Blog

Get informed about our latest news and events

“BEAN TO BAR”, MAKNA DI BALIK FANATISME KAKAO “SINGLE ORIGIN”

BEAN TO BAR, MAKNA DI BALIK FANATISME KAKAO “SINGLE ORIGIN”

Sri Mulato [cctcid.com]

PENDAHULUAN

Awalnya, istilah “single origin” melekat pada aktivitas barista untuk menyajikan seduhan kopi. Penikmat kopi umumnya fanatik dengan seduhan biji kopi asal wilayah tertentu [single origin]. Terminologi “single origin” sebetulnya juga sudah digaungkan pelaku bisnis cokelat skala artisan “Beans to Bar” [B2B] sejak 2 dekade lalu. Gema “single origin” kakao belum terlalu keras. Karena makan cokelat belum membudaya di kalangan masyarakat luas. Dalam benak mereka, cokelat adalah makanan sultan, harganya mahal. Tren makan cokelat mulai terasa. Tumbuh seiring dengan peningkatan kemakmuran masyarakat. Diprediksi laju produksi cokelat B2B meningkat sebesar 7,8 % pada 5 tahun mendatang. Ciri khas bisnis B2B adalah “customized” dan fleksibel. Jumlah produksi terbatas. Berkomitmen pada kualitas daripada kuantitas. Produsen B2B bisa mengontrol seluruh rantai pasok produksi cokelat, berawal dari kebun, proses, pengemasan sampai pemasaran produk. Mengenali karakter secara baik setiap aktor dalam rantai pasok produksi. Saat ini, kakao “single origin” menjadi domain bagi para produsen cokelat B2B dalam melakukan aktivitas pemasaran. Cerminan bahwa mereka mampu memproduksi cokelat bercita rasa spesifik lokasi yang sehat dan ramah lingkungan. Istilah “single origin” mengacu pada kawasan geografis tanaman kakao. Biji kakao berlabel “single origin” berkarakter cita rasa spesifik dan mudah ditelusuri keasliannya mulai dari posisi geografis, jenis tanaman, pemilik kebun sampai ekosistemnya. Dalam pengertian rantai pasok biji kakao global, istilah “single origin” disematkan atas dasar cakupan luas kebun dan jumlah produksi, berskala negara, teritorial sampai skala kebun.

EVOLUSI PRODUKSI COKELAT

Tanaman kakao ditemukan di suatu tempat di hulu sungai Amazon Amerika Selatan. Sejak awal, buah tanaman kakao dipercaya bisa dikonsumsi oleh manusia. Berawal dari proses pembuatan produk cokelat ala Mesoamerika. Metodologi simpel. Berbasis kerajinan tangan [hand made], mulai dari panen buah, pembelahan, pengeringan, penyangraian dan penggilingan.  Produknya berujud pasta dan sedikit ditambah rempah. Wajah dunia cokelat mulai berganti ketika teknik produksi Mesoamerika dibawa ke Eropa pada abad ke-16. Penambahan gula ke dalam pasta cokelat memunculkan sensasi manis seperti produk cokelat yang dikenal sekarang ini. Penggemar cokelat pun meluas ke seluruh Eropa. Menuntut proses produksi yang lebih masif.

Bergulirnya revolusi industri pada abad ke-19 di Eropa telah memicu kemajuan permesinan untuk memproduksi cokelat secara massal. Era produksi cokelat skala besar sebagai pemain “mainstream” mulai menapakkan kakinya. Harga produk cokelat menjadi murah dan dapat diakses oleh konsumen secara luas. Dampaknya, produk cokelat skala besar mencengkeram pasar. Pada tahun 2023 ini, industri cokelat global memegang segmen pasar sebesar $ 62.4 miliar. Didominasi oleh 15 perusahaan cokelat terbesar di dunia, menyebar di USA, Eropa, Jepang dan Korea. Laba bersih perusahaan paling kecil mencapai $ 1,1 miliar. Pasar cokelat global ini diproyeksikan masih tumbuh sebesar 4,5 % hingga tahun 2033. Pengrajin cokelat skala kecil terpinggirkan. Pertanda, era produksi cokelat berpola Mesoamerika memasuki masa senja.

Dalam dua dekade terakhir ini seolah terjadi “dejavu”. Konsep produksi cokelat ala Mesoamerika lahir kembali dengan wajah baru. Mengadopsi tren teknologi cokelat terkini. Mengawali dengan omset produksi yang belum terlalu besar. Namun, pelaku bisnis cokelat B2B menapaki pasar dengan penuh optimisme. Menawarkan konsep baru, produk cokelat berbasis bahan baku “single origin” dan bercita rasa imajinatif serta kreatif. Menjadikan produk cokelat B2B bak “anggur kekinian”, membuat kecanduan. Konsumen bisa memesan berbagai varian rasa berbasis “single origin” ramah kesehatan dan lingkungan. “Valrhona” pelaku usaha B2B asal Perancis memproduksi cokelat batangan “single origin” pertama pada tahun 1985. Menyajikan varian produknya atas dasar asal biji kakao “single origin” dari berbagai pelosok dunia.

SINGLE ORIGIN BERBASIS GEOGRAFIS

Konsep “single origin” terbagi dalam 3 klas. Mengacu pada luasan kebun dan jumlah produksi yang secara geografis berada dalam wilayah negara [country], provinsi sampai skala paling kecil, yaitu kebun [estate] [Gambar 1].

Gambar 1. Klasifikasi “single origin” atas dasar luasan wilayah geografis.

“Country Single Origin”

Konsumen biji kakao “country single origin” adalah industri cokelat skala besar. Klasifikasi industri ini didasarkan pada jumlah modal, omset pasar, tenaga kerja, sopistifikasi teknologi dan kuantum kebutuhan bahan baku. Untuk mememuhi kapasitas produksinya, Industri skala ini mencampur biji kakao dari berbagai “country origin” dengan varian cita rasa berlainan. Biji kakao Afrika Barat memiliki profil rasa dan aroma cokelat yang kuat, acidity dan bitterness yang rendah. Biji Ekuador terkenal karena aroma bunga dan sedikit asam. Biji kakao Peru mempunyai rasa pahit atau sepat yang menonjol. Sedangkan, ciri khas ”country origin” Madagaskar adalah rasa buah segar. Industri cokelat besar berupaya meramu proporsi biji kakao dari berbagai negara tersebut untuk memperoleh cita rasa standar. Identitas cita rasa masing-masing “country origin” lenyap, tidak terdeteksi secara dalam produk cokelat. Saat ini, Indonesia mempunyai industri cokelat skala besar berjumlah 13 buah. Menyerap biji kakao dalam negeri sebanyak 200 ribu ton/tahun dan import 230 ribu ton/tahun. Biji kakao lokal merupakan campuran biji kakao dari berbagai provinsi di wilayah Indonesia. Sisanya adalah biji kakao import disertai dokumen berlabel “country single origin” Afrika Barat. Secara global Indonesia juga pengekspor biji kakao berlabel ”country origin” tertera pada karungnya.

“Provincial Single Origin”

Indonesia memiliki 33 provinsi penghasil biji kakao. Masing-masing menghasilkan biji kakao dengan cita rasa spesifik. Biji kakao Sumba, Nusa Tenggara Timur [beriklim kering] mempunyai ciri khas rasa cokelat medium, intensitas rasa pahit dan astringensi sedang dan tercium aroma bunga. Sementara, kekhasan biji kakao dari Lima Puluh Koto Sumatera Barat [beriklim basah] adalah rasa cokelat kuat, tingkat kepahitan dan astringensi ringan dengan aroma bunga segar. Jawa Timur termasuk 10 besar penghasil biji kakao. Produksinya mencapai 35.000 ton. Produksi Perkebunan Besar Negara dan Swasta masih cukup banyak, yaitu masing-masing 11.300 ton dan 3.250 ton. Sisanya, sebanyak 20.500 ton dihasilkan oleh perkebunan rakyat. Wilayah penghasil biji kakao terbesar adalah Kabupaten Banyuwangi, Blitar dan Jember. Jawa Timur juga memiliki beberapa industri cokelat besar antara lain, Cargill, Barry Callebaut dan beberapa pabrik cokelat domestik lainnya. Pabrik tersebut menggunakan biji kakao campuran dari berbagai wilayah Jawa Timur.

“Estate Single Origin”

Kebun penghasil biji kakao terbesar di Jawa Timur adalah Kabupaten Banyuwangi. Saat ini, produksinya mencapai 8.100 ton. Di Kabupaten ini terletak Perkebunan [estate] Kendeng Lembu yang dikelola oleh PT Perkebunan Nusantara [PTPN] XII. Kebun ini adalah penghasil biji kakao Criollo. Itupun luasannya makin menyusut, hanya 250 ha. Keping biji kakao Criollo berwarna putih. Mempunyai citarasa unik, mild flavor, fruity, sweet dan spicy. Biji kakao Criollo sering disebut “fine cocoa” atau kakao mulia. Banyak disukai oleh pembeli dari Eropa dan USA dengan label “estate single origin”. Kebun rakyat mulai tertarik menanam kakao Criollo, antara lain, di Berau [Kalimantan Timur], Gianyar [Bali] dan Sukokulon [Jember]. Kebun Sukokulon seluas 5 ha dan sudah menghasilkan. Tahun ini, cita rasa Crilollo kebun Sukokulon mendapat predikat “Cocoa of Excellence” tingkat dunia.

INTERAKSI GENETIK DAN EKOSISTEM

“Single Variety”

Karaketistik cita rasa biji kakao merupakan gabungan antara sifat genetik dan ekosistem tempat penanaman. Secara genetik ada 3 jenis tanaman kakao yang berkembang menjadi komoditas komersial, yaitu Criollo, Forastero dan Trinitario. Ekosistem yang sering disebut “Terroir” merupakan kombinasi kondisi lingkungan antara lain, kesuburan tanah [mineral], ketinggian dan iklim [suhu dan curah hujan]. Keragaman genetik dan ekosistem memungkinkan biji kakao Indonesia memiliki profil cita rasa yang variatif. Biji kakao “single variety” akan memberikan profil cita rasa yang berbeda jika ditanam di wilayah geografis yang berlainan [Gambar 2].

Gambar 2. Profil cita rasa biji kakao klon Sulawesi-1 pada 2 ekosistem.

Klon Sulawesi-1, juga disingkat klon S-1, termasuk jenis Trinitario. Secara genetik membawa sifat Criollo yang memiliki cita rasa enak. Ketika ditanam di ekosistem yang cocok [Soppeng], profil cita rasa Criollo klon tunggal S-1 muncul lebih dominan. Sensasi rasa cokelat yang kuat setara dengan biji kakao Ghana [rujukan cita rasa global]. Intensitas astringensi dan rasa buah sawo [brown fruit] juga lebih kentara daripada klon yang sama ditanam di Jember. Faktor iklim dan komposisi mineral tanah nampaknya menjadi penentu profil cita rasa keduanya. “Estate origin” di Kabupaten Soppeng beriklim basah dan bersuhu dingin. Kondisi ini ideal untuk pembentukan rasa asam dan rasa buah pada biji kakao. Sebaliknya, Jember Selatan termasuk wilayah beriklim kering. Biji kakao yang dihasilkan bercita rasa cokelat dan rasa buah [fruity] agak lemah. Pembentukan cita rasa juga dipicu oleh ketersediaan nutrisi dalam tanah antara lain, karbon [C], rasio karbon-nitrogen [C/N], natrium [Na], kalsium [Ca], kalium dan tembaga [Cu].

“Blend Variety”

Perluasan lahan dan peningkatan produksi biji kakao di suatu wilayah tidak hanya bertumpu pada bahan tanam tunggal [single variety]. Di lahan  petani yang luasannya relatif terbatas saja dijumpai tanaman multi-varietas. Pola tanam ini memberi keuntungan, antara lain, mengurangi ancaman serangan hama-penyakit tanaman, memenuhi target produksi dan mempertahankan intensitas cita rasa biji kakao campuran multi-varietas spesifik wilayah [Gambar 3].

Gambar 3. Intensitas biji kakao klon campuran dari 4 wilayah produsen biji kakao.

Kecuali origin Jember, biji kakao multi-varietas Jembrana dan Luwu memiliki kesamaan intensitas rasa cokelat dengan biji kakao Ghana. Nampaknya, intensitas rasa cokelat biji kakao Jember terdistorsi  oleh rasa “sour” yang kuat. Luwu dan Jembrana menonjol pada intensitas rasa pahit, “sour’, acid dan sepat. Acid adalah sensasi rasa asam, seimbang, komplek dan sedikit rasa manis. Membuat ramah di lidah. “Sour”, sering disebut rasa masam, adalah asam yang tidak ramah di lidah. Menyebabkan kening mengkerut.

PENGADAAN BIJI KAKAO BISNIS B2B

Sesuasi dengan kapasitas produksi B2B, pasokan biji kakao dari “estate single origin” dianggap paling realistik. Aktor utama produsen biji kakao adalah petani baik individu maupun kelompok. Strategi pengadaan biji kakao bisa dilakukan dengan cara kemitraan [partnership] atas dasar keaslian origin, ketelusuran dan keberlanjutan. Rantai pasok biji kakao dari kebun sampai konsumen [from farm to table] bersifat kompleks, melibatkan banyak pihak dan dipisahkan oleh jarak yang jauh. Produsen B2B perlu cermat dalam memilih petani sebagai mitra pemasok. Bertemu langsung dengan petani adalah salah satu sikap yang arif untuk membangun relasi bisnis. Sekaligus memberikan pendampingan budidaya kakao, panen, pascapanen sampai pengawasan mutu biji kakao. Juga menjelaskan metode adaptasi dampak perubahan iklim terhadap keberlanjutan usaha kakao. Pelaku bisnis B2B bisa mengambil peran seperti PPL [Petugas Penyuluh Lapangan] yang eksistensinya kini mulai memudar.

Konsumen mulai sadar tentang keamanan pangan. Kini, mereka menuntut informasi transparan tentang apa yang terjadi di setiap lini rantai pasok. Produsen cokelat B2B harus memastikan keaslian biji kakao berlogo “estate single origin” melalui penerapan QR Code. Kode digital ini sekaligus sebagai alat bantu sistem ketelusuran yang mampu melacak biji kakao dari kebun sampai produk cokelat siap konsumsi. Informasi ketelusuran termasuk proses manajemen yang bersifat strategis, taktis dan operasional untuk menjamin keberlanjutan pasokan biji kakao dari beberapa sumber “estate single origin”.

 PENUTUP

Bagi pelaku bisnis cokelat B2B, perjalanan biji kakao dari kebun sampai ke tangan konsumen adalah sebuah kisah tentang asal-usul [origin], cita rasa spesifik dan keberlanjutan. “Single origin” merupakan faktor statis, namun sangat berpengaruh pada pembentukan cita rasa dan harga produk cokelat. Setiap gigitan cokelat bar dari beragam origin akan mendapatkan apresiasi dan menjadi kenangan bagi konsumen. Ketika konsumen sudah sadar dan cerdas dalam memilih produk, aspek originalitas asal biji kakao, ketelusuran dan keberlanjutan menjadi hal yang esensial.

DAFTAR BACAAN

https://www.zippia.com/advice/largest-chocolate-companies/2022.

Indah Anita-Sari [2023]. Flavor Characteristics of Three Indonesian Cocoa Clones  in Four Environments. Agronomy 2023, 13, 2658.

Maria Perez., Anallely Lopez-Yerena, Anna Vallverdú-Queralt [2022]. Traceability, authenticity and sustainability of cocoa and chocolate products: a challenge for the chocolate industry. Critical Reviews in Food Science and Nutrition . Volume 62, 2022 – Issue 2

Kusumaningrum., I [2014]. Aroma and Flavor Sensory Profiles of Superior Cocoa Liquors from Different Regions in Indonesia. Vol. 25 No. 1 (2014): Jurnal Teknologi dan Industri Pangan

Muhammad, D.R.A., et-al [2022]. Investigating the  elicited emotion  of single- origin chocolate towards sustainable chocolate production in Indonesia. Open Agriculture 2022;  7: 382–391.

=====O=====

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

× WhatsApp