Gambar 1. Rute reaksi pembentukan senyawa akrilamid dalam biji kopi.

Rute-1 yaitu reaksi Maillard yang merupakan jalur utama terbentuknya akrilamid. Reaksi ini berlangsung pada kisaran suhu sangrai antara 120 – 150 °C dan pada kadar air rendah. Senyawa protein dalam biji kopi akan melepaskan asam amino. Secara bersamaan, senyawa karbohidrat disakarida [sukrosa] juga terpecah menjadi gula reduksi monosakarida jenis glukosa dan fruktosa. Hasil sintesa antara asam amino bebas dan gula reduksi adalah senyawa amadori, sebagai senyawa dasar untuk pembentukan aroma dan rasa khas kopi. Namun, reaksi Maillard juga menghasilkan produk samping berupa senyawa akrilamid. Senyawa ini merupakan hasil sintesa antara asam amino bebas jenis asparagin yang ada dalam kopi dengan gula reduksi.  Hampir 90 % produksi akrilamid terjadi lewat rute-1. Pada rute-2, asam amino asparagin mengalami dekarboksilasi menjadi senyawa antara [intermediate], yaitu 3-asam aminopropinamid. Senyawa ini kemudian mengalami deaminasi membentuk senyawa akrilamid. Andil rute-2 terhadap terbentuknya akrilamid relatif rendah karena hanya memanfaatkan sisa aspiragin dari reaksi Maillard.

Rute-3 berlangsung pada saat suhu sangrai biji kopi mencapai 200–225 oC. Suatu kondisi yang mampu memecah molekul gliserol  dalam biji kopi menjadi asam lemak. Degradasi lanjut asam lemak menghasilkan senyawa akrolein dan dilanjutkan pembentukan asam akrilat. Selain itu, asam akrilat juga muncul melalui peruraian beberapa asam amino yang terkandung dalam biji kopi, seperti, asam aspartat dan β-alanin. Akumulasi asam akrilat akan bersintesa dengan amoniak yang merupakan produk reaksi thermolisis protein. Lewat proses aminodehidroksilasi, asam akrilat berubah menjadi akrilamid. Seperti halnya pada rute-2, kontribusi rute-3 terhadap pembentukan akrilamid sangat minor karena ketersediaan senyawa-NH2 selama penyangraian biji kopi yang sangat terbatas.

BIOTRANSFORMASI AKRILAMID DALAM TUBUH

Senyawa akrilamid [AA] terdistribusi cukup cepat dalam darah melalui mekanisme absorpsi. Metabolisme akrilamid terjadi pada hepar [liver] oleh enzim sitokhrom P450 2E1 menjadi metabolit epoksida yang disebut senyawa glisidamida, disingkat GA [Gambar 2].

Gambar 2. Metabolisme akrilamid menjadi glisidamid dan efeknya terhadap DNA.

Senyawa GA ini bersifat sangat reaktif dan menyebabkan efek genotoksik yang mengganggu keseimbangan molekular DNA. Jejak distribusi senyawa AA dan GA terdeteksi dalam darah melalui peningkatan konsentrasi keduanya yang berubah secara dinamis sebagai fungsi waktu tinggal dalam darah. Keberadaan senyawa AA dan GA dalam darah tergantung pada laju absorpsi ke dalam plasma darah dan laju eliminasinya keluar dari tubuh. Setelah itu, senyawa AA akan terleminasi dan tidak terdeteksi adanya akumulasi dalam tubuh. Pada asupan AA sebanyak 0,125 mg/kg, kurva distribusi senyawa AA dan GA dalam darah tikus disajikan seperti pada Gambar 3 berikut,

Gambar 3. Distribusi dan eliminasi senyawa AA dan GA

Secara matematis, laju absorpsi ke dalam darah mengikuti persamaan kinetika reaksi order pertama. Pada fase absorpsi, molekul AA yang semula berada di dalam sistem pencernaan diserap oleh darah. Setelah 2 jam, konsentrasi AA dalam darah mencapai maksimum. Selanjutnya senyawa AA akan masuk ke fase eliminasi yang berlangsung dalam 2 tahap, yaitu metabolisme dan ekskresi. Secara bertahap, senyawa AA akan mengalami metabolisme dalam organ hati menjadi senyawa GA. Sehingga, GA baru terdeteksi dalam darah 2 jam setelah kadar AA dalam darah mencapai maksimum atau 4 jam setelah asupan AA. Setelah itu, distribusi senyawa GA merata hampir di seluruh jaringan tubuh. Keduanya tidak tinggal selamanya atau terakumulasi dalam organ-organ tubuh. Enam puluh [60] % senyawa AA akan tereliminasi keluar dari dalam tubuh lewat urin setelah 24 jam asupan. Hanya 2 % senyawa AA terbuang dalam bentuk aslinya. Sisanya keluar dari tubuh dalam bentuk senyawa metabolitnya lewat urin dan sedikit terdeteksi dalam feses. Laju eliminasi AA dan GA dari dalam tubuh mengikuti persamaan order degradasi eksponential. Waktu paruh AA dan GA dalam tubuh lebih kurang 5 jam.

Perhatian keberadaan senyawa akrilamid sebaiknya tidak hanya terfokus pada seduhan kopi. Dewasa ini, masyarakat luas, mulai dari anak sampai orang tua, tanpa menyadari telah mengkonsumsi akrilamid dari berbagai bentuk dan sajian makanan. Selain kopi, akrilamid bisa terbentuk dalam bahan pangan jenis apapun yang mengandung gula reduksi dan asam amino asparagin serta diolah pada suhu di atas 120 oC. Kandungan akrilamid dari berbagai makanan disajikan pada Gambar 4 berikut,

Gambar 4. Kisaran kadar akrilamid dalam berbagai jenis makanan/minuman.

Kadar akrilamid dalam kopi sangrai sebetulnya relatif rendah, yaitu di kisaran 225 – 350 ppb. Nilai ini jauh lebih rendah dibandingkan kandungan akrilamid keripik kentang,  yang mencapai 1000 ppb. Minum kopi biasanya dibarengi dengan makan camilan berupa gorengan. Keduanya mengandung akrilamid. Secara kumulatif jumlah asupan akrilamid harus diatur agar tidak melibihi ambang batas aman untuk kesehataan. Saat ini, batas aman asupan harian akrilamid [safe daily intake] adalah 2,60 ppb/berat badan/hari. Bagi seseorang dengan berat badan 70 kg, batasan maksimal asupan akrilamid adalah 182 ppb. Jika kadar akrilamid dalam 1 cangkir [160 ml] seduhan French Press kira-kira 10 ppb, maka konsumsi seduhan kopi per hari tidak boleh melebihi 18 cangkir. Tingkat konsumsi kopi rata-rata warga Eropa adalah 8 kg/orang/tahun. Kontribusi seduhan kopi terhadap asupan akrilamid harian hanya 2 %. Sisanya berasal dari makanan yang berbahan baku kentang, gandum dan sereal [Gambar 5].

Gambar 5. Kontribusi berbagai jenis makanan pada asupan akrilamid.

 

Konsumsi kopi penduduk Indonesia saat ini baru mencapai 1,30 kg/orang/tahun. Sehingga, peran kopi terhadap asupan akrilamid diperkirakan hanya sepersenam dibandingkan yang terjadi di Eropa. Namun, masyarakat Indonesia sangat gemar minum kopi dibarengi dengan makanan gorengan. Nasi goreng mengandung akrilamid sebesar 60 ppb, sedangkan kadar akrilamid dalam kripik pisang mencapai 770 ppb.

FAKTOR PENENTU PEMBENTUKAN AKRILAMID

Pada tahun 2002, Pemerintah Swedia pertama kali mengumumkan keberadaan senyawa akrilamid yang terkandung dalam beberapa jenis makanan. Akrilamid banyak dijumpai pada makanan berkarbohidrat dan diolah pada suhu tinggi pada kondisi kering [baking, roasting atau frying]. Melalui kajian yang mendalam, senyawa penentu utama pembentuk akrilamid dalam makanan/minuman adalah asam amino bebas jenis asparagin yang terkandung dalam bahan baku. Makin tinggi kandungan asparagin dalam bahan baku, produk pangan yang dihasilkan cenderung mengandung akrilamid yang semakin tinggi pula [Gambar 6].

Gambar 6. Korelasi antara kadar asparagin bahan baku dan akrilamid makanan.

Pelaku industri makanan dan minuman mulai mencari metoda untuk menurunkan kadar asparagin dalam bahan baku sampai batas miminal yang mungkin dilakukan atau sering disebut ALARA [As Low As Reasonably Achievable] dengan mempertimbangkan aspek teknik, ekonomis dan citarasa produk. Beberapa metoda mitigasi akrilamid dalam kopi telah dicoba pula, antara lain, melalui pendekatan agronomi, pengolahan pascapanen, perlakuan bahan secara enzimatik, penyangraian dan penyeduhan.

 

Agronomi

Secara agronomis, perlakuan pemupukan sangat berpengaruh pada sintesa dan produksi asparagin dalam tanaman. Asparagin termasuk asam amino yang bisa terakumulasi dalam tanaman pada konsentrasi tinggi. Asparagin terbentuk saat tanaman mengalami perlambatan dalam sistesis protein, sementara tanaman tersebut mendapat asupan pupuk nitrogen [N] secara berlebih. Tanaman akan memanfaatkan kelebihan nitrogen dalam bentuk senyawa asparagin, karena tanaman tidak bisa menyimpan dalam bentuk senyawa protein. Akumulasi asparagin akan lebih banyak terjadi pada tanaman yang sedang mengalami stres, seperti terkena serangan penyakit, musim kering, keracunan logam toksik dalam tanah dan defisiensi unsur hara mineral sulfur [S]. Selain itu, defisiensi S juga menyebabkan konsentrasi asam amino bebas jenis glutamin mengalami peningkatan cukup  signifikan. Glutamin merupakan salah satu jenis asam amino prekursor akrilamid kedua setelah asparagin. Selain glutamin, tanaman juga mengandung beberapa jenis asam amino pembentuk akrilamid, meskipun perannya sangat kecil [Tabel 1].

 

Tabel 1. Jenis asam amino pembentuk akrilamid pada produk pangan.

Pemilihan Jenis Kopi

Jenis kopi komersial yang dikenal saat ini adalah arabika dan robusta. Keduanya berbeda secara spesies dan ekosistem pertumbuhannya. Tanaman arabika ditanam di ketinggian lahan di atas 1000 m dpl [di atas permukaan laut], sebaliknya tanaman robusta dibudi-dayakan pada ketinggian lahan di bawahnya. Perbedaan suhu dan kelembahan di kedua lahan tersebut menyebabkan komposisi kimia biji kopi kedua jenis tanaman tersebut berlainan. Salah satu di antaranya adalah kandungan senyawa asam amino asparagin. Kadar asparagin dalam kopi berkisar antara 200 sampai 1000 ppm dengan proporsi biji kopi robusta cenderung lebih tinggi. Hal tersebut menjadikan kadar akrilamid biji kopi sangrai robusta lebih tinggi dari kandungan akrilamid biji sangrai arabika[Gambar 7].

Gambar 7. Korelasi kadar asparagin biji kopi mentah dan kadar akrilamid biji sangrai.

Kandungan akrilamid yang tinggi pada kopi robusta bisa berdampak munculnya kekawatiran para penikmat seduhan kopi robusta. Mayoritas produksi Indonesia didominasi jenis robusta, sebanyak 75 % dan sisanya adalah jenis kopi arabika. Mitigasi kadar akrilamid seduhan robusta dapat dilakukan dengan pendekatan formulasi campuran [blending]. Dengan menambahkan biji kopi arabika pada proporsi tertentu, kadar akriamid seduhan robusta bisa lebih berkurang. Selain itu, formula campuran sekaligus bisa memperbaiki rasa seduhan kopi robusta yang secara alami didominasi rasa pahit [bitter] dan sepat [astringet]. Intensitas kedua atribut rasa tersebut bisa sedikit ditekan dengan penambahan biji kopi arabika yang memiliki  variasi rasa yang lebih komplek, yaitu rasa asam [acid], manis [sweet], rasa buah [fruity] dan rasa herbal.

Metoda Pengolahan Buah Kopi

Biji kopi kering diperoleh dari pengolahan buah kopi hasil panen melalui beberapa metoda, yaitu, proses natural [dry process], semi-washed [pulp natural] dan proses basah [washed]. Proses natural dilakukan dengan cara penjemuran buah kopi hasil panen sampai kering dengan kisaran kadar air 12-12,5 %. Pada proses semi-washed, buah kopi dikupas kulitnya [depulped] terlebih dahulu. Biji kopi yang masih terbungkus kulit tanduk [parchment] kemudian dijemur sampai kering. Pada proses basah, biji kopi berkulit tanduk difermentasi secara mikrobiologis selama 12-36 jam. Mikroba alami akan mengurai pulpa di permukaan kulit tanduk agar mudah dibersihkan dengan proses pencucian menggunakan air. Biji kopi berkulit tanduk yang sudah bersih kemudian dijemur sampai kering seperti halnya pada kedua metoda sebelumnya. Perbedaan metoda pengolahan tersebut menyebabkan komposisi kimia biji kopi hasil masing-masing metoda juga berlainan. Kandungan senyawa terlarut biji kopi hasil proses natural lebih tinggi dari senyawa yang sama hasil proses basah. Sementara, kadar senyawa terlarut hasil proses semi-washed terletak di antaranya.

 

Pengupasan kulit buah hasil panen secara mekanik [pulping] berpotensi menyebabkan cacat fisik terhadap biji kopi [defective beans]. Biji pecah menyebabkan dinding sel rusak. Asam amino asparagin dan gula reduksi terbebas dari dalam sel. Kadar asam amino asparagin cenderung meningkat pada biji kopi yang mengalami cacat fisik. Asam amino bebas kemudian bersintesa dengan gula reduksi melalui reaksi Maillard. Karena berlangsung pada suhu rendah dan kadar air masih cukup tinggi, reaksi Maillard tidak menghasilkan akrilamid, tetapi merubah warna biji menjadi coklat atau sering disebut pencoklatan secara non-enzimatik. Jumlah biji cacat muncul lebih banyak terutama pada pengolahan buah kopi muda [immature bean]. Lapisan daging buah pada buah muda belum terbentuk secara sempurna. Sehingga, kulit buah kopi sulit dikupas dan berpotensi menyebabkan biji cacat lebih banyak. Untuk menekan kandungan asparagin, panen dianjurkan dilakukan saat buah kopi sudah masak [petik buah merah].

Perlakuan Enzim Asparaginase

Aplikasi enzim asparaginase dilakukan dengan merendam biji kopi ke dalam larutan air-enzim asparaginase konsentrasi 50 % [basis berat biji kopi] pada suhu 50 – 60 oC selama 60 – 90 menit. Selama perendaman, enzim asparaginase akan merubah asam amino asparagin menjadi asam aspartat melalui mekanisme reaksi deaminasi [Gambar 8].

Gambar 8. Reaksi enzimatis asparagin menjadi asam aspartat.

Untuk mempercepat reaksi enzimatis, biji kopi awalnya dikukus dengan uap air panas [steaming] beberapa saat baru kemudian baru direndam dalam larutan enzim asparaginase. Proses pengukusan bertujuan untuk memperbesar pori-pori biji kopi agar enzim asparaginase mudah mendifusi ke dalam biji kopi selama perendaman dan berinteraksi lebih cepat dengan asam amino asparagin. Asam aspartat yang terbentuk merupakan salah satu jenis asam amino dan juga berperan dalam reaksi pembentukan akrilamid dalam biji kopi sangrai lewat senyawa antara, yaitu asam akrilat [Gambar 1]. Namun, kontribusinya dalam menghasilkan senyawa akrilamid relatif sangat kecil, yaitu di bawah 50 ppb [Tabel 1]. Setelah proses enzimatis selesai, biji kopi dikeringkan ulang sampai kadar airnya mencapai 12,50 %. Gambar 9 menunjukkan penurunan kadar akrilamid biji sangrai setelah perlakuan perendaman dalam larutan enzim asparaginase.

Gambar 9. Hasil mitigasi akrilamid secara enzimatis.

Pada perlakuan dengan beberapa jenis biji kopi arabika, enzim asparaginase mampu menurunkan pembentukan akrilamid dalam biji sangrai rata-rata sebanyak 62 %. Sedangkan, pada perlakuan biji campuran arabika-robusta, enzim asparaginase hanya mampu menurunkan kadar akrilamid biji sangrainya hanya 32 %.

Metoda Penyangraian Biji Kopi

Reaksi Maillard dianggap sebagai cikal-bakal pembentukan warna dan aroma biji kopi sangrai dan berlangsung pada suhu 145 °C setelah kadar air bebas menguap dari dalam biji kopi. Kinetika pembentukan akrilamid dalam biji kopi sangrai sangat dipengaruhi oleh suhu dan waktu sangrai [Gambar 10].

Gambar 10. Kinetika pembentukan akrilamid biji sangrai selama proses penyangraian.

Akrilamid terbentuk pada awal proses sangrai seiring berlangsungnya reaksi Maillard. Pada laju sangrai lambat [slow roasting] di kisaran suhu 150 oC, kurva pembentukan akrilamid dalam biji sangrai meningkat bertahap secara lambat sebagai fungsi waktu sangrai. Pada sangrai lambat ini tidak terlihat munculnya titik maksimal pembentukan akrilamid, meskipun waktu sangrai sudah diperpanjang di atas 20 menit. Sedangkan, laju sangrai medium [medium roasting] pada suhu 200 oC menghasilkan akrilamid cukup cepat dan mencapai titik puncaknya [konsentrasi 310 ppb] pada menit ke-enam. Setelah itu, kadar akrilamid turun secara cepat menjadi 25 ppb pada saat proses sangrai masuk ke menit kesembilan belas [19]. Pada suhu 200 oC, akrilamid menguap dengan cepat karena suhu didihnya hanya 135 oC. Pada laju sangrai cepat [fast roasting], laju pembentukan dan peruraian akrilamid mencapai nilai yang relatif berimbang. Titik puncak kadar akrilamid [200 ppm] terjadi pada menit ke-lima, sedangkan proses degradasinya sampai konsentrasi 25 ppb dicapai pada menit ke-sepuluh. Sembilan puluh lima persen [95 %], akrilamid akan terurai pada kisaran suhu sangrai 200 – 225 oC. Masyarakat Indonesia umumnya menyukai citarasa seduhan kopi dengan tingkat sangrai medium-gelap [medium to dark]. Pada tingkat sangrai ini, citarasa seduhan kopi optimal dengan kadar akriamid yang relatif rendah [25 ppb].

Pengaruh Metoda Penyeduhan

Penyeduhan [brewing] adalah proses pelarutan senyawa pembentuk citarasa ke dalam air penyeduh. Biji kopi sangrai digiling halus dengan ukuran partikel bubuk tertentu agar bisa berinteraksi dengan air penyeduh secara optimal sesuai dengan jenis alat seduhnya. Akrilamid mempunyai polaritas yang tinggi dan sangat mudah dalam air. Jumlah akrilamid yang terlarut dalam seduhan ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu, jenis alat seduh, ukuran partikel bubuk kopi, perbandingan antara berat bubuk dan volume air, suhu air penyeduh, waktu penyeduhan dan pengadukan [agitasi]. Kadar akrilamid dalam seduhan dengan 5 jenis alat seduh disajikan pada Tabel 2 berikut,

Tabel 2. Kadar akrilamid seduhan kopi dengan berbagai jenis alat seduh.

Kelima jenis alat seduh tersebut termasuk populer digunakan oleh masyarakat luas. Metoda Ibrik menghasilkan seduhan dengan kadar akrilamid tertinggi, yaitu 75 ppb. Kemudian diikuti oleh seduhan tubruk [37 ppm]. Keduanya menggunakan teknik perendaman bubuk kopi, pada suhu air 100 oC, waktu penyeduhan yang relatif lama [10 menit] dan ukuran partikel bubuk kopi yang relatif halus. Ukuran partikel bubuk kopi 100 µ pada seduhan Ibrik berperan pada pelarutan akrilamid lebih banyak. Sementara itu, seduhan Trubruk menggunakan ukuran partikel bubuk kopi 500 µ, sehingga  kadar akrilamid seduhan Tubruk hanya separo dari nilai yang dihasilkan oleh seduhan Ibrik. Selain itu, kedua teknik tersebut mengandalkan teknik agitasi secara intensif menggunakan sendok agar jumlah senyawa terlarut lebih banyak.

Kandungan akrilamid seduhan espresso menempati urutan ketiga, yaitu 33 ppb. Dengan waktu seduh hanya 30 detik, kadar akrilamid seduhan espresso hanya sedikit lebih rendah di bawah nilai seduhan Tubruk. Faktor penentunya adalah tekanan air penyeduh yang tinggi [9 atm] mampu melarutkan akrilamid dalam jumlah lebih banyak  meskipun waktu penyeduhannya sangat pendek. Tekanan air merupakan teknik agitasi mekanik agar air seduh bisa masuk ke dalam partikel bubuk lebih cepat. Alat seduh French Press juga mengadopsi teknik penyeduhan dengan tekanan piston berperforasi, namun dilakukan secara manual. Tekanan piston manual yang hanya mengandalkan kekuatan tangan tidak cukup kuat untuk melarutkan akrilamid dalam jumlah banyak ke dalam air penyeduh. Sehingga, seduhan ini hanya mengandung akrilamid di kisaran 10 ppb. Ukuran bubuk partikel kopi yang yang relatif besar, yaitu 1500 µ dan juga suhu air seduh di bawah 100 oC menyebabkan jumlah akrilamid terlarut sangat terbatas. Suhu air seduh ini juga berlaku untuk alat seduh V60, Dengan ukuran partikel lebih halus, yaitu 800 µ, alat seduh V60 menghasilkan seduhan dengan kadar akrilamid 14 ppb atau sedikit lebih tinggi yang dihasilkan oleh seduhan French Press.

 

BAHAN BACAAN

Bagdonaite. K & M. Murkovic [2004]. Factors Affecting The Formation Of Acrylamide In Coffee. Proc. Chemical Reaction In Food V, Prague, 29. 9.–1. 10. 2004.

Guenther H.A, E. Anklam, Wenzl TC & RH. Stadler [2007]. Acrylamide In Coffee: Review Of Progress In Analysis, Formation And Level Reduction. Food Additives And Contaminants · February 2007. Food Additives And Contaminants, Supplement 1, 2007; 24(S1): 60–70

Maloney. K [2014]. Use Of Asparaginase to Mitigate Acrylamide Formation In Food. Bio World Congress, May 2014.

Mesias, M & F.J. Morales [2016]. Acrylamide In Coffee: Estimation Of Exposure From Vending Machines. Journal Of Food Composition And Analysis 48 (2016) 8–12.

 

Selmar D, G. Bytof & S.E. Knopp [2008]. The Storage Of Green Coffee (Coffea Arabica): Decrease Of Viability And Changes Of Potential Aroma Precursors. Annals Of Botany 101: 31–38, 2008. Oxford Journal.

 

Soares, RC. Alves, M. Beatriz & P. Oliveira [2015]. Factors Affecting Acrylamide Levels

In Coffee Beverages. Coffee In Health And Disease Prevention.Ed  VR. Preedy. Elsevier Inc. UK.

 

=====O=====

Leave a Reply

Your email address will not be published.

× WhatsApp