Blog

Get informed about our latest news and events

ADOPSI TEKNIK KARBONIK MASERASI PADA FERMENTASI BUAH KOPI [WINE COFFEE]

ADOPSI TEKNIK KARBONIK MASERASI PADA FERMENTASI BUAH KOPI [WINE COFFEE]

Sri Mulato [cctcid.com]

PENDAHULUAN

Metoda olah buah kopi terus berinovasi untuk menciptakan peluang pasar lebih luas. Dimulai paling sederhana yaitu proses natural. Disusul, metoda olah “full washed”, “semi-washed“ dan “honey”. Baru-baru ini muncul proses “wine”. Phrasa asing pengucapan metoda olah sudah sangat lekat di kalangan pelaku bisnis kopi mulai hulu sampai hilir. Fermentasi merupakan proses pemecahan senyawa organik secara mikrobiologis menjadi senyawa baru bercitarasa beda dari yang sudah ada dalam biji kopi. Fermentasi terjadi pada setiap metoda olah kopi. Masing-masing memiliki kondisi dan intensitas reaksi fermentasi berbeda satu sama lain. Terbentuklah hasil fermentasi dengan ciri khas citarasa yang berlainan pula. Proses “wine” adalah fermentasi buah kopi utuh dalam suatu ruangan tertutup. Menyerupai salah satu proses produksi minuman beralkohol [wine] dari buah anggur [grape]. Adalah Sasa Sestic pertama kali mengadopsi proses “wine” untuk pengolahan buah kopi. Hasilnya Sasa Sestic dinobatkan sebagai kampiun kejuaraan barista internasional [World Barista Championship] pada tahun 2015. Secara garis besar, proses produksi “wine” anggur mengikuti 3 metoda berikut ini,

  1. Konvensional: buah anggur hasil panen dicacah [crushing] dan difermentasi dalam bentuk larutan di tangki tertutup secara anaerob oleh khamir.
  2. Karbonik maserasi [carbonic maseration]: tandan buah anggur utuh difermentasi dalam tangki tertutup dan diinjeksi gas CO2.
  3. Semi-karbonik maserasi: tandan buah anggur utuh difermentasi dalam tangki tertutup, tanpa injeksi gas CO2.

Secara anatomi, ada kemiripan struktural antara buah anggur dan buah kopi. Pun, komposisi senyawa organik dalam daging buahnya. Senyawa organik merupakan substrat [larutan organik] sebagai sumber makanan untuk mendukung aktivitas kehidupan mikroba. Khamir [yeast], Saccharomyces cerevisiae termasuk mikroba fakultatif yang banyak dijumpai di alam. Proses “wine” anggur cara konvensional mengandalkan khamir sebagai mikroba pembentuk alkohol [etanol]. Hal yang sama terjadi pada proses kopi “honey”, semi-washed dan full washed. Sebelum difermentasi, buah kopi hasil panen dikupas [pulping] kulitnya. Lendir [mucilage] di permukaan kulit tanduk berfungsi sebagai substrat mikroba. Senyawa gula dalam lendir diubah oleh khamir menjadi alkohol dan beberapa jenis senyawa asam. Senyawa ini kemudian meresap ke dalam biji kopi. Muncul varian citarasa baru dalam biji kopi, yang sebelumnya tidak ada. Yang dilakukan Sasa Sestic adalah penerapan proses karbonik maserasi pada brondolan buah kopi utuh dalam tangki tertutup disertai injeksi gas CO2. Meskipun belum bersifat massal, teknik mirip karbonik maserasi sudah mulai diadopsi oleh para petani Indonesia, sebagai salah satu alternatif metoda olah buah kopi. Dengan cara simpel, buah kopi hasil panen dimasukkan ke dalam kantong plastik, tanpa atau terendam air. Ujung kantong diikat dengan kuat untuk mempertahankan suasana anaerobik di dalam kantong. Tanpa penambahan gas CO2 dari luar. Proses ini lebih tepat disebut pengolahan buah kopi secara semi-karbonik maserasi. Petani menyebutnya proses “wine”.

FERMENTASI BUAH ANGGUR

Buah anggur [Vitis vinifera] adalah bahan baku pembuatan minuman beralkohol jenis “wine”. Saat ini dikenal 3 teknik produksi “wine”, yaitu teknik konvensional, teknik karbonik maserasi dan semi-karbonik maserasi.

Teknik Konvensional

Buah anggur hasil panen dipisahkan dari tandan dan tangkainya. Brondolan buah dicacah sampai kulit dan daging buah menjadi lembut. Jus terperas dan tercampur dengan serpihan kulitnya. Campuran ini dimasukkan ke dalam tangki kedap udara. Fermentasi terjadi secara anaerob. Mikroba khamir, Saccharomyces cerevisiae  mengkoversi senyawa gula menjadi alkohol, disertai pelepasan gas CO2 dan sedikit energi. Suhu fermentasi yang awalnya rendah akan naik perlahan sampai di kisaran 26 – 28oC. Suhu ideal untuk perkembahan biakan khamir. Reaksi fermentasi akan terhenti saat kadar alkohol dalam cairan “wine” mencapai 9 – 12%. Khamir tidak mampu bertahan hidup. Waktu fermentasi kira-kira 7 hari.

Teknik Karbonik Maserasi

Ditemukan oleh Michel Flanzy di tahun 1934. Secara harafiah, karbonik berarti kondisi lingkungan jenuh senyawa karbon bentuk cairan karbonat atau gas CO2. Maserati adalah proses pelunakan kulit akibat kontak langsung dengan larutan senyawa karbonat dalam waktu lama. Pada proses karbonik maserasi, buah anggur dibiarkan tetap utuh. Tandan [dompolan buah anggur] hasil panen dimasukkan ke dalam tangki tertutup dan diinjeksi dengan gas CO2 sampai jenuh. Tidak ada oksigen [anaerob] tersisa dalam tangki [Gambar 1].

Gambar 1. Tahapan proses karbonik maserati buah anggur.

Tahap-1, tandan buah anggur hasil panen dimasukkan sampai ¾ isi tangki stainles. Dompolan buah anggur di lapisan dasar tangki mengalami memar akibat benturan dengan dinding dasar tangki. Juga, terbebani oleh tumpukan dompolan buah anggur di atasnya. Cairan jus tergencet, merembes dari kulit buah dan terkumpul di dasar tangki. Terjadi fermentasi spontan pada cairan rembesan tersebut. Dalam kondisi anaerob, khamir mengkonversi senyawa gula menjadi alkohol dan gas CO2. Secara bersamaan, cairan anggur juga mengalami fermentasi malolaktik. Asam malat, sebagai penyusun utama jus anggur, berubah menjadi asam laktat. Pada tahap-2, tangki ditutup rapat dan diinjeksi gas CO2 lewat tabung gas bertekanan. Oksigen yang semula menempati tangki terusir keluar. Tangki jenuh dengan gas CO2. Seiring berjalannya waktu, gas CO2  diserap oleh kulit buah anggur. Posisi gas O2 tergeser keluar dari daging buah. Proses respirasi dalam daging buah terhenti, digantikan oleh metabolisme fermentasi intraseluar anaerobik. Enzim alkohol dehidrogenase [ADH] dalam buah mengkonversi senyawa gula menjadi alkohol. ADH merupakan enzim alami dalam buah anggur. Digunakan sebagai indikator kematangan buah anggur. Pada kadar ADH tinggi,  buah anggur mendekati matang [ripe].

Pada hari ke 7 – 8, daging buah mengalami perubahan fisis dan kimiawi, antara lain, suhunya meningkat sampai 30 – 35 °C, 20% senyawa gula menyusut, kadar alkohol menjadi 2%, munculnya senyawa gliserol dan kehilangan asam malat sebanyak 50%. Mayoritas asam malat terdegradasi menjadi senyawa piruvat, asetaldehid dan etanol. Pada suhu 35 °C, kandungan asam malat tinggal separonya. Menyebabkan kenaikan nilai pH daging buah anggur sebesar 0,20 poin. Terjadi migrasi senyawa polifenol [tanin dan antosianin] dari kulit ke daging buah. Warna daging buah yang semula putih menjadi merah muda. Terbentuk beberapa senyawa prekursor citarasa khas anggur, di antaranya asam amino dari pemecahan protein dalam daging buah. Esterifikasi etanol menghasilkan asam sinamat pemberi andil pada rasa strawberi dan raspberi. Sementara, senyawa benzaldehid menyumbang aroma buah cherry.

Proses fermentasi intraselular terhenti ketika kadar alkohol dalam daging buah mendekati 2%. Kulit buah makin melunak, rembesan jus keluar dalam jumlah lebih banyak dari daging buah. Akumulasi cairan anggur makin banyak di dasar tangki. Pada tahap-3, sisa daging dan kulit buah dikempa secara mekanik. Cairan jus hasil pengempaan ditampung di drum tersendiri. Terpisah dari cairan rembesan dari dasar tangki. Keduanya kemudian difermentasi secara anaerobik. Jus hasil kempaan mempunyai warna menarik, aroma harum, sangat fruity, manis dan beralkohol rendah. Sering disebut anggur “paradis”. Kadar alkohol dari cairan rembesan dari dasar tangki lebih tinggi, memberikan sensasi citarasa khas “wine”. Tercampur dengan citarasa “fruity” dan sedikit senyawa tannin dan senyawa polifenol.

Teknik Semi-Karbonik Maserasi

Perbedaan teknik karbonik dan semi-karbonik maserasi adalah pada penggunaan gas CO2 selama fermentasi. Pada teknik semi – karbonik maserasi, proses fermentasi dilakukan tanpa injeksi gas CO2. Pada tahap-1, tandan buah anggur utuh masuk ke dalam tangki. Tahap 2, tangki ditutup rapat. Gas CO2 pada semi-karbonik maserasi mengandalkan dari hasil fermentasi. Senyawa gula dikonversi oleh khamir pada suasana anaerob dimulai dari dasar tangki. Karena sifatnya sangat ringan, gelembung gas CO2 bergerak dari tangki bagian bawah menuju ke bagian atas. Proses fermentasi berlangsung secara berkesinambungan sampai terjadi distribusi gas CO2 secara merata di seluruh bagian tangki. Akumulasi gas CO2  menimbulkan tekanan yang mendorong gas CO2 masuk ke dalam daging buah, seperti yang terjadi pada proses karbonik maserasi. Fermentasi selanjutnya berlangsung secara intraselular dalam daging buah anggur. Setelah kadar alkohol dalam daging mencapai 2%, fermentasi enzimatik intraselular terhenti. Diikuti proses tahap-3, pengempaan sisa buah anggur di bagian atas tangki. Cairan hasil kempaan difermentasi secara anaerobik, terpisah dari cairan jus rembesan dari dasar tangki.

PROSES “WINE” PADA PENGOLAHAN KOPI

Secara anatomi, buah anggur dan buah kopi memiliki kemiripan struktural, yaitu kulit buah, daging dan biji. Secara proporsi, daging buah anggur lebih tebal dari pada daging buah kopi. Pun kadar airnya [Gambar 2]. Produk fermentasi buah anggur adalah cairan dari daging buah, disebut “wine”. Setiap 1 kg buah anggur menghasilkan 750 ml “wine”. Produk ini langsung bisa dikonsumsi. Sedangkan, produk fermentasi buah kopi adalah biji kopi. Setiap 5 kg buah kopi hanya dapat 1 kg biji kopi. Untuk bisa dikonsumsi, biji kopi masih harus melewati tahapan proses yang cukup panjang.

Gambar 2. Anatomi buah anggur dan buah kopi.

Teknik Karbonik Maserasi

Teknik ini awalnya diadopsi oleh Sasa Sestic. Semula dia seorang Barista, kemudian tertarik mendalami pengolahan buah kopi di beberapa negara produsen kopi di Amerika Latin. Ditemukan olehnya bahwa proses fermentasi merupakan salah satu faktor penentu inkonsistensi mutu biji kopi yang selama ini beredar di pasaran. Petani tidak pernah mengontrol kondisi proses fermentasi secara reguler. Padahal, kondisi lingkungan, yaitu suhu dan pH fermentasi, selalu berubah secara dinamis setiap saat. Teknik karbonik maserasi dianggap sebagai salah satu solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Substansi teknik ini adalah pada kontrol kondisi ekosistem fermentasi. Injeksi gas CO2 ditujukan untuk mengusir oksigen dari lingkungan fermentasi. Peran O2 yang reaktif diganti gas CO2. O2 adalah gas untuk kehidupan mikroba, sebaliknya gas CO2 justru bisa menghambat pertumbuhan mikroba yang tidak diperlukan dalam proses fermentasi. Keberadaan oksigen [meskipun minimal] berpotensi memicu fermentasi liar. Memunculkan cacat citarasa pada biji kopi akibat fermentasi berlebihan [over fermented].

Sasa Sestic mengadopsi teknik karbonik maserasi seperti pada proses anggur. Buah kopi utuh, setelah dirambang, dimasukkan dalam tangki tertutup dan diinjeksi dengan gas CO2. Gas ini mengambil peran pengontrol dalam fermentasi karbonik maserasi. Untuk menjaga lingkungan fermentasi menjadi anaerobik. Memudahkan gas CO2 melunakkan kulit buah dan mendifusi ke dalam jaringan daging buah kopi. Menggeser posisi gas oksigen untuk keluar dari dalam buah. Proses respirasi terhenti, demikian juga aktivitas khamir dan bakteri. Proses fermentasi terkontrol secara individual dalam intraselular setiap daging buah kopi. Tanpa oksigen, enzim bisa mengontrol proses fermentasi dalam daging buah. Salah satu enzim produk khamir adalah alkohol dehidrogenase [ADH]. Enzim ini mengurai senyawa gula menjadi alkohol secara terbatas. Dibantu oleh enzim jenis pektin metil esterase [PME] secara ekstraselular. Enzim PME mampu mengurai senyawa pektin dalam kulit buah. Setelah 2 – 3 hari, kulit berubah menjadi lunak dan berwarna kecoklatan. Senyawa organik yang semula tinggal dalam buah terbebaskan. Fermentasi senyawa gula kemudian beralih di luar buah [ekstraselular]. Senyawa gula diubah oleh khamir menjadi etanol dan gas CO2. Produksi gas CO2 semakin banyak. Akumulasi gas CO2 menghalangi aktivitas aseto-bakteri mengkonversi etanol menjadi senyawa asam asetat. Keberadaan senyawa asam ini berpotensi menyebabkan cacat citarasa pada biji kopi.

Semi – Karbonik Maserati

Adalah Neel Vohora, seorang petani dari wilayah Ngorongoro Tanzania, melakukan fermentasi metoda semi-karbonik macerati dengan cara berbeda. Vohora menambahkan air ke dalam tangki fermentasi sampai seluruh buah kopinya terendam [Gambar 3]. Tanpa penambahan gas CO2 ke dalam tangki. Setelah 7 hari, air rendaman berubah keruh dan berbusa. Akibat terlarutnya padatan senyawa organik dari kulit dan daging buah. Buih merupakan akumulasi gas CO2. Suatu pertanda, fermentasi telah berakhir. Citarasa biji kopi tergolong unik, dengan karakter rasa anggur, buttery, kurma dan sensasi rasa sirup. Seperti yang dihasilkan oleh proses karbonik maserasi.

Gambar 3. Proses semi-karbonik maserati buah kopi dengan perendaman air.

Perendaman buah kopi dalam air memiliki beberapa keuntungan, antara lain, [1] mempercepat kondisi anaerobik, [2] proses fermentasi lebih homogen dan [3] suhu dan nilai pH lebih seragam. Pada Gambar 3 [kiri], kelarutan gas O2 dalam air sangat rendah. Pada suhu 25 oC, kelarutan O2 dalam air kurang-lebih 20 ml per liter air. Pada suhu air 35 oC, kelarutan O2 dalam air makin menurun, yaitu 17,50 ml. Tanpa perendaman air,  kondisi anaerobik tidak mudah tercapai. Kadar oksigen di udara sangat tinggi, yaitu 20%. Gas O2 akan mudah masuk ke sela-sela tumpukan biji kopi yang tidak direndam. Fermentasi kering ini banyak diterapkan oleh petani. Pada fermentasi basah, suhu fermentasi bisa terjaga relatif konstan di kisaran 26 oC. Waktu fermentasi lebih panjang. Hasil biji memiliki karakter bodi sedang, keasaman komplek dan profil citarasa yang lebih lembut [mild].

Fermentasi semi-karbonik buah kopi dengan perendaman dimulai dari tumpukan buah kopi di bagian dasar tangki fermentasi. Buah mengalami tekanan oleh tumpukan buah di atasnya. Kulit buah kopi mengalami memar. Senyawa organik keluar dari dalam daging buah dan difermentasi oleh khamir menghasilkan etanol dan gas CO2. Secara bersamaan, senyawa pektin dalam kulit buah kopi utuh diurai oleh enzim pektin metil esterase [PME]. Kulit buah menjadi lunak dan berpori. Senyawa gula dalam daging buah kopi merembes keluar. Rembesan cairan gula ini bercampur dengan senyawa gula di bagian bawah tangki. Keduanya kemudian dikonversi menjadi alkohol oleh khamir disertai pelepasan gas CO2. Secara visual gelembung gas CO2 terlihat oleh indera penglihatan. Jumlah gelembung gas CO2 dan etanol semakin meningkat seiring dengan bertambahnya waktu fermentasi. Pada saat, senyawa gula habis gelembung gas CO2 terhenti [Gambar 4].

Gambar 4. Kurva daur hidup mikroba khamir selama fermentasi.

Garis berwarna hijau merupakan jalur pertumbuhan khamir dalam tangki fermentasi. Diawali dengan fase adaptasi lingkungan selama bebebera jam. Mikroba menyesuaikan diri dengan kondisi larutan dalam tangki. Khamir mulai memproduksi enzim invertase untuk memecah gula disakarida [sukrosa] menjadi monosakarida [glukosa dan fruktosa]. Ketersediaan gula sukrosa dalam tumpukan larutan kopi menyebabkan khamir berkembang biak sangat cepat secara eksponensial. Terlihat dari kenaikan produksi etanol [garis merah] cukup tajam disertai pelepasan gas CO2 [garis hitam] dan energi panas. Saat pasokan senyawa gula mulai menurun [garis biru], pertumbuhan khamir juga mulai konstan. Khamir mendekati fase kematian ketika pasokan senyawa gula makin menipis. Demikian juga produksi etanol mencapai maksimum. Gelembung gas CO2 langsung drop. Kondisi ini dicapai saat waktu fermentasi mencapai 7 – 8 hari. Memperpanjang waktu fermentasi berpotensi munculnya aktivitas mikroba jenis bakteri. Mikroba ini memanfaatkan senyawa non-gula hasil peruraian enzim PME dan memunculkan senyawa baru antara lain, asam asetat dan asetaldehid. Keduanya berpotensi menimbulkan cacat citarasa, yaitu rasa asem dan pahit.

Setelah lewat 8 hari, cadangan senyawa gula sudah habis. Peran khamir sacharomycses akan digantikan oleh khamir jenis lain, yaitu Candida. Khamir jenis ini mempunyai kemampuan mengeluarkan enzim protease ekstraseluler. Mengurai secara anaerobik protein dalam daging buah dan biji kopi. Hasil dekomposisi protein adalah peptida dan asam amino disertai pelepasan bau kurang sedap dari senyawa sulfida, amonia, methyl sulfida dll. Dampak lain dari waktu fermentasi yang terlalu panjang adalah munculnya bakteri Bacillus Subtilis. Jenis bakteri ini umumnya hidup dalam air perendam dan bisa berkembang biak dalam kondisi lingkungan anaerobik. Bakteri ini akan memanfaatkan senyawa karbohidrat dalam daging buah menjadi campuran beberapa jenis asam, seperti asam laktat, asetat, propionat dan butirat. Senyawa asam ini berpotensi menurunkan citarasa khas kopi.

HASIL UJI LAPANGAN

Braga pada tahun 2019 melakukan uji coba pengolahan buah kopi dengan metoda olah karbonik maserasi. Diperoleh waktu fermentasi optimal adalah 6 hari. Dengan nilai uji citarasa SCA biji hasil fermentasi sebesar 86. Hal yang sama dilakukan oleh Dairobi dkk pada tahun 2017 di Takengon Aceh Tengah. Mereka meneliti proses pengolahan buah kopi semi-karbonik maserasi di 6 enam desa. Buah kopi petik merah 25 kg, setelah dirambang, dimasukkan ke dalam kantong plastik tertutup rapat. Masing-masing desa ditempatkan 2 buah kantong plastik. Waktu fermentasi ditentukan 7 dan 10 hari. Buah hasil fermentasi kemudian dikeringkan di atas meja pengering sampai kadar airnya mencapai 12%. Hasil pengujian citarasa biji kering disajikan pada Gambar 5 berikut,

Gambar 5. Profil citarasa kopi Gayo hasil proses karbonik, “full washed” dan “honey”.

Gambar 5 [kiri] menunjukkan hasil uji citarasa biji kopi hasil olahan semi-karbonik maserasi. Perbedaan waktu fermentasi secara umum memberikan nilai uji citarasa untuk masing-masing atribut citarasa relatif sama. Kecuali, nilai “clean cup”. Biji kopi dengan waktu fermentasi 10 hari memiliki nilai “clean cup” mendekati minimal. Sebaliknya, nilai “clean cup” sempurna diperoleh dari biji kopi hasil fermentasi 7 hari. “Clean cup” adalah suatu atribut rasa sampel seduhan  yang tidak memberikan impresi negatif sedikitpun mulai ujung sampai pangkal lidah. Salah satu faktor penentu menurunnya nilai “clean cup” adalah over fermentasi. Fermentasi terlalu lama akan memberi kesempatan bakteri Bacillus Subtilis berkembang biak. Bakteri ini akan memanfaatkan sisa senyawa karbohidrat dalam daging buah menjadi beberapa jenis asam, seperti asam laktat, asetat, propionat dan butirat. Pada konsentrasi di atas 1 mg/mliter, senyawa-senyawa tersebut menyebabkan cacat citarasa khas kopi, antara lain, bau kurang sedap [stinky] dan rasa nyegrak seperti anion [bawang merah].

Gambar 5 [kanan] menunjukkan hasil uji citarasa biji kopi hasil olah “full washed” dan “honey”. Ada perbedaan mendasar antara proses fermentasi pada kedua metoda olah tersebut. Fermentasi pada metoda olah “full washed” adalah keharusan, bertujuan untuk melepaskan lapisan lendir [mucilage]. Setelah dicuci, permukaan kulit tanduk menjadi bersih. Saat dijemur, tidak ada lagi proses fermentasi karena substrat organik sudah tidak tersedia lagi di permukaan kulit tanduk. Juga, pengeringan berlangsung relatif cepat. Bakteri dan kapang tidak punya kesempatan untuk tumbuh. Menjadikan atribut “clean cup” dan “unformity” biji kopi hasil proses “full washed” mencapai nilai sempurna.

Fermentasi pada metoda olah “honey” bukan keharusan. Namun, terjadi secara spontan di lantai penjemuran. Setelah kulit buahnya dikupas [pulping], substrat fermentasi adalah sisa senyawa organik dalam lendir [mucilage] yang menempel di permukaan kulit tanduk. Fermentasi lendir berlangsung secara aerobik di lantai jemur bersamaan dengan proses pengeringan. Penjemuran dalam kondisi terbuka, memungkinkan berbagai jenis mikroba terlibat pada proses fermentasi. Aktivitas bakteri asam laktat mengawali fermentasi saat lendir masih basah [kadar air 57%]. Setelah 3 hari, kadar air lendir turun di bawah 50%, fermentasi bakteri digantikan oleh mikroba khamir. Tidak banyak senyawa alkohol dan senyawa asam yang bisa diproduksi karena senyawa gula dalam lapisan lendir terlalu cepat mengering. Citarasa biji kopi hasil olah “honey” memiliki sensasi rasa manis lebih inten, rasa asam moderat dan body agak kental [mouth feel]. Namun, jika cuaca kurang mendukung, proses pengeringan melambat. Masa panen kopi di Gayo sering bertepatan dengan musim hujan. Kondisi ini memicu munculnya aktivitas mikroba kapang. Mikroba ini mempunyai sifat pembusuk senyawa organik dalam kopi. Menyebabkan nilai “clean cup” berkurang secara drastis dan menimbulkan after taste” kurang nyaman. Jenis cacat citarasa yang sering muncul pada biji kopi “honey”. Nilai uji “clean cup” dan uniformity lebih rendah dari biji kopi “full washed”. Meskipun, nilai atribut citarasa lainnya tidak kalah dengan “full washed”.

PENUTUP

Adopsi teknik karbonik maserasi dimungkinkan pada pengolahan buah kopi khususnya bagi petani yang mampu secara finansial. Diperlukan investasi tidak sedikit untuk pengadaan tangki fermentasi kedap udara [hermetik] dan juga tabung gas CO2. Dengan kondisi umum petani saat ini, teknik-semi karbonik maserasi dianggap paling sesuai. Bisa dilakukan pada kantong plastik transparan kapasitas 25 sampai 50 kg disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Penggunaan plastik transparan memudahkan petani mengontrol proses fermentasi. Salah satu indikator visual proses fermentasi adalah laju pembentukan gelembung gas CO2 dalam 3 tahapan [Gambar 4]. Tahap [1], muncul gelembungg CO2 secara lambat, [2] jumlah gelembung gas CO2 makin banyak dan [3] gelembung gas CO2 habis. Pada saat tahap 3 ini tercapai, fermentasi harus dihentikan.

 

DAFTAR BACAAN

Aranda, A, H. Orozco, C. Picazo & E. Matallana [2019].  Yeast Life Span and its Impact on Food Fermentations. Fermentation 2019, 5, 37; doi:10.3390/fermentation 5020037 www.mdpi.com/journal/fermentation

Braga, A.V.U [2019]. Monitoring coffee fermentation by carbonic maceration process and its improve beverage quality. 23rd International Conference on Food Technology & Processing. October 07-08, 2019 Dublin, Ireland.

Dairobbi, A., Irfan & I. Sulaiman [2017]. Kajian Mutu Wine Coffee Arabika Gayo. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian Unsyiah Volume 2, Nomor 4, November 2017.

Gudi, P [2017]. Carbonic Maceration [A unique way of coffee processing]. https:// www. researchgate.net/publication/321307503

Haile. M & W. H. Kang [2019]. The Role of Microbes in Coffee Fermentation and TheirImpact on Coffee Qualitiy. Hindawi. Journal of Food Quality. Volume 2019, Article ID 4836709, 6 pages. https://doi.org/10.1155/2019/4836709

Muaizima, & A, Hasni [2016]. Exploration Study of Gayo Specialty Coffee (Coffea arabica L.): Chemical Compounds, Sensory Profile and Physical Appearance. Pakistan Jurnal of Nutrition, 15 [5]. 486 – 491.

Sri Mulato [2019]. Peran Fermentasi Pada Pascapanen Buah Kopi. cctcid.com.

=====O=====

Leave a Reply

Your email address will not be published.

× WhatsApp