Blog

Get informed about our latest news and events

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP MUTU BIJI KOPI

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM

TERHADAP MUTU BIJI KOPI

Sri Mulato [cctcid.com]

PENDAHULAN

Diprediksi, suhu atmosfir akan terus naik dipicu oleh akumulasi gas rumah kaca [CO2] di angkasa. Era industrialisasi sejak tahun 1880 sampai 2020 telah menyebabkan kenaikan konsentrasi lapisan gas CO2 di atmosfir mencapai 410 ppm. Berdampak pada peningkatan  suhu atmosfir bumi hingga 1,1 oC [Gambar 1].

Gambar 1. Kaitan konsentrasi gas CO2 di atmosfir dan suhu atmosfir bumi.

Di wilayah beriklim basah, setiap kenaikan suhu atmosfir 1 oC akan berimbas pada peningkatan curah hujan ekstrem [La Nina]. Sebaliknya, pada wilayah kering, peningkatan suhu bumi menyebabkan fenomena kekeringan [El Nino]. Idealnya tanaman kopi arabika ditanam di elevasi > 1000 m dpl dengan suhu 15 – 22 ° C dan curah hujan 1250 – 2000 mm per tahun. Sedangkan, habitat robusta adalah di ketinggian < 1000 m dpl dengan suhu 22 – 26 °C dan curah hujan sekitar 1500 – 2500 mm per tahun. Dampak El Niño dan La Lina menggerus produksi kopi masing-masing sebesar 10 dan 80 %. Secara nasional, produksi kopi tahun 2023 turun 30 sampai 40 % dari tahun sebelumnya. Dari aspek mutu, perubahan iklim terlihat dari degradasi mutu fisik dan organoleptik biji kopi cukup signifikan.

KAITAN IKLIM DAN BUDIDAYA KOPI

Cahaya, suhu lingkungan dan pola hujan adalah unsur iklim yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman kopi. Cahaya matahari merangsang proses fotosintesis dalam daun kopi. Proses ini menghasilkan senyawa kimia primer [karbohidrat, protein dan lemak] dan senyawa sekunder [kafein dan asam khlorogenat]. Keduanya didistribusikan ke seluruh bagian tanaman, buah dan biji. Interaksi genetik dan kondisi tempat tumbuh kopi tercermin dari komposisi kimia dalam biji. Jenis kopi arabika didominasi senyawa primer pembentuk cita rasa khas kopi. Sebaliknya, biji kopi robusta mengandung kadar senyawa sekunder lebih tinggi [Tabel 1].

 

Tabel 1. Komposisi senyawa primer dan sekunder dalam biji kopi.

Suhu lingkungan berpengaruh pada kinerja berbagai enzim dalam tanaman untuk mendukung proses fotosintesis. Pada suhu lingkungan 10 – 35 oC, laju fotosintesis berbanding lurus dengan kenaikan suhu lingkungan. Di atas suhu 35 °C, kecepatan fotosintesis akan menurun. BMKG melaporkan bahwa beberapa wilayah penghasil kopi di Jawa Barat, Lampung dan Jawa Tengah terpapar suhu lingkungan hingga 38 oC. Pada suhu ini, laju fotosintesis mengalami penurunan. Berdampak pada laju pertumbuhan biji. Ukuran rata-rata biji mengecil hanya < 5 mm [lolos ayakan Mesh 12/13], dari yang seharusnya > 7 mm [tertahan di ayakan Mesh 16/17]. Suhu hangat juga mempercepat proses kematangan buah kopi. Tidak cukup waktu untuk pembentukan senyawa kimia primer dan sekunder dalam biji kopi secara maksimal.

Kenaikan suhu lingkungan umumnya diiringi dengan tingkat serangan berbagai jenis hama dan penyakit pada tanaman kopi. Petani sering merespon hal itu dengan pengendalian secara kimiawi [pestisida dan fungisida]. Tindakan yang beresiko baik untuk lingkungan dan kesehatan para petani. Sejatinya, tanaman kopi secara alami mengandung senyawa kimia sekunder [kafein dan asam khlorogenat] sebagai penangkal serangan hama dan penyakit. Karena habitat tanaman kopi robusta lebih hangat, kandungan senyawa kimia sekunder tersebut lebih tinggi daripada kopi arabika. Salah satu hama utama tanaman kopi adalah serangga jenis PBKo [Penggerek Buah Kopi]. Serangga betina dewasa menyerang buah kopi saat masih muda [warna hijau]. Membuat lubang di ujung buah kopi dan meninggalkan telur di dalamnya [Gambar 2].

Gambar 2. Perkembangan serangan hama PBKo dari buah di kebun sampai gudang.

Siklus hama PBKo [Hypothenemus hampei] akan berkembang dengan metamorfosa sempurna dari telur, larva, pupa dan serangga dewasa [imago]. Siklus ini kehidupan PBKo berlanjut sampai biji kopi kering disimpan di gudang. Laju serangan PBKo makin cepat setiap ada kenaikan suhu lingkungan sebesar 1 oC. Serangga meninggalkan jejak berupa lubang dalam bij. Biji kopi berlubang termasuk cacat fisik primer [defect bean] yang berpengaruh serius pada cita rasa biji kopi.

Perubahan pola hujan seringkali mengakibatkan musim ekstrem kering dan basah yang terjadi di suatu wilayah kebun kopi. Keduanya berdampak buruk pada tanaman kopi. Kekeringan dapat menyebabkan penurunan hasil panen, sedangkan hujan lebat dapat menyebabkan buah kopi berjamur, rontok dan busuk. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika [BMKG] meramal suhu atmosfir tahun ini akan lebih hangat sebesar 0,3 °C daripada suhu 2023. Kondisi ini berimbas pada mundurnya musim hujan dengan durasi lebih pendek dari biasanya. Batasan curah hujan kopi ideal untuk tanaman kopi arabika adalah 1250 – 2000 mm per tahun, sedangkan tanaman robusta tumbuh baik di wilayah curah hujan 1500 – 2500 mm per tahun. Memasuki bulan Januari sampai Agustus 2024, intensitas curah hujan masih berpeluang mencapai di atas 2600 mm per bulan.

Pada iklim normal, awal musim panen buah kopi berlangsung dari bulan Mei dan berakhir bulan September. Buah kopi dipanen secara selektif, hanya buah yang sudah masak. Kulit buah berwarna merah. Pada hujan ekstrem, kelebihan air menyebabkan kulit buah kopi matang retak sebelum dipanen. Air hujan masuk ke dalam daging buah dan melarutkan senyawa gula di dalamnya. Menurunkan sensasi rasa manis. Senyawa gula yang masih tersisa dalam daging buah akan teroksidasi menjadi senyawa asam. Membuat biji kopi cenderung berasa asam [kecut]. Selain itu, kucuran  air curah hujan ekstrem akan merontokkan buah kopi matang jatuh ke tanah. Mikroba tanah akan menginisiasi fermentasi gula dalam daging buah membentuk asam. Suatu jenis cacat rasa tidak bisa ditolelir.

Hujan menyebabkan suhu lingkungan turun. Fase pematangan buah kopi menjadi lebih panjang. Komposisi senyawa kimia dalam biji kopi terbentuk lebih lengkap. Ukuran biji lebih besar dan lebih padat. Namun, suhu rendah berakibat proses pengeringan lebih lama. Yang kemudian merangsang pertumbuhan jamur di permukaan biji kopi. Semakin lama waktu pengeringan, serangan jamur semakin intensif. Warna biji kopi berubah kehitaman disertai munculnya bau kurang sedap. Selain menurunkan mutu sensorik, jamur tersebut kemungkinan bersifat toksik.

PROFIL CITA RASA

Karakteristik fisik dan cita rasa kopi berbanding lurus dengan faktor genetik dan ekosistem tempat tumbuh tanaman kopi. Secara genetik, biji kopi arabika berbentuk lonjong agak pipih dan berwarna kehijuan. Sedangkan, biji kopi robusta mempunyai bentuk agak bulat, berukuran lebih kecil dari ukuran biji kopi arabika dan berwarna sedikit kecoklatan. Warna ini ditimbulkan adanya laju reaksi pencoklatan secara enzimatis [enzymatic browning]. Laju reaksi ini berlangung lebih cepat pada suhu lingkungan lebih tinggi. Reaksi pencoklatan terjadi oleh enzim polifenol oksidase, menjadikan biji kopi robusta berwarna lebih kecoklatan daripada warna biji kopi arabika [Gambar 3].

Gambar 3. Perbedaan fisik dan intensitas cita rasa biji kopi robusta dan arabika.

Kandungan kafein dan asam khlorogenat kopi robusta lebih banyak sebagai akibat suhu lingkunggan tumbuh lebih hangat. Keduanya berperan pada pembentukan sensasi rasa pahit [bitter] dan sepat. Terlihat dari skor intensitas rasa keduanya mencapai nilai tertinggi, yaitu 3 dan 2. Dibandingkan skor yang sama pada kopi arabika [garis warna hijau], yaitu 2 dan 1. Skor intensitas bodi kopi robusta lebih tinggi [4] karena kandungan karbohidrat terlarut lebih banyak. Skor bodi kopi arabika hanya 3. Skor yang tinggi menunjukan larutan seduhan lebih pekat [kental], terasa sensasi tekanan lebih berat di permukaan lidah.

Curah hujan yang tinggi menyebabkan suhu lingkungan turun hingga di bawah 22 oC. Ini suhu ideal untuk pertumbuhan tanaman kopi arabika. Durasi pembentukan dan kematangan buah lebih lama. Senyawa kimia pembentuk cita rasa dalam biji sudah lengkap, terutama senyawa gula dan asam. Keduanya akan memunculkan inetansitas sensasi rasa manis buah [fruity] dan  asam-segar [bright acid] pada biji kopi arabika, masing-masing dengan skor 3 dan 2. Pada musim kering, suhu yang lebih tinggi memicu produksi asam berkurang. Menurunkan kompleksitas cita rasa kopi arabika.

TANAMAN PENAUNG

Iklim di areal kebun kopi dibedakan menjadi 2, yaitu, iklim makro dan iklim mikro. Iklim makro merupakan kondisi atmosfir yang melingkupi seluruh tanaman di dalam areal kebun. Iklim makro dikendalikan oleh alam. Sedangkan, iklim mikro merupakan kondisi udara terbatas di sekitar pohon kopi. Iklim ini bisa dikontrol dengan mengatur berbagai jenis dan postur tanaman, pola tanam dan kerapatannya serta kelembaban tanah di sekeliling pohon. Modifikasi iklim mikro merupakan usaha menciptaan lingkungan di sekitar pohon kopi dan permukaan tanah di sekitarnya. Paparan sinar matahari dijaga tidak berlebihan. Penguapan air dari permukaan daun dan tanah bisa dihambat. Selain itu, pohon penaung berfungsi untuk mengatur paparan sinar matahari disesuaikan kebutuhan fotosintesis di permukaan daun. Tanpa penaung, tanaman kopi akan tersengat 100 % sinar matahari. Penaung sedang, mengurangi intensitas cahaya tinggal 50 %. Sedangkan, penaung lebat akan menurunkan pencahayaan menjadi hanya 30%. Sebagai ilustrasi, pengaruh intensitas penyinaran matahari terhadap produksi kafein dalam biji [Gambar 4].

Gambar 4. Tingkat penyinaran, fotosintesis dan biosintesis kafein.

Terjadi kenaikan kadar kafein dalam biji kopi sebesar 1,25 % seiring dengan peningkatan penyinaran dari 30 % ke 50 %. Setelahnya, laju fotosintesis menurun. Cahaya matahari mempengaruhi laju biosintesis kafein lewat induksi enzim caffeine sintase [CS]. Enzim ini terletak di kloroplas daun. Cahaya meningkatkan pH stroma dan merangsang aktivitas CS. Merubah theobromin menjadi kafein. Sebagai salah satu komponen citarasa, peningkatan kadar kafein akan berpengaruh pada atribut citarasa “bitterness dan astringency”. Sebagian besar konsumen kurang menyukai atribut tersebut. Konsumen cenderung menyenangi biji kopi dengan pohon naungan sedang. Pada kadar kafein sedang [1,50 %], biji kopi memiliki atribut citarasa “flavour, body, aftertaste” lebih menonjol dan seimbang [balance].

Selain cita rasa, budidaya kopi harus mengejar produksi yang tinggi. Supaya diperoleh keuntungan ekonomi yang memadai. Salah satu faktor penentu produktivitas tanaman dicapai melalui optimalisasi proses fotosintesis. Mengkondisikan luasan daun untuk memproduksi lebih banyak metabolit primer. Pada naungan lebat, laju fotosintesis berlangsung sangat lambat, kurang dari 1,5 mg/cm2/jam. Terpaan cahaya ke permukaan daun kopi meningkat siginifikan pada naungan sedang. Laju fotosintentis mencapai maksimum di sekitaran 2 mg/cm2/jam. Tanpa penaung, laju fotosintetis menurun. Paparan sinar matahari terlalu kuat menyebabkan suhu daun meningkat. Selain menurunkan konsentrasi klorofil dalam daun, beberapa jenis enzim fotosintesis pada daun sensitif dengan peningkatan suhu. Transfer elektron menjadi terganggu. Berdampak pada penurunan laju fotosintensis secara drastis, hanya 0,70 mg/cm2/jam.

PENUTUP

BMKG menyebut bahwa pertanian merupakan sektor yang mengalami dampak paling serius akibat pemanasan global. Perubahan pola curah hujan dan kenaikan suhu udara berdampak pada penurunan jumlah produksi dan mutu fisik maupun cita rasanya. Salah satu upaya mitigasi pemasan global di perkebunan kopi adalah dengan penerapan pola tanam tumpang sari berbasis agroforestri. Menjadikan iklim mikro di sekeliling pohon kopi kondusif untuk pertumbuhan vegetatif dan generatif. Stabilitas jumlah produksi dan mutu hasil biji kopi bisa lebih terjamin.

DAFTAR BACAAN

Cheng. B., H. E., Smyth, A. Furtado and R. J., Henry [2020]. Slower development of lower canopy beans produces better coffee. Journal of Experimental Botany, Vol. 71, No. 14 pp. 4201–4214, 2020. doi:10.1093/jxb/eraa151 Advance Access Publication 24 March 2020.

Erdiansyah, N. P & Yusianto [2012]. Hubungan intensitas cahaya di kebun dengan profil cita rasa dan kadar kafein beberapa klon kopi Robusta. Pelita Perkebunan 28(1) 2012, 14-22. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jl. PB. Sudirman No. 90, Jember, Indonesia.

Sutedja., I.N [2018]. Manajemen Tanaman Penaung Pada Perkebunan Kopi Di Kecamatan Pupuan. Program Studi Agroekoteknologi. Fakultas Pertanian Universitas Udayana Denpasar.

www.coffeeandclimate.org [2015]. Climate Change Adaptation in Coffee Production.

=====O=====

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

× WhatsApp