Blog

Get informed about our latest news and events

Sinergitas Pentahelix-Prospek dan Tantangan Agribisnis Kopi dan Kakao

Perkebunan rakyat menyumbang hampir 96% produksi nasional. Produksi kopi berada saat ini di kisaran 755 ribu ton dan bertengger di posisi keempat setelah Brasil, Vietnam dan Colombia. Performa produksi kebun kopi rakyat belum sepenuhnya menggembirakan. Produktivitas tanaman kopi masih bergeming di kisaran 700 kg per ha per tahun. Jauh di bawah produktivitas kebun kopi Vietnam yang sudah mendekati hampir 3 ton per ha per tahun. Dibutuhkan upaya terobosan untuk memajukan kopi Indonesia sekaligus menyejahterakan taraf hidup petani. Perlu dukungan riset oleh Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian bermitra dan bersinergi dengan seluruh pemangku kepentingan komoditas kopi. Momentum tepat untuk membuka ruang eksperimen lebih luas. Mengkaji kelemahan sistem produksi kopi selama ini untuk ditelorkan suatu solusi yang tepat guna, holistik, komprehensif dan terintegratif.

Pasar utama kopi Indonesia terbagi menjadi 2 segmen, yaitu ekspor [60 %] dan domestik [40 %]. Kinerja ekspor kopi saat ini masih didominasi produk primer. Hampir 98 % nilai ekspor [US $ 810 juta] diperoleh dari penjualan biji kopi mentah [green beans] yang umumnya jenis robusta berperingkat mutu SNI [kopi reguler]. Peringkat ini belum cukup untuk mendongkrak ekspor lebih besar. Konsumen kopi global telah bergeser ke biji kopi arabika mutu spesialti, dengan mengedepankan kualitas tinggi berbasis artisan, kekhususan [customized], ketelusuran [traceability] dan tata-kelola produksi berkelanjutan [sustainability]. Daya saing global perlu label sertifikasi, antara lain, Organik, Fairtrade, UTZ, Rainforest Alliance dll. Selain harganya lebih tinggi dari kopi reguler, biji kopi spesialti dan bersertikat bisa diekspor dalam jumlah sedikit [micro-lot]. Petani secara kelompok bisa berperan pada segmen pasar ini.

Pasar domestik selama kurun waktu 10 tahun terakhir ini justru mengalami peningkatan cukup tajam, yaitu 5 – 6 % per tahun. Saat ini menyentuh angka 340 ribu per ton atau setara dengan konsumsi per kapita 1,30 kg/orang/tahun. Sekitar 30 % pasar domestik dikuasai oleh pengecer [retail] kopi bubuk tubruk [berampas] dalam kemasan saset berbagai ukuran. Sebanyak 10 % dipasarkan dalam kemasan saset bubuk  instan [tanpas ampas]. Juga beredar kemasan saset 3 in 1 [bubuk kopi, krimer dan gula]. Segmen pasar ini terus berkembang sebagai dampak promosi yang masif, harga relatif terjangkau dan kepraktisan dalam penyeduhan. Sedangkan, Gerai Kopi Horeka [Hotel, Resto dan Kafe] menyerap biji kopi kualitas atas [umumnya kopi Arabika] grade I, premium dan spesialti.

Selisih angka produksi dan konsumsi kopi domestik makin menciut. Impor tidak terhindarkan. Biji kopi robusta Vietnam masuk dalam jumlah paling besar untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri kopi instan. Impor dari Brasil dan Timor Leste umumnya adalah kopi arabika, untuk memperbanyak varian seduhan kopi di segmen pasar Horeka. USA, Jerman dan Malaysia termasuk importir terbesar kopi Indonesia. Namun, USA dan Malaysia melakukan re-ekspor kopi ke Indonesia dalam bentuk produk olahan [biji kopi sangrai dan kopi bubuk].

Melalui penerapan tata kelola kebun yang baik [Good Agriculture Practices], produktivitas kebun kopi bisa ditingkatkan. Bukan mustahil impor kopi dari Vietnam tidak diperlukan lagi. Konsepsi dasar GAP adalah untuk menjamin program pembangunan pertanian berkelanjutan. Selain manfaat ekonomi, pengelolaan kebun kopi harus berwawasan lingkungan dan menjaga kelestarian sumberdaya alam. Dengan penerapan GAP secara masif dan dalam skala luas, petani terbiasa dan lebih siap untuk mengikuti program-program sertifikasi kopi skala global. Produk kopi bersertifikat “ekolabel” sudah menjadi tren pasar kopi dunia saat ini. Beberapa lembaga dunia telah melakukan sertifikasi kopi di Indonesia, antara lain, “Organic”, “Fair Trade”, “UTZ”, “RainForest Alliance”, “Bird Friendly” dan “4C”. Masing-masing sertifikat memiliki interest dan tematik dalam pengelolaan kebun kopi berkelanjutan.

Sumber Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia [AEIKI] menengarai kapasitas produksi industri kecil dan menengah produk kopi [UKM] anjlok ke kisaran 10 – 20 %. Sementara, industri kopi olahan berskala besar hanya mampu menjaga utilitas di level 30 – 35 %. Protokol pencegahan Covid-19 mengharuskan konsumen membatasi kunjungan ke lokasi keramaian, termasuk ke kafe dan resto. Terjadi penurunan serapan kopi yang berimbas pada penurunan aktivitas produksi di pabrik kopi olahan. Bermula dari pengurangan jam kerja sampai penghentian sementara para karyawan pabrik. Pemerintah hadir melalui intervensi kebijakaan relokasi dan refokusing anggaran sebagai stimulus pemulihan dan aktivasi produksi kopi UKM. Disusul dengan kebijakan relaksasi kredit berupa penundaan cicilan dan penurunan bunga. Hal yang sama juga diberikan pada pelaku ojek-online sebagai ujung tombak distribusi produk kopi ke konsumen.

Beberapa tahun belakangan ini, harga di pasar global cenderung menurun. Membajirnya pasokan ditengarai sebagai pemicunya. Laju peningkatan konsumsi kopi secara global sebesar 2,20 % belum mampu menyerap kelebihan pasokan. Sebaliknya, eksportir lokal terkendala mencari biji lokal. Dalam kurun 10 tahun terakhir ini, produksi biji kopi domestik relatif stagnan. Sementara, konsumsi kopi dalam negeri meningkat cukup tajam akibat menjamurnya pasar kedai dan horeka dalam negeri.

Tingkat konsumsi kopi domestik saat ini sudah meluncur ke angka 1,30 kg/orang/tahun. Para analis memperkirakan setiap pendapatan per kapita naik 1 % akan mengangkat konsumsi kopi menjadi 2 %. Tahun 2019, BPS mencatat, pendapatan per kapita domestik naik menjadi Rp 59,1 juta dari tahun sebelumnya Rp 56 juta.

Pada beberapa tahun belakangan ini, laju peningkatan konsumsi kopi dalam negeri mencapai 6 – 8% per tahun Sementara itu, dalam kurun waktu yang sama pertumbuhan produksi kopi justru stagnan, bahkan sedikit negatif kira-kira 0,3 %. Ketimpangan antara pasokan dan permintaan ini membuka kemungkinan dalam 4 – 5 tahun mendatang, Indonesia menjadi negara importir kopi. Upaya peningkatan produksi kopi telah dicanangkan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan. Berbekal konsep pengembangan kopi berkelanjutan, progam rehabilitasi, intensifikasi dan ekstensifikasi telah dijalankan di beberapa wilayah produksi potensial. Tanaman tua dan tidak produktif diremajakan dengan tanaman unggul dibarengi pola tanam berbasis Good Agricultural Practices [GAP]. Petani juga mendapatkan kemudahan akses pembiayaan melalui KUR. Selain untuk pemeliharaan tanaman, petani bisa memanfaatkan KUR untuk pengembangan usaha mulai dari tumpang sari sampai menghasilkan produk hilir kopi.

Seperti halnya kopi, kakao diperdagangkan dalam bentuk fisik sebagai biji kering. Tingkat produksi kakao saat ini di kisaran 600 ribu ton.  Hampir 96 % produksi kakao nasional dihasilkan oleh petani. Di dalam rantai pasok agrisnis kakao, petani berperan sentral sebagai penyedia biji kakao kering, bahan baku industri olahan kakao domestik dan global. Tugas petani mengelola kebun, memanen buah matang dan mengolah buah kakao hasil panen, yaitu fermentasi, pengeringan dan sortasi biji kering. Hal ini berbeda di agribisnis kopi. Petani kopi bisa berbisnis di setiap segmen rantai pasok mulai dari hulu sampai hilir. Petani kopi bisa bersinggungan langsung dengan konsumen akhir produk kopi [end users]. Bahkan di antara petani kopi memiliki kedai. Sebaliknya, aktivitas bisnis petani kakao terhenti sampai menghasilkan biji kakao kering saja, dilanjut oleh pedagang pengumpul [trader]. Entitas ini berperan sebagai penghubung petani kakao dengan eksportir dan industri lokal. Industri ini mengolah biji kakao menjadi produk antara [intermediate products], yaitu, pasta, lemak dan bubuk kakao. Ketiga produk ini kemudian dipasok ke industri hilir untuk kemudian diolah lanjut menjadi produk-produk makanan dan minuman yang siap didistribusikan ke pasar retil, dalam bentuk permen cokelat batangan, pralin, susu bubuk cokelat, roti kering, es krim, biskuit dsb.

Berawal dari Meksiko, suku Aztec mengkosumsi minuman cokelat dari biji buah kakao [Thebroma cacao. L]. Mereka menyebutnya dengan istilah “xocalatl”: artinya minuman hangat dengan rasa pahit.  Tahun 1529, F. Cortes membawa biji kakao ke Spanyol dan membuatnya menjadi minuman cokelat-manis yang lezat dan menjadi sangat terkenal di seluruh kawasan Eropa. Perkembangan industri cokelat semakin pesat sejak ditemukannya mesin uap oleh James Watt tahun 1770 dan mesin kempa lemak kakao oleh Van Houten tahun 1828. Memberi kesan seolah, belahan bumi utara mewakili negara produsen cokelat dan belahan selatan sebagai pemasok bahan bakunya. Namun, laju pertumbuhan konsumsi cokelat belum sepenuhnya bisa diimbangi oleh produksi biji kakao dari negara selatan.

Theobroma cacao ditemukan di habitat bawah tanaman hutan tropis di sekitar hulu sungai Amazon. Genus tanaman ini berjumlah 22 spesies. Dua diantaranya berkembang secara komersiil yaitu Criollo dan Forastero. Keduanya dibedakan atas dasar warna belahan keping bijinya. Jenis Criollo sering disebut kakao mulia [fine cocoa] karena mempunyai karakter warna keping biji putih dan citarasa-aroma khas cokelat yang menonjol. Kakao jenis ini digunakan sebagai bahan baku produk cokelat spesialti. Indonesia termasuk salah satu produsen kakao Criollo, yaitu di kebun PT. Nusantara XII, Jawa Timur. Kakao Criollo juga ditanam di Karibia dan Amerika Tengan. Meskipun citarasanya enak, kakao Criollo memiliki produktivitas rendah dan kurang tahan terhadap serangan hama dan peyakit. Pada tahun 1760, sebagian besar tanaman kakao Criollo diganti dengan jenis Forastero yang mempunyai sifat lebih tahan terhadap penyakit. Keping biji kakao jenis ini berwarna ungu tua, citarasa khas cokelat lemah, sedikit pahit dan digunakan untuk produksi cokelat regular. Kakao jenis ini menguasai lebih dari 80 % pasar biji kakao global. Selain kedua jenis tersebut, ada tanaman kakao jenis Trinitario yang merupakan hasil persilangan [hibrida] antara Criollo dan Forastero. Produktivitas kakao Trinitario lebih rendah dari tanaman kakao jenis Forastero. Namun, mempunyai citarasa lebih baik dan biasa dipakai sebagai bahan baku cokelat premium.

Sempat bertengger di posisi 3 produsen biji kakao dunia, produksi kakao Indonesia mengalami penurunan, bergeser ke turun ke peringkat 6 dunia. Akibat umur tanaman yang sudah tua, bahan tanam yang kurang baik, serangan hama dan penyakit, perawatan tanaman yang kurang memadai, perubahan iklim dan juga adanya alih fungsi lahan. Terjadi kesenjangan antara kebutuhan industri dan kemampuan pasok bahan baku. Terutama sejak diterapkan bea keluar [BK] sebesar 10 % tahun 2010. Industri cokelat meningkat sangat tajam. Kapasitas terpasang industri yang semula hanya 360 ribu tahun 2010 menjadi 800 ribu ton. Namun, tingkat utilisasi industri tidak beranjak di kisaran 45 – 50 % karena kekurangan bahan baku. Imbasnya, impor biji kakao dari beberapa negara produsen di Afrika tidak terhindarkan. Saat ini posisi impor sudah mencapai di atas 200 ribu ton.

Kebijakan penerapan BK mampu menghidupkan harapan tinggi bagi industri yang sebelumnya sudah mati suri, akibat kekurangan pasokan bahan baku kakao. Bahkan, raksasa industri cokelat global berbondong-bondong berinventasi di Indonesia. Sejumlah industri cokelat di sejumlah daerah juga melakukan ekspansi produksi dan investasi baru. Kini, 10 tahun kemudian bayang-bayang kekurangan bahan baku menghantui lagi industri cokelat yang sudah tersebar di berbagai wilayah nusantara.

Pemanasan global akibat efek rumah kaca pada bumi pertama kali dicetuskan oleh Joseph Fourier pada tahun 1824. Fenomena ini menyebabkan perubahan iklim yang ditandai oleh kenaikan suhu atmosfir bumi, curah dan pola hujan, arah angin, musim hujan dan musim kering berkempanjangan. Dampak negatif terhadap tanaman kopi dan kakao terjadi secara langsung dan tidak langsung. Secara kumulatif dampak tersebut terlihat dari penurunan produktivitas tanaman yang cukup signifikan.

Aktivitas manusia sejak pra industri [tahun 1850] telah memicu kenaikan suhu lingkungan sebesar 0,6o C. Terjadi anomali iklim: pergeseran pola hujan dan musim kering lebih lama. Serangan hama-penyakit tanaman terlihat lebih nyata. Tanpa mitigasi perubahan iklim, tahun 2050 produksi kopi akan turun sebesar 50%. Bahkan, tahun 2100, suhu lingkungan akan naik sebesar 4oC. Menyebabkan pergeseran pemanfaatan lahan kopi ke wilayah pegunungan. Mencari lingkungan bersuhu yang cocok untuk tanaman kopi. Deforestasi menjadi ancaman masa depan.

Diperlukan sinergi “stake holders” untuk mencari solusi holistik berbasis platform: peningkatan kapasitas produksi, pemasaran terarah, kemitraan, dan penyebaran informasi. Masing-masing platform memiliki tema edukasi yang bertujuan untuk meningkatkan produksi dan mutu kopi dan kakao berwawasan lingkungan, menyejahterakan dan mencerdaskan untuk kemandirian petani.

Agribisnis kopi dan kakao sekarang ini sedang mengalami masalah multi dimensi saling terkait dari aspek produksi, mutu dan keberlanjutan usaha. Model kolaborasi Pentahelix nampaknya merupakan salah satu alternatif kerjasama untuk menyelesaikan permasalahan di atas secara holistik. Model ini melibatkan beberapa institusi yang kompeten, yaitu pemerintah, pelaku bisnis, komunitas, akademisi, lembaga riset serta media. Masing-masing menjalankan perannya sesuai kompetensi yang dimilikinya.

Perubahan iklim merupakan isu krusial yang menjadi tema diskusi antar negara di dunia. Sebagai negara agraris, Indonesia sangat berkepentingan untuk bisa melaksanakan mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim, khusunya terhadap sektor pertanian.

Peran riset sangat diperlukan untuk peramalan dan solusi berkelanjutan mitigasi dampak perubahan iklim terhadap penurunan produksi dan perilaku petani dalam bercocok-tanam. Karakteristik tanaman kopi dan kakao adalah tidak tahan terhadap cekaman air dan suhu lingkungan. Eksploitasi lahan secara berlebihan yang telah berlangsung lama menyebabkan penurunan daya dukung tanah dan kerusakan lingkungan. Disusul kemunculan dan perkembangan hama-penyakit tanaman yang sebelumnya tidak terdeteksi. Diperlukan intervensi riset secara integratif dan holistik dalam bidang pemuliaan tanaman, proteksi tanaman dan sistem budidaya yang adaptif terhadap perubahan iklim.

Petani sudah tua, sering dijadikan alasan kinerja pertanian yang rendah. Petani sebagai aktor utama dunia pertanian justru menjadi titik lemah yang mengkhawatirkan. Kaderisasi petani saat ini sangat krusial. Ditengah merosotnya minat pemuda sebagai pewaris profesi petani dari leluhurnya. Ironisnya anak petani lulusan Perguruan Tinggi jurusan pertanian memilih bekerja di sektor lain yang tidak terkait dengan pertanian. Mereka hidup nyaman di perkotaan, abai terhadap kondisi pedesaan yang membesarkannya.

Kemajuan teknologi informasi, mekanisasi pertanian dan aplikasi “drone’ semestinya bisa menarik lebih banyak pemuda untuk terlibat di agribisnis mulai dari hulu sampai hilir. Itu saja tidak cukup, dibutuhkan perubahan pola pikir [mindset] pemuda menjadi pebisnis tani [entrepreneur], berani berinvestasi untuk memperluas usahanya dan mengambil resiko yang terukur. Niat dan kesungguhan berpikir dan upaya untuk menjaga pewarisan profesi petani berkelanjutan hingga masa yang jauh ke depan. Tenaga penyuluh pertanian, guru, dosen dan bahkan uztad berperan aktif untuk meyakinkan bahwa dunia pertanian sangat menjanjikan disertai panduan dan pelatihan yang kongkrit. Seperti umum di negara berkembang, butuh intervensi pemerintah melalui kebijakan pemberian insentif bagi pemuda keluarga petani yang rela manjadi pewaris profesi ayahnya. Sebagai pebisnis tani profesional, pemuda diharapkan mampu membangun komunitas pedesaan yang produktif dan sejahtera.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

× WhatsApp