PENGOMPOSAN LIMBAH BIOMASSA
Sri Mulato [cctcid.com]
TUJUAN
Pupuk merupakan salah satu kebutuhan dasar untuk mendukung produktivitas hasil tanaman. Di sisi kain, harga pupuk anorganik terus meningkat secara tajam pada beberapa tahun terakhir ini. Hal ini telah mendorong petani untuk memanfaatkan semaksimal mungkin pupuk organik [kompos], terutama yang bahan bakunya tersedia cukup banyak di kebun [Tabel 1].
Tabel 1. Potensi biomassa tersedia di wilayah pedesaan.
Dari ke empat sumber biomassa tersebut, limbah dari budidaya padi, jagung dan singkong dianggap sebagai sumber yang paling potensial dan berkelanjutan. Setiap hektar sawah dengan produksi padi rata-rata 5,50 ton mensisakan biomassa dalam bentuk jerami dan sekam, masing-masing 3,60 dan 1,50 ton. Sementara itu, kegiatan budidaya jagung di lahan tegalan bisa meninggalkan residu dalam bentuk brangkasan [batang dan daun] dan tongkol jagung masing-masing 1,70 dan 1,50 ton per hektarnya. Ubi kayu [singkong] juga merupakan jenis tanaman populer yang dibudidayakan di lahan kering [tegalan]. Tanaman ini menghasilkan residu tanaman [batang dan daun] dan kulit umbi sisa pengolahan umbi singkong menjadi gaplek atau pati. Dengan asumsi produksi umbi 25 ton/hektar, jumlah residu tanaman dan kulit umbi bisa mencapai 4 – 5 ton.
Selain tanaman musiman, tegalan juga ditanami dengan tanaman tahunan seperti tanaman buah dan tanaman industri [kayu]. Selain menghasilkan seresah daun kering, kegiatan pangkasan tanaman tahunan secara periodik bisa menghasilkan bioamssa dalam bentuk ranting dan daun basah dengan taksiran 2 – 3 ton/ha/tahun. Campuran berbagai jenis biomassa yang tersedia di lahan petani di pedesaan merupakan bahan baku potensial untuk proses produksi kompos. Kondisi ini akan semakin baik jika di wilayah pedesaan juga tersedia kotoran sapi dan kambing. Kedua jenis biomassa ini berperan sebagai “starter” yang bisa mempercepat proses pengomposan. Seekor sapi dan kambing dewasa bisa menghasilkan kotoran padat masing-masing 10 kg dan 1 kg.
PROSES PENGOMPOSAN
Pengomposan [composting] adalah proses dekomposisi bahan organik, terutama senyawa karbon [C] dalam biomassa secara aerobik dengan bantuan mikro organisme [Gambar 1].
Laju proses pengomposan sangat dipengaruhi oleh 2 faktor utama, yaitu,
TEKNOLOGI PENGOMPOSAN
Teknologi proses produksi kompos dari beberapa jenis biomassa yang tersedia di pedesaan disajikan pada Gambar 2.
Proses produksi kompos diawali dengan penyiapan bahan baku dari beberapa jenis biomassa yang tersedia di kebun dan dikelompokkan atas dasar jenis, ukuran dan nilai perbandingan kandungan senyawa karbon dan nitrogennya [C/N ratio], seperti disajikan pada Tabel 2 .
Tabel 2. Nilai C/N beberapa jenis biomassa.
Jenis biomassa yang berukuran fisik besar [umumnya dari bahan dengan nilai C/N tinggi] harus dicacah terlebih bahulu secara mekanis sampai diperoleh ukuran serpihan antara 5 – 15 mm [Gambar 3].
Untuk mendapatkan laju dekomposisi yang optimal, serpihan beberapa jenis biomassa dicampur dengan proporsi tertentu [sesuai nilai C/N awalnya] sampai diperoleh campuran biomassa dengan nilai C/N antara 30 – 35 [Gambar 4].
Selain itu, pencampuran biomassa dengan berbagai ukuran juga akan menghasilkan gundukan yang berongga dan memiliki porositas tinggi. Pada kondisi ini, udara akan mudah memasuki dan menjangkau ke bagian dalam saat cacahan biomassa diproses menjadi kompos. Proses pengomposan campuran biomassa secara sederhana dapat dilakukan dengan metoda gundukan atau sering disebut “windrow” [Gambar 5].
Dimensi gundukan adalah lebar 1,25 – 1,50 m, panjang 8 – 10 m dan tinggi puncak gundukan antara 0,80 – 1 m. Bambu atau pipa pralon ditancapkan tegak lurus ke dalam gundukan pada setiap 1 m sepanjang alur gundukan untuk pemasukan udara. Di bagian dasar gundukan juga diletakkan beberapa lonjor bambu yang berfungsi selain untuk masukan udara, juga untuk lubang pengeluaran [drainase] air. Gundukan biomassa yang sudah terbentuk kemudian disiram dengan larutan kotoran sapi 5 % sampai kadar air biomassa mencapai 50 – 60 %.
Permukaan gundukan kemudian ditutup dengan plastik atau terpal untuk pelindung saat air hujan dan penahan kehilangan panas. Panas berfungsi untuk mempercepat proses dekomposisi senyawa organik dan sekaligus membunuh bakteri yang bersifat pathogenik. Setiap 2 hari sekali, tutup dibuka untuk mengontrol suhu gundukan dan mengaduk partikel biomassa di bagian dinding gundukan agar proses dekomposisi berlangsung lebih seragam. Proses pengomposan ini membutuhkan waktu antara 3 – 4 minggu sampai diperoleh kompos matang dengan nilai C/N kurang dari 20.
Untuk skala besar, campuran biomassa dibuat gundukan secara paralel menjadi beberapa baris yang dibuat secara berurutan sesuai dengan jadual produksinya. Sebagai ilustrasi, gundukan paling pinggir menunjukkan proses paling awal dan kemudian diikuti pembuatan gundukan pada hari berikutnya. Proses ini diulang sampai diperoleh beberapa lajur gundukan. Kompos yang sudah matang terlihat dari perubahan warna gundukan cacahan biomassa yang semula kecoklatan menjadi kehitaman [Gambar 6]. Dengan sistem ini, setiap hektar lahan pengomposan bisa menghasilkan 1750 – 2000 ton kompos/tahun.
Selain dengan metoda gundukan, proses pengomposan dapat juga dilakukan cara dalam bak permanen terbuat dati tembok semen [Gambar 7].
Pada bagian dasar bak disusun papan kayu tebal 30-50 mm, dan berlubang. Diameter lubang 10 mm dengan jarak antar lubang 100 mm, untuk mempermudah masuknya udara ke dalam tumpukan biomassa. Seperti halnya pada cara gundukan, untuk memperlancar aliran oksigen, beberapa bambu atau pipa pralon berlubang seperti seruling ditancapkan tegak lurus ke dalam tumpukan setiap 1 m sepanjang alur gundukan. Dinding tembok mempunyai sifat sebagai isolator panas. Sehingga dengan bahan campuran biomassa yang sama, waktu pengomposan pada metoda bak tertutup lebih pendek dibandingkan cara gundukan. Namun, metoda bak pengomposan membutuhkan investasi lebih mahal dari pada cara gundukan.
Sebelum kompos diaplikasikan ke tanaman, hasil kompos perlu dianginkan terlebih dahulu selama 1 – 2 minggu untuk penurunan suhu dan stabilisasi nilai pH. Jika hasil kompos akan dijual kepada pengguna di luar kebun, kompos tersebut perlu dikeringkan secara alami [penjemuran] atau secara mekanis sampai kandungan airnya turun menjadi 23 – 25 %. Hasil kompos kemudian dikemas dalam karung plastik yang telah dilengkapi dengan label nama produk dan kandungan hara yang tersedia [Gambar 8].
=======O=======