Blog

Get informed about our latest news and events

ADAPTASI PANEN DAN PASCAPANEN KOPI TERDAMPAK PERUBAHAN IKLIM GLOBAL

ADAPTASI PANEN DAN PASCAPANEN KOPI

TERDAMPAK PERUBAHAN IKLIM GLOBAL

 

Sri Mulato [cctcid.com]

Komunitas petani kopi sangat akrab dengan istilah pengering rumah kaca. Bangunan berarsitek “dome” [kubah]. Terbalut atap dan dinding plastik transparan. Berfungsi untuk menjebak radiasi matahari yang masuk ke dalamnya. Terbentur lantai ruangan, radiasi matahari berubah menjadi panas. Suhu udara dalam “dome” naik melebihi suhu di luar ruangan. Buah kopi di dalamnya cepat mengering. Ibarat buah kopi, bumi sekarang ini sedang terpanasi lewat mekanisme yang sama. Pantulan sinar matahari dari permukaan bumi seharusnya kembali ke angkasa. Tapi, terhalang oleh lapisan gas rumah kaca yang melingkar di atmosfer bumi, seolah “dome” raksasa. Udara di sekitar bumi naik secara tidak wajar. Disebut sebagai fenomena pemanasan global. Dalam kurun waktu 100 tahun terakhir ini, suhu udara rata-rata sekitar bumi naik sebesar 0,74 oC. Berimbas pada perubahan iklim. Curah hujan meningkat, namun jumlah hari hujannya menurun. Berdampak pada produksi dan kualitas kopi arabika maupun robusta, lewat 3 jalur: 1. Curah hujan mempengaruhi pertumbuhan vegetatif pembentuk pohon kopi dan generatif penghasil buah kopi. 2. Peningkatan suhu memicu penyebaran hama dan penyakit lebih intensif. 3. Cuaca ekstrem menghambat kegiatan panen dan pascapanen kopi.

SEKILAS EFEK RUMAH KACA BUMI

Bumi kini sedang menghadapi gejala pemanasan, mirip seperti dalam bangunan pengering rumah kaca. Dalam skenario alam semesta, plastik transparan adalah lapisan gas rumah kaca yang membalut atmosfer bumi. Matahari menebar radiasi elektromagnetis tanpa henti ke permukaan bumi, memuat energi sebesar 3 x 1024 joule/tahun. Radiasi matahari mampu menerobos lapisan gas rumah kaca masuk ke bumi. Lewat berbagai mekanisme termodinamis, radiasi dikonversi menjadi panas. Sebagian lainnya [35 %] dipantulkan balik ke angkasa. Namun, tidak mampu lagi menembus lapisan gas rumah kaca yang menyelimuti atmosfer. Panas terjebak dan memanasi bumi, dalam kungkungan “dome” jagad raya [Gambar 1].

Semula lapisan gas rumah kaca itu dianggap hanya tersusun dari gas CO2. Terbang ke angkasa bersama gas buang pembakaran minyak bumi [BBM] mesin moda transportasi dan mesin industri. Sejak revolusi industri bergulir di tahun 1750-an, aktivitas masyarakat modern tidak terlepas dari BBM. Konversi BBM menjadi energi mekanik dan energi thermal disertai pelepasan gas CO2. Terakumulasi dan membentuk lapisan di angkasa selama ratusan tahun. Hampir 70 % volume total gas rumah kaca adalah gas CO2. Dalam kurun waktu 200 tahun terakhir ini, konsentrasi gas CO2 di atmosfer telah meningkat secara signifikan dari 280 menjadi 370 ppm. Saat ini, lapisan gas rumah kaca kian menebal. Makin sulit ditembus oleh pantulan radiasi matahari dari permukaan bumi. Lebih banyak panas tercebak di atmosfer.

Suhu rata-rata atmosfer bumi meningkat sebesar 0,74 oC. Diprediksi sampai tahun 2100 yang akan datang, kenaikan suhu global mencapai 1,50 °C. Gas CO2 bukan lagi dianggap sebagai biang tunggal pemanasan global. Jenis gas rumah kaca makin variatif. Bertambah secara dinamis mengikuti arus perkembangan aktivitas manusia di planet bumi. Belakangan, Komisi Perubahan Iklim PBB telah memasukkan 5 jenis gas tambahan sebagai penyusun gas rumah kaca, yaitu, CH4, N20, CFC-12, HCFC-22 dan SF6 [Tabel 1].

Sebagai penyusun mayoritas, gas CO2 dipakai sebagai acuan untuk menilai tingkat pembentukas gas rumah kaca di angkasa. Memiliki nilai potensi rumah kaca [GWP] setara dengan 1 dan waktu tinggal [WT] di angkasa selama 100 tahun. Peringkat kedua diduduki oleh gas CH4. Terbentuk lewat proses fermentasi anaerobik limbah organik di lokasi pembuangan sampah atau di lahan gambut. GWP gas CH4 21 kali lebih kuat dari CO2 dengan WT selama 12 tahun. Disusul gas N2O yang berasal dari aplikasi pupuk kimia artifisial berbasis nitrogen dan pembakaran BBM mesin diesel. Gas N2O mempunyai nilai GWP 320 kali lebih besar dari gas CO2 dan WT 120 tahun. Perkembangan teknologi alat pendingin bahan makanan, ruangan kantor dan kendaraan, mendorong industri memproduksi senyawa refrigeran sintetis, seperti, CFC-12, HCFC-22 dan SF6. Tidak mudah terurai selama alami. Mempunyai nilai GWP dan WT sangat tinggi, ribuan tahun. Diduga senyawa refrigeran tersebut tinggal permanen di atmosfer bumi.

Semula dianggap sebagai kurban pemanasan global, perkebunan kopi ternyata juga punya andil terhadap peningkatan jumlah gas rumah kaca global di angkasa. Proses pengolahan 6 kg buah kopi menjadi 1 kg biji kopi gabah [parchments] melepaskan 8,3 kg setara gas rumah kaca [CO2, CH4 dan N2O]. Selain itu, gas rumah kaca dari kebun kopi juga berasal dari aktivitas sebagai berikut,

  1. 35% dari aplikasi pupuk dan emisi dari permukaan tanah.
  2. 7% pembusukan bahan organik sisa pangkasan pohon dan gulma
  3. 57% fermentasi kulit buah dan air limbah metoda olah basah.

 

DAMPAK PADA PRODUKSI KOPI

“Bumi Makin Panas”, begitu judul sebuah film jaman dulu. Dirilis tahun 1973 oleh sutradara Ali Shahab. Siapa sangka ungkapan tersebut saat ini benar-benar jadi kenyataan. Penghuni planet bumi pasti merasakan hawa panas itu, diselingi derasnya air hujan. Kenaikan suhu udara berdampak pada siklus hidrologi. Memicu percepatan evaporasi air dari permukaan lautan. Terakumulasi secara masif di udara, uap air membentuk gumpalan awan kehitaman. Rentan terkondensasi, menjadi hujan lebat kembali ke permukaan bumi. Dampak perubahan iklim bersifat spesifik lokasi. Tergantung pada kondisi cuaca lokal di suatu wilayah. Diprediksi setiap kenaikan suhu bumi sebesar 1 oC berimbas pada peningkatan curah hujan antara 7 – 10 %. Sebaliknya, beberapa wilayah lainnya, peningkatan laju penguapan air terjadi dari permukaan daratan. Uap airnya tidak mampu menginisiasi terbentuknya hujan. Menyebabkan fenomena kekeringan. Gambar 2 menunjukkan profil curah hujan di wilayah penghasil kopi dan kakao Sulawesi, dalam kurun waktu 35 tahun terakhir.

Perubahan iklim di Indonesia sudah terdeteksi sejak tahun 1950. BMKG mencatat adanya fenomena El Nino [musim kering panjang] pada tahun 1952. Sampai tahun 1980, El Nino berulang tiap interval 5 – 7 tahun. Disusul kemudian, fenomena La Nina [musim basah hujan panjang] tahun 1995. Secara umum, Indonesia akan mengalami dampak perubahan iklim dalam 2 bentuk. Pertama, curah hujan tahunan cenderung meningkat dengan laju sebesar 12 – 48 mm per tahun. Kedua, jumlah hari hujan semakin berkurang. Yang pertama berpotensi memicu risiko banjir, degradasi kesuburan lahan pertanian, kerusakan fisik tanaman dan infra-struktur perkebunan. Yang kedua bisa menyebabkan kekeringan. Kualitas lahan yang sesuai untuk persyaratan tumbuh kopi makin menciut. Idealnya arabika ditanam di elevasi > 1000 m dpl, curah hujan 1250 – 2000 mm per tahun dan suhu 15 – 22 ° C. Sedangkan, habitat robusta adalah di ketinggian < 1000 m dpl dengan curah hujan sekitar 1500 – 2500 mm per tahun dan suhu 22 – 26 °C.

Curah hujan ekstrim basah maupun kering sangat berpengaruh pada fase pertumbuhan vegetatif pembentuk pohon kopi, fase pertumbuhan generatif penghasil buah kopi dan fase panen dan pascapanen, seperti Gambar 3 berikut ini,

Habitat ideal tanaman kopi sebenarnya terletak di wilayah bercurah hujan medium antara hujan esktrim basah dan kering [garis hitam terputus pada Gambar 3]. Vegetasi tanaman mulai berkembang pada awal musim hujan. Kecukupan curah hujan akan mendorong percepatan pertumbuhan vegetatif. Perlu pemangkasan dahan dan ranting untuk penyeragaman penyinaran matahari ke seluruh bagian pohon. Pertumbuhan vegetatif berangsur menurun mendekati musim kemarau. Bulan kering selama 3 bulan membuat tanaman kopi mengalami cekaman air [stress]. Disusul munculnya bunga secara serempak. Pertumbuhan generatif ini dimulai dari pembentukan primordia bunga sampai memasuki masa dormansi. Masa ini berakhir ketika hujan ringan mulai turun dengan intensitas antara 3 – 4 mm. Kira-kira 7 – 10 hari setelahnya, bunga kopi akan mekar di awal waktu pagi.

Curah hujan ekstrem bisa menyebabkan abnormalitas biji kopi. Kopi robusta bersifat penyerbukan silang, kecepatan dan viabilitas serbuk sari sangat penting. Serbuk sari harus berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya lewat media, salah satunya adalah angin. Kinerja media penyerbuk bunga sangat sensitif terhadap gangguan hujan. Kelebihan hujan berpotensi menghalangi gerakan media serbuk sari menuju putik di pohon lainnya. Berujung pada pembentukan biji kopi abnormal [biji cacat], seperti biji kopi lanang, biji gajah, biji kopong dll. Curah hujan juga berpengaruh pada persentase pembentukan pentil buah. Pada curah hujan lebat [165 mm/hari], pembentukan buah rata-rata hanya 3,70 %. Pada hujan ringan, hasil buah bisa mencapai 26 %. Saat kondisi normal [tanpa hujan], perolehan buah bisa mendekati 48 %. Sementara itu, kopi arabika yang bersifat menyerbuk sendiri tidak terlalu sensitif terhadap intensitas hujan. Sering terjadi penyerbukan dan pembuahan kopi arabika telah berlangsung sebelum bunga mekar. Secara umum, baik robusta maupun arabika akan terdampak musim kering [curah hujan <100 mm/bulan] berkepanjangan. Pohon kopi akan menjadi lemah. Ditandai, daun bersama bunga mengering dan berguguran. Idealnya, musim kering mulai tiba menjelang panen.

DAMPAK PADA HAMA DAN PENYAKIT

Salah satu faktor pembatas budidaya tanaman kopi adalah keberadaan hama dan penyakit. Sering disebut dengan istilah organisme penganggu tanaman [OPT]. Terdiri atas 3 kelompok, yaitu hama, penyakit dan gulma. Perkembangan ketiganya dipengaruhi oleh dinamika siklus iklim. Hama lebih dominan berkembang pada musim kemarau. Sedangkan, mayoritas penyakit dan gulma tumbuh baik pada musim hujan. Eksistensi OPT di kebun kopi berpotensi menurunkan kuantitas dan kualitas produksi. Beberapa jenis OPT berkembang lebih cepat akibat perubahan iklim, di antaranya adalah,

  • Penggerek Buah Kopi

Sering disingkat PBKo. Memiliki nama latin Hypothenemus hampei. Dianggap sebagai salah satu hama yang sangat merugikan. Menyebabkan penurunan produksi dan mutu biji kopi. Invasi PBKo dimulai oleh serangga betina dewasa. Melubangi ujung buah kopi muda dan bertelur. Menjadikan biji kopi sebagai teater untuk reproduksi. Telur menetas menjadi larva jadi serangga dan bertelur lagi. Siklus kehidupannya sangat cepat. Setiap peningkatan suhu lingkungan sebesar 1oC, PBKo berkembang lebih cepat dari sebelumnya. Menghasilkan jumlah generasi yang lebih banyak untuk setiap musim panen. Memperluas jangkauan penyebaran ke seluruh kebun. Serangan BPKo berpotensi bisa menurunkan produksi kopi sampai sebesar 20 %.

  • Penyakit Karat Daun

Jamur Hemileia vastatrix, dikenal sebagai penyebab penyakit karat daun kopi, pertama kali diidentifikasi tahun 1869. Spora jamur menginfeksi bagian bawah daun kopi. Mengkonsumsi daun sebagi nutrisi untuk berkembang biak. Menjalar ke daun bagian atas. Melapisi muka daun dengan bercak-bercak berwarna coklat. Menghalangi terpaan sinar matahari. Invansi jamur kronis bisa menurunkan kapasitas fotosintesis daun sampai 70 %. Berpotensi menurunkan produksi sampai 40 %. Perang melawan jamur karat daun semakin komplek. Kini, jamur karat daun mendapat sekutu baru, perubahan iklim. Kehidupan jamur karat daun saat peka terhadap suhu. Semula suhu lingkungan ketinggian di atas 1000 dpl mampu menghambat perkembangan jamur karat daun. Kini situasi telah berubah. Perubahan iklim menjadikan suhu di dataran tinggi juga semakin hangat. Diprediksi, jamur karat daun bisa berkembang-biak di elevasi yang makin tinggi daripada yang diperkirakan sebelumnya.

  • Nematoda Parasit

Ada 2 jenis nematoda parasit potensial menimbulkan kerusakan akar tanaman kopi, yakni Pratylenchus coffeae dan Radhopholus similis. Daur hidup masing-masing nematoda tersebut adalah 45 hari dan 1 bulan. Serangan P. coffeae pada kopi robusta dapat menurunkan produksi 28 sampai 78 %. Secara simultan, invasi R. similis dan P. coffeae pada kopi arabika mengakibatkan kerusakan sampai 80 %. Faktor ekologi yang sangat penting bagi kehidupan nematoda adalah tanaman inang, curah hujan, suhu dan kelembaban tanah. Iklim ekstrem basah memicu peningkatan populasi yang serius nematoda P. coffeae.

ADAPTASI PANEN

Protokol GAP [Good Agriculture Practices] menekankan panen buah kopi secara selektif. Petik buah kopi tepat matang saja. Saat kulit buah kopi sudah berwarna merah merata. Warna merah-kehitaman menunjukkan buah kopi sudah kelewat matang. Sedangkan, warna hijau pertanda buah kopi masih muda. Secara kimiawi, daging buah muda belum mengandung gula [komponen citarasa]. Nilai kadar gula dalam satuan brix masih O. Nilai brix buah kopi tepat matang terukur pada skala brix 14 dan berasa manis. Nilai selebihnya, buah kopi dianggap sudah kelewat matang. Kini, ritme dan jumlah panen dipengaruhi oleh kondisi cuaca di lingkungan kebun masing-masing. Secara faktual, perubahan keduanya menimbulkan konsekuensi sebagai berikut ini,

  • Variasi Jumlah Panen

Di daerah basah, periode panen berlangsung lebih lama. Produksi maksimun harian hanya sekitar 2 % dari total panen per tahun. Sedangkan, di wilayah kering, produksi harian maksimum bisa mencapai 3 %.  Konsekuensinya, hasil panen tertumpuk, tidak tertangani.

  • Penumpukan Hasil Panen

Di daerah basah, ativitas panen buah tertunda akibat hujan berkepanjangan. Penundaan panen beresiko buah kopi arabika jatuh ke tanah. Sedangkan buah kopi robusta tetap melekat di dahan sampai mengering.

Menurut protokol GHP [Good Handling Practices], hasil panen seharusnya diolah pada hari yang sama setelah aktivitas panen selesai. Perubahan cuaca memaksa  penundaan pengolahan hasil panen tidak bisa dihindari. Menyimpan hasil panen dengan teknik perendaman dalam air adalah salah satu solusinya [Gambar 4].

Selama ini, petani menyimpan hasil panen dalam karung plastik. Kesegaran buah kopi terdeteksi menurun secara drastis selama penyimpanan. Terlihat secara fisis dari perubahan warna kulit buah, tingkat kelunakan daging buah dan aromanya. Warna buah kopi dalam karung yang semula merah berubah kecoklatan selang 3 hari kemudian. Terjadi beberapa reaksi enzimatis secara berurutan. Diawali oleh reaksi pencloklatan kulit akibat peruraian senyawa polifenol oleh enzim polifenol oksidase. Disusul degradasi senyawa pektin dalam daging buah oleh enzim pektinase. Daging buah berangsur menjadi lunak. Memudahkan senyawa gula teroksidasi dibantu khamir membentuk alkohol. Senyawa ini merupakan cikal bakal munculnya berbagai senyawa asam oleh aktivitas bakteri asam. Suhu tumpukan buah kopi dalam karung meningkat hingga 40 oC. Muncul aroma kurang sedap. Senyawa asam berpotensi meresap dalam biji kopi. Menimbulkan cacat rasa yang serius.

Fenomena seperti di atas bisa direduksi melalui penerapan teknik perendaman buah kopi hasil panen dalam air. Oksigen adalah agen utama reaksi fermentasi enzimatis dan oksidatif. Air berfungsi untuk membatasi interaksi berlebihan antara buah dengan oksigen. Kadar oksigen dalam udara mendekati 21 %. Sementara dalam air, konsentrasi oksigen hanya 3 %. Air juga berperan sebagai media pendingin. Menjaga suhu buah kopi dalam bak relatif konstan, tidak jauh dari suhu lingkungan. Selama 3 hari perendaman, kesegaran buah kopi hasil panen menurun tipis. Disarankan perendaman dalam air tidak lebih dari 2 hari. Namun, pada kondisi darurat, hari perendaman bisa ditambah dengan syarat air rendaman diganti setiap hari. Aplikasi teknik perendaman disesuaikan jumlah panen. Pada panen skala kecil, perendaman bisa dilakukan dalam ember plastik. Saat panen puncak, kolam terpal bisa dipakai untuk perendaman. Sekaligus difungsikan sebagai proses perambangan. Buah kopi kosong yang mengapung dikeluarkan dari kolam. Buah kopi bernas mengendap di dasar kolam. Memenuhi syarat untuk diproses ke tahap pengolahan berikutnya. Dipilih metoda olah yang adaptif dengan kondisi iklim lingkungan kebun.

ADAPTASI PASCAPANEN

Teknik pengolahan kopi terus berevolusi dan berinovasi mengikuti dinamika perubahan iklim dan permintaan pasar. Pada kondisi iklim normal, pemilihan metoda didasari sepenuhnya untuk pemenuhan pasar. Kini, kondisi iklim tidak bisa diabaikan. Perubahan cuaca dalam rentang waktu pendek perlu disiasati dengan dengan penentuan metoda olah yang tepat. Bertarget, perolehan hasil pengolahan yang optimal [Gambar 5 ].

Pra Pengolahan

Pascapanen adalah suatu kegiatan mengolah buah kopi hasil panen secara tepat berbasis aplikasi berbagai ilmu keteknikan. Secara garis besar, pasca panen terbagi dalam dua tahapan, yaitu pra-pengolahan dan pengeringan. Bertujuan untuk menghasilkan biji kering berkadar air 12 % secepat mungkin. Sesuai syarat penyimpanan biji kopi yang aman untuk mereduksi tingkat kerusakan mutu dan kehilangan bobot. Biji kopi merupakan bagian buah kopi yang mempunyai nilai ekonomi paling tinggi. Setiap 100 kg hasil panen buah kopi arabika akan dihasilkan 19 kg biji kopi kering, sedangkan hasil biji kopi robusta bisa mencapai 22 kg. Sisanya kurang lebih 78 sampai 81 kg dipisahkan dari biji kopi dengan berbagai teknik pra-pengolahan [Tabel 2].

Setiap metoda olah mensyaratkan buah kopi harus dirambang terlebih dahulu untuk memilah antara buah kopi kopong dari buah bernas. Hanya buah bernas yang bisa diolah lanjut. Perbedaan fundamental dari masing-masing metoda olah terletak pada perlakuan pra-pengolahan pasca perambangan buah kopi, yaitu,

  • Metoda Olah Kering [Natural Kering]

Metoda ini tidak menerapkan pra-perlakuan buah hasil panen. Buah kopi utuh memiliki 2 komponen utama yang masih lengkap. Komponen pertama adalah biji kopi berkulit tanduk [biji kopi gabah] plus lapisan lendir. Proporsi komponen pertama ini hampir 60 % dari total buah kopi. Sisanya sebanyak 40 % adalah komponen kedua. Berwujud kulit berikut daging buahnya dan mengandung lebih banyak air dari pada komponen pertama.

  • Metoda Olah Basah [Full Wash]

Metoda olah ini mengaplikasikan pra-perlakuan yang cukup panjang. Bertujuan untuk membuang komponen kedua sebanyak mungkin dari buah. Karena dianggap memperlambat proses pengeringan. Pra-perlakuan metoda olah ini diawali dengan pengupasan kulit buah. Diikuti kemudian fermentasi dan pencucian. Kulit bersama daging buah dikupas secara manual atau mekanik. Sisa lendir di permukaan biji kopi gabah diuraikan secara fermentasi maksimum 36 jam. Lendir yang terlepas dicuci sampai bersih. Setiap 100 kg buah arabika olah basah akan menghasilkan 45 kg biji kopi gabah yang sudah bersih.

  • Metoda Olah Semi Basah

Metoda olah ini merupakan adopsi parsial metoda olah basah. Hanya perlakuan pengupasan buah kulit buah saja yang dipertahankan. Sisa lendir di permukaan biji kopi gabah dibersihkan secara mekanik. Lendir digosok dengan alat yang disebut “demucilager”. Tidak sebersih hasil metoda olah basah. Masih tersisa lendir tipis di permukaan biji kopi gabah. Metoda olah ini awalnya dikembangkan untuk mengurangi konsumsi air pada metoda olah basah dan juga mereduksi jumlah air limbah.

  • Metoda Olah Honey

Metoda olah ini mempunyai kemiripan dengan metoda semi wash. Keduanya diawali dengan proses pengupasan kulit buah kopi. Bedanya, sisa lendir di permukaan biji kopi gabah tidak dibersihkan. Dibiarkan seperti apa adanya, langsung dijemur di atas jemuran para-para. Lapisan sisa lendir olah honey sedikit lebih tebal dari hasil olah semi wash. Diprediksi lapisan lendir olah honey berpotensi sedikit menghalangi evaporasi air dari permukaan biii kopi gabah.

Penjemuran

Penjemuran termasuk teknik pengeringan berbasis sumber panas dari radiasi matahari. Faktor eksternal pembatas kinerja penjemuran adalah cuaca. Suhu, kelembaban udara dan kecepatan angin secara kolektif berpengaruh pada laju penguapan air. Sedangkan, faktor pembatas internal adalah sifat-sifat bahan yang sedang dikeringkan, antara lain, kadar air, ukuran, densitas, tebal lapisan dan perlakuan bahan sebelum dikeringkan. Sifat internal harus diatur menyesuaikan dengan sifat eksternal. Selama  proses pengeringan terjadi kompetisi antara laju penguapan air dan laju pertumbuhan jamur. Pada cuaca ektrim basah, kompetisi akan dimenangkan oleh invasi jamur. Laju penguapan air dari buah kopi akan berjalan lambat. Akibat ketersediaan radiasi matahari terhalang oleh awan dan hujan.

Kini, petani dihadapkan pada pilihan cuaca ekstrim kering sampai ekstrim basah. Mengadopsi metoda olah kering [natural] di wilayah iklim ekstra kering adalah pilihan yang tepat. Karena metoda olah kering hanya mengandalkan proses tunggal, yaitu penjemuran buah. Setelah melewati perambangan, buah kopi utuh berkadar air awal 65 % langsung dijemur. Iklim adalah faktor eksternal penjemuran, sifatnya “given”. Faktor alam, manusia tidak bisa intervensi. Tapi manusia bisa mengubah faktor internal, salah satunya adalah tebal lapisan buah kopi. Tebal lapisan buah kopi di lantai jemuran ditentukan oleh nilai densitas buah kopi yang akan dihamparkan di atasnya. Densitas buah kopi arabika dan robusta utuh masing-masing adalah 610 dan 645 kg/m3. Pada tebal lapisan buah kopi 10 cm, daya tampung lantai jemuran adalah 61 kg/m2 untuk buah arabika dan 64,50 kg/m2 untuk kopi robusta. Penjemuran buah kopi pada ketebalan lapisan 10 cm, butuh waktu penjemuran selama 30 hari, sampai kadar air mencapai 12 % [Gambar 6].

Penjemuran terlalu lama beresiko serangan jamur pada buah kopi. Dengan memilih tebal lapisan buah 5 cm, waktu penjemurannya jauh lebih singkat, yaitu hanya 20 hari. Potensi invasi jamur ke permukaan buah kopi terhambat. Keterbatasan kandungan air dalam buah kopi menghalangi jamur melakukan reproduksi. Namun, kapasitas jemuran menurun separonya, masing-masing  jadi 30 kg/m2 untuk buah kopi arabika dan 32,25 kg/m2 untuk buah kopi robusta. Memang harus ada kompromi antara kapasitas jemuran dan kualitas hasil penjemuran.

Monitoring cuaca harian sangat diperlukan lewat situs BMKG wilayah masing-masing kebun. Sekiranya berlangsung cuaca basah berkepanjangan, metoda olah basah bisa dijadikan pilihan. Aplikasi metoda olah basah memberikan 2 manfaat. Pertama bisa mempersingkat waktu pengeringan dan kedua dapat meningkatkan kapasitas jemuran. Pra-perlakuan berupa pengupasan buah, fermentasi dan pencucian merubah faktor internal secara drastis. Cenderung membantu mempercepat proses penjemuran. Kadar air awal dan ukuran biji gabah menurun masing-masing tinggal 55 % dan 12 mm. Dibandingkan semula 65 % dan 15 mm saat masih berbentuk buah utuh. Pra-perlakuan juga mengelimisasi lebih dari 40 % berat buah kopi. Dengan tampilan biji kopi gabah yang lebih bersih. Tidak ada lagi hambatan penguapan air dari komponen kedua. Evaporasi air berlangsung hanya dari komponen pertama saja. Pada tebal lapisan 5 cm, waktu penjemuran biji kopi gabah bisa dipersingkat hanya 10 hari. Penambahan tebal lapisan biji gabah sampai 10 cm hanya menambah waktu pengeringan sampai 21 hari.

Luas jemuran dengan metoda olah kering bisa dihitung dari data Tabel 2. Pada tebal lapisan buah 5 cm, luas jemuran metoda olah kering minimal adalah 3,28 m2 dan 3,10 m2, masing-masing untuk buah kopi arabika dan robusta. Dengan asumsi waktu penjemuran 20 hari, maka total luasan jemuran teoritis adalah 60,56 m2 dan 60,20 m2. Dibulatkan jadi 60 mper 100 kg buah. Rata-rata hasil panen petik buah merah adalah 100 kg/hari. Rotasi panen petik buah merah setiap interval 7 sampai 10 hari. Pada saat menunggu panen berikutnya, kadar air buah kopi di jemuran sudah turun tinggal 40 %. Disertai penyusutan volume buah kopi sebesar 35 %. Buah kopi setengah kering bisa ditumpuk sampai tebal lapisan menjadi 10 cm. Lantai yang kosong bisa diisi buah panen periode berikutnya. Tata kelola antara panen dan proses pengeringan yang optimal berpotensi mereduksi dimensi lantai jemuran tinggal 10 mper 100 kg buah kopi.

Pada metoda olah basah, luas jemuran minimal adalah 3 m2 dan 1,50 m2, masing-masing untuk ketebalan lapisan biji kopi gabah 5 dan 10 cm. Jika rata-rata hasil panen petik buah merah adalah 100 kg/hari dan waktu pengeringan 10 hari, maka total luasan jemuran teoritis adalah 30 m2 dan 15 m2. Faktualnya, rotasi panen petik buah merah dilakukan setiap interval 7 sampai 10 hari. Pada saat menunggu panen berikutnya, kadar air biji berkulit tanduk yang dimuat sebelumnya sudah turun hingga 17 %. Disertai penyusutan volume biji kopi gabah sebesar 25 %. Tebal lapisan biji kopi gabah setengah kering bisa ditumpuk sampai 10 cm. Lantai yang kosong bisa diisi biji kopi gabah periode panen berikutnya. Dengan pengelolaan pengeringan yang baik, dimensi lantai jemur olah basah bisa berkurang tinggal 5 m2.

Penjemuran Dalam Rumah Kaca

Pengering rumah kaca merupakan improvisasi dari cara penjemuran. Bangunan berarsitek limasan. Terbalut atap dan dinding plastik transparan. Berfungsi untuk menjebak radiasi matahari yang menembus masuk ke dalamnya. Terbentur lantai ruangan, radiasi matahari berubah menjadi panas. Suhu udara dalam ruangan naik melebihi suhu di luar ruangan. Buah kopi  atau biji kopi gabah di dalam ruangan cepat mengering dibandingkan di lantai penjemuran terbuka. Pengering rumah kaca yang ada sekarang ini bisa diupgrade mengikuti perkembangan teknologi dan kemampuan keuangan petani. Melalui introduksi teknologi panel surya dan perangkat pendukung sederhana, pengering rumah kaca berubah ke arah moda aktif [active solar dryer]. Proses pengeringan lebih terkontrol dan tidak tergantung sepenuhnya pada manusia. Harga panel surya sekarang ini relatif murah. Demikian juga, sistem perangkat pendukungnya mudah dirangkai dari komponen elektronik yang mudah didapat di pasaran. Rancangan pengering rumah kaca berperangkat panel surya disajikan pada Gambar 7 berikut [RANCANGAN RUMAH KACA KOPI],

Fungsi panel surya adalah mengkonversi radiasi matahari menjadi energi listrik arus searah [DC] 15 – 18 Volt pada siang hari. Energi ini dipakai untuk pengisian aki [baterei] 12 V. Pada malam hari, simpanan energi listrik dimanfaatkan sebagai sumber energi untuk kipas arus DC, pemanas infra merah dan lampu penerangan di lingkungan pengering. Pada siang hari, kipas berfungsi untuk menghisap kelebihan uap air dari dalam ruangan kaca. Kipas bisa dioperasikan secara otomatis tergantung pada nilai Rh dalam ruangan. Saat nilai Rh tinggi [> 50%] kipas akan hidup. Sebaliknya, saat nilai Rh mendekati 40%, kipas akan mati. Pengaturan operasional kipas dikontrol oleh sensor humuditi yang ditempatkan di ruang pengering. Saat malam hari, suhu ruang pengering turun dan Rhnya naik. Sensor humiditi akan menghidupkan lampu sinar infra merah. Suhu ruangan akan meningkat lagi. Pengeringan bisa berlangsung 24 jam. Tentu saja, waktu pengeringan buah kopi atau biji kopi gabah menjadi lebih singkat.

PENUTUP

Fakta bahwa iklim telah berubah, sedang berubah dan akan terus berubah. Pelaku bisnis kopi harus berupaya secara bersama untuk memastikan bahwa bisnis kopi tetap berjalan dan bahkan terus berkembang secara berkelanjutan. Kopi merupakan sumber kehidupan jutaan orang, mulai dari petani, industri sampai pelaku distribusi dan retail.

 

RUJUKAN

Alfiandy, S & D. S, Permana [2020]. Tren Curah Hujan Berbasis Data Sinoptik Bmkg Dan Reanalisis Merra-2 Nasa Di Provinsi Sulawesi Tengah. Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol.21 No.2, 2020: 63 – 72 63.

Runtunuwu, E & H. Syahbuddin [2007]. Perubahan Pola Curah Hujan dan Dampaknya Terhadap Periode Masa Tanam. Jurnal Tanah Dan Iklim No. 26/2007. ISSN 1410 – 7244.

Wagner. S, L. Jassogne, E. Price, M. Jones & R. Preziosi [2021]. Impact of Climate Change on the Production of Coffea arabica at Mt. Kilimanjaro, Tanzania. Agriculture 2021, 11, 53. https://www.mdpi.com/journal/agriculture.

Widyotomo. S [2014]. Kinerja Bangunan Tembus Cahaya Skala Besar untuk Proses Pengeringan Kopi. Pelita Perkebunan, Volume 30, Number 3, December 2014.

Wiryadiputra, S.; Cilas, C.; Morin, J.-P [2008]. Effectiveness of the Brocap Trap in Controlling the Coffee Berry Borer (Hypothenemus Hampei Ferr.) in Indonesia: [PA589]; ASIC: Montpellier, France, 2008.

www.coffeeandclimate.org [2015]. Climate Change Adaptation in Coffee Production A step-by-step guide to supporting coffee farmers in adapting to climate change Produced by the initiative for coffee & climate Version January 2015.

www.sustaincoffee.org/assets/resources/Indonesia_CountryProfile_Climate_Coffee_6-11.pdf Coffee Production In The Face Of Climate Change: Indonesia.

Yuliasmara, F [2016]. Strategi Mitigasi Perkebunan Kopi Menghadapi Perubahan Iklim. Warta Pusat Penelitian Kopi Dan Kakao Indonesia. 28 | 3 | Oktober 2016.

Yusianto and D. Nugroho [2015]. Pengaruh Perlakuan Penyimpanan Buah Sebelum “Pulper Terhadap Mutu Fisik Dan Citarasa Kopi Arabika. Internal Report Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Jember.

=====O=====

Leave a Reply

Your email address will not be published.

× WhatsApp