Blog

Get informed about our latest news and events

“IONIC NANO COPPER“ ANTIMIKROBA SABUN CUCI TANGAN CAIR BERBASIS SENYAWA KALIUM KULIT BUAH KAKAO

“IONIC NANO COPPER“ ANTIMIKROBA SABUN CUCI TANGAN CAIR

BERBASIS SENYAWA KALIUM KULIT BUAH KAKAO

Sri Mulato [cctcid.com]

PENDAHULUAN

Wabah virus Covid-19 telah menyadarkan masyarakat arti penting sanitasi. Kebiasaan cuci tangan pakai sabun menjadi keharusan bagi siapapun, kapanpun dan di manapun ada kesempatan. Antimikroba dalam sabun adalah senyawa untuk mematikan mikroba patogen, tanpa efek samping bagi pemakainya. Setidaknya ada 3 fungsi sabun cuci tangan, yaitu membersihkan kotoran, mematikan mikroba dan memberikan aroma yang menyegarkan di telapak tangan. Kotoran pada tangan terbagi menjadi 2 yaitu, biotik dan abiotik. Yang pertama merupakan benda hidup tidak kasat mata [bakteri, jamur dan virus] dan bersifat patogenik. Yang kedua adalah benda mati terlihat dan tidak terlihat yang berpotensi menyebabkan sakit [racun, benda keras, minyak dll]. Sabun tangan cair mengandung antibakteri untuk mematikan kotoran biotik dan juga senyawa surfaktan sebagai pembersih kotoran abiotik. Surfaktan bersifat menurunkan daya tarik-menarik antara permukaan tangan dan kotoran abiotik. Daya lekat kotoran abiotik menurun dan mudah lepas dari permukaan tangan melalui mekanisme pembasahan, pengemulsian, pembusaan dan pendispersian. Salah satu teknik pembuatan sabun cair adalah lewat reaksi safonifikasi lemak nabati [minyak kakao, sawit, kelapa] oleh senyawa kalium hidroksida [KOH]. Pada bahasan ini, KOH diproduksi dari abu limbah kulit buah kakao lewat proses pembakaran dan purifikasi. Larutan nano ionik tembaga [Ionic Nano Copper] potensial untuk dijadikan antimikroba. Ukuran partikelnya antara 1 sampai 100 nm. Bisa bergerak dan berreaksi cepat dan efektif mematikan mikroba.

PROSES PRUDUKSI SABUN CAIR

Penyiapan Garam Kalium

Konsep pengolahan buah kakao ramah lingkungan adalah A to Z, Added value to Zero waste. Hasil utama tanaman kakao [Theobroma Cacao] adalah biji kakao matang dan bernas. Diversifikasi produk biji kakao akan diperoleh nilai tambah yang sangat besar. Secara bersamaan, limbah kulit buah kakao yang jumlahnya cukup besar juga diolah menjadi berbagai produk bernilai ekonomis-ekologis, tanpa mensisakan limbah. Gambar 1 menunjukkan anatomi buah kakao.

Gambar 1. Anatomi buah kakao.

Buah kakao terdiri atas 3 komponen utama, yaitu kulit buah, plasenta dan biji kakao. Kulit buah merupakan komponen terbesar dari buah kakao, yaitu lebih dari 70 % berat buah masak. Prosentase biji kakao di dalam buah hanya sekitar 27 – 29 %, sedang sisanya adalah plasenta yang merupakan pengikat dari 30 sampai 40 biji. Permukaan biji diselimuti lapisan lendir berwarna putih dan rasanya manis. Senyawa gula ini sangat penting sebagai media pembiakan bakteri selama proses fermentasi. Biji kakao terfermentasi mengandung senyawa calon pembentuk citarasa khas cokelat. Limbah kulit buah kakao dikonversi lanjut menjadi garam kalium untuk bahan baku pembuatan sabun.

Tabel 1 menunjukkan komposisi kimia kulit buah kakao. Kolom warna putih merupakan senyawa organik yang mudah dibakar untuk menghasilkan energi panas.  Senyawa anorganik tertera pada kolom arsir kuning. Senyawa ini tidak bisa terbakar dan akan tertinggal sebagai abu. Bahan baku untuk pembuatan sabun cair. Abu mengandung berbagai jenis mineral. Proporsi mineral Kalium [K] abu kulit buah kakao menduduki proporsi paling banyak. Senyawa ini merupakan unsur utama dalam proses safonifikasi senyawa lemak menjadi sabun cair. Mineral Kalium umumnya terikat dalam bentuk garam K2CO3 atau KOH. Mineral ini bisa dipisahkan dari kulit buah kakao melalui tahapan proses yang relatif panjang.

Gambar 2 menyajikan alur proses pembuatan garam kalium yang akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan sabun cair. Rendemen garam kalium yang tinggi diperoleh dari buah kakao matang saat panen.

Gambar 2. Alur proses produksi garam kalium dari kulit buah kakao.

Setiap 1000 kg [1 ton] buah kakao matang hasil panen akan diperoleh biji kakao sebanyak 330 kg dan sisa kulit buah sebanyak 670 kg. Penjemuran selama 10 – 14 hari akan menurunkan kadar air kulit buah tinggal 10 – 12%. Warnanya menjadi kehitaman, rapuh dan mudah dibakar. Pembakaran kulit buah kering sangat krusial untuk menghasilkan abu yang bersih. Teknik pembakaran dilakukan dalam tungku tertutup dan terintegrasi dengan bejana ekstraksi dan kristalisasi [Gambar 3].

Gambar 3. Tungku ekstraksi dan kristalisasi garam kalium kulit buah kakao.

Komponen utama tungku kristalisasi adalah ruang pembakaran, bejana kristalisasi, pengaduk, blower pendingin dan indikator suhu larutan. Bejana bisa menampung 25 liter larutan ekstrak abu. Kulit buah kakao kering berfungsi sebagai sumber panas tungku. Produk utama tungku pembakaran adalah abu. Terkumpul di dasar tungku, berwarna keputihan dan tidak tercampur arang. Abu ini berikutnya dimasukkan ke dalam bejana kristalisasis mengikuti urutan pada Gambar 4.

Gambar 4. Tahapan proses kristalisasi garam kalium kulit buah kakao.

Abu disaring dengan ayakan lembut 40 Mesh untuk memisahkan kotoran. Abu bersih dilarutkan dengan air panas dari bejana. Garam kalium terlarut dalam air. Larutan ekstrak berwarna kuning emas jernih, dimasukkan ke bejana untuk proses kristalisasi garam kaliumnya. Selama pemanasan, larutan ekstrak diaduk perlahan. Suhu dan warna larutan dimonitor dan dikontrol secara reguler. Kulit buah kakao kering dimasukkan ke dalam lubang tungku. Dipantik dengan api disertai hembusan kipas udara. Senyawa organik akan terbakar dengan mudah pada kondisi surplus oksigen. Salah satu indikasi pembakaran sempurna adalah gas hasil pembakaran saat keluar ujung cerobong dalam kondisi bersih dan bebas asap. Panas hasil pembakaran kira-kira 14.000 kJ. Energi ini untuk memanasi bejana bagian bawah secara konveksi. Sisa energi terbuang lewat ujung cerobong. Larutan dalam bejana terus dipanaskan secara konstan sampai 100o C. Pada suhu di atas 100oC, larutan mengental. Kipas pengaduk dimatikan. Pengadukan dilanjutkan secara manual disertai hembusan udara dari blower sampai terbentuk kristal garam kalium berwarna putih. Setiap 1000 kg kulit buahkakao kering diperoleh 6 kg kristal kalium.

Formulasi

Sebagai surfaktan, sabun mengandung 2 gugus. Pertama gugus bersifat polar, mudah menyatu dengan air [hidrofilik]. Berfungsi untuk membersihkan kotoran abiotik anorganik [tanah, pasir dll]. Kedua, gugus non polar. Tidak suka dengan air [hidrofobik], namun mudah bergabung dengan kotoran berminyak. Gugus ini mampu melepaskan kotoran abiotik organik [lemak, protein dll]. Untuk memenuhi kedua kriteria tersebut, sabun dibuat dari dua bahan baku utama, yaitu minyak nabati dan senyawa alkali [NaOH dan KOH]. NaOH digunakan untuk formulasi sabun padat, sedangkan KOH untuk sabun cair.

Secara teknis, hampir semua minyak nabati bisa digunakan sebagai bahan baku sabun tangan cair. Dari segi pasokan dan harga, minyak sawit dianggap sebagai bahan baku paling potensial. Nomor 2 adalah lemak kakao. Mempunyai kualitas unggul, namun harganya sangat mahal. Lemak kakao khusunya untuk produksi sabun kecantikan. Baik lemak kakao maupun lemak sawit mengandung asam lemak jenuh dan tidak jenuh. Asam lemak jenuh tersusun dari senyawa alifatik [ikatan lurus] dan hanya memiliki ikatan tunggal [C-C]. Sementara itu, asam lemak tidak jenuh mempunyai ikatan rangkap [C=C] berjumlah 1 atau lebih. Tabel 2 menunjukkan komposisi kimia lemak kakao, minyak sawit [CPO] dan minyak inti sawit [PKO].

Hampir 80 % minyak sawit terkandung dalam mesokarp, dinamai CPO dan sisanya 20 % terakumulasi dalam kernel, disebut PKO [Gambar 5].

Gambar 5. TBS, brondolan buah dan anatomi buah kelapa sawit

Jenis dan kadar senyawa asam lemak penyusun CPO sangat berbeda dengan yang dimiliki oleh PKO. Penyusun utama CPO adalah asam lemak jenuh [asam palmitat] dan tidak jenuh [oleat] dalam proporsi yang relatif seimbang, masing-masing 44 dan 40 %. Sedangkan, PKO memiliki komponen utama asam lemak jenuh [asam laurat dan miristat] sebanyak 64 % dan sisanya asam tidak jenuh [oleat]. Mirip susunan lemak kakao.

Pada formulasi sabun cair dihindari penggunaan asam lemak jenuh rantai pendek [kurang 12 atom karbon]. Berpotensi menyebabkan iritasi pada kulit. Pun, asam lemak jenuh rantai panjang [lebih 18 atom karbon]. Sabun cenderung sangat keras, sukar larut dalam air dan tidak berbusa. Diminimalisasi juga keberadaan jumlah asam lemak tidak jenuhnya. Asam ini mudah teroksidasi yang memunculkan aroma tengik. Umur simpan sabun menjadi pendek. Kelebihan lemak kakao dan sawit adalah tidak mengandung asam lemak rantai pendek dan panjang. Mayoritas jenis lemak kakao dan sawit berkisar antara 14 sampai 18 [miristat, palmitat dan stearat]. Dari aspek kesehatan, asam laurat PKO bersifat sebagai antibakteri alami. Lemak kakao dan minyak sawit mengandung vitamin E dan karoten, keduanya sebagai nutrisi pada kulit dan menjaga permukaan kulit tidak mudah mengering. Tabel 3 menyajikan contoh formulasi sabun tangan cair berbasis lemak kakao.

Gambar 6 menyajikan reaksi kimia pembentukan sabun [safonikasi], 3 molekul asam lemak [simbol R] yang terikat pada struktur molekul triasilgliserida dan 3 molekul KOH. Produk sabun KOH bersifat padatan lunak dan lembut. Penambahan air merubah sabun KOH menjadi encer. Pengenceran berlebihan akan menurukan efektivitas kinerja sabun cair. Gunakan pelarut air yang bersih. Usahakan memakai air suling atau paling tidak air kemasan. Reaksi safonikasi juga menghasilkan senyawa gliserin yang bermanfaat untuk menjaga kelembaban kulit.

Gambar 6. Reaksi safonikasi asam lemak dengan KOH.

SENYAWA ANTIMIKROBA “IONIC NANO COPPER”

Kasus-kasus keracunan makanan dan wabah virus mengharuskan sabun cuci tangan cair diperkaya dengan senyawa antimikroba. Banyak bahan alam hayati mengandung senyawa fitokimia, antara lain, fenol, flavonoid dan alkaloid. Senyawa-senyawa tersebut punya kemampuan untuk melemahkan mikroba patogen. Namun, komersialisasi antimikroba alami tidak segencar antimikroba sintetik. Triclosan merupakan salah satu antimikroba sintetik yang telah memasar secara luas. Ditambahkan ke sabun cair dan pasta gigi. Senyawa ini bisa mencegah radang gusi [gingivitis] secara baik, namun efektivitasnya sebagai agen antimikroba sabun cair masih menjadi kontroversi. Bahkan, ada dugaan senyawa triclosan berpotensi mengganggu perkembangan hormon dan memicu resistensi pada bakteri.

Salah satu alternatif senyawa antimikroba sabun cuci tangan cair adalah larutan ion nano tembaga atau INC [Ionic Nano Copper]. Bisa diproduksi secara alami dan sintetik. Perbedaan larutan antimikroba triclosan dan INC adalah terletak pada ukuran partikel bahan aktifnya. Larutan triclosan berisi molekul makro C12H7Cl3O2. Sedangkan, larutan INC mengandung atom Cu++ berukuran antara 1 sampai 100 nm. Memiliki rasio luas permukaan per volume sangat tinggi. Menjadikan partikel Cu bisa menyasar ke dalam celah-celah kluster mikroba. Kecepatannya untuk langsung menuju target sel mikroba patogen menjadi nilai plus antimikroba INC. Tolok ukur efektivitas antimikroba adalah kecepatan dan jangkauan mencapai sasaran. Untuk mematikan target patogen yang sama, penambahan INC dalam sabun cair lebih sedikit dari pada antimikroba jenis lainnya.

Mekanisme kerja triclosan adalah penghambatan biosintesis lipid sehingga membran mikroba kehilangan kekuatan dan fungsinya. Molekul trislosan mendekati dinding  membran sel mikroba. Dinding membran rusak akibat terkena vibrasi molekul triclosan secara berulang. Di dalam dinding sel, triclosan terus beraksi dan mencederai sistem produksi protein dan lemak [lingkaran warna merah pada Gambar 7]. Jumlah molekul triclosan di dalam sel semakin banyak menimbulkan kerusakan struktur sel secara masif. Mikroba kemudian mengalami pelemahan, bahkan kematian.

Gambar 7. Mekanisme antimikroba triclosan [kiri] dan INC [kanan].

Jika mekanisme kerja antimikroba triclosan berbasis molekular, cara kerja INC mengandalkan aktivitas ionik. Dalam larutan, nano partikel akan membebaskan ion Cu++. Sebagai radikal bebas, ion Cu++ akan tertarik secara elektrostatis oleh dinding sel mikroba bermuatan negatif. Melalui oksidasi senyawa lipida, integritas dinding sel menurun. Kondisi ini dimanfaatkan oleh ion Cu++ menginvasi ke dalam sel. Ion Cu++ memicu kemunculan  spesies oksigen reaktif [Reactive Oxygen Species, ROS] dalam sel secara berlebihan. Pada kondisi normal, ROS terbentuk secara kontinu dan regular oleh reaksi enzimatik untuk kehidupan mikroba. Tetapi, produksi ROS yang berlebihan dalam sel mikroba akan mematikan mikroba patogen secara sistemik melalui beberapa mekanisme, [1] merusak membran sel, [2] menghalangi respirasi, [3] inaktivasi sintesis protein dan [4] mematikan DNA.

Secara pasokan, bahan Cu cukup banyak tersedia di alam. Dari aspek manfaat, Cu merupakan senyawa esensial yang dibutuhkan bagi hampir semua makhluk hidup. Secara historis, efek biosida senyawa tembaga [Cu] sudah dikenal sejak beberapa abad yang lalu. Penduduk Mesir kuno [2000 BC] telah memanfaatkan larutan tembaga untuk sterilisasi air dan penyembuhan luka. Resep obat paru-paru [pulmonary] di jaman Yunani kuno [400 BC] juga mengandung senyawa tembaga. Masyarakat Gangajal [India] dan Romawi memasak makanan dan minumam dengan peralatan dari tembaga. Hal yang sama juga populer dipakai masyarakat Indonesia di masa lalu. Larutan garam tembaga sulfat [CuSO4] atau sering disebut prusi merupakan obat penyakit kulit penduduk pedesaan. Secara faktual, sudah terungkap bahwa ion Cu++ mampu berperan sebagai agen antimikroba jenis Staphylococcus aureus, Salmonella enteric, Campylobacter jejuni, Escherichia coli dan Listeria monocytogenes. Sebagian besar mikroba patogen mati setelah kontak dengan larutan ion Cu++dalam 2 jam.

Seperti halnya terjadi pada antimikroba triclosan, pemanfaatan INC sebagai agen antimikroba sabun cair bukan tanpa resiko. Penentuan konsentrasi INC dalam sabun cair perlu dikaji dengan lebih cermat. Terutama dampak jangka panjang terhadap manusia maupun ekologi. Akumulasi senyawa tembaga dalam tubuh berpotensi munculnya ROS dalam organ tubuh. Limbah air senyawa tembaga dapat mengganggu kehidupan komunitas mikroba yang dibutuhkan untuk proses pembusukan sampah organik dalam aliran air dan tanah.

 

DAFTAR BACAAN

Daud, Z , A.S. Mohd Kassim, A. Mohd Aripin, H. Awang, M. Z. Mohd Hatta [2013]. Chemical Composition and Morphological of Cocoa Pod Husks and Cassava Peels for Pulp and Paper Production Australian Journal of Basic and Applied Sciences, 7(9): 406-411, 2013 ISSN 1991-8178

Fei Lu. F1, J. Rodriguez-Garcia1, I. Van Damme, N. J. Westwood, L. Shaw4, J. S. Robinson, G. Warren [2018]. Valorisation strategies for cocoa pod husk and its

Fractions. Current Opinion in Green and Sustainable Chemistry 2018, 14:80–88 www.sciencedirect.com

Gyedu-Akoto. E, D. Yabani, J. Sefa & D. Owusu [2015]. Natural Skin-care Products: The Case of Soap Made from Cocoa Pod Husk Potash. Advances in Research. 4(6): 365-370, 2015, Article no.AIR.2015.090. ISSN: 2348-0394. SCIENCEDOMAIN international.

Petersen, R.C [2016]. Triclosan antimicrobial polymers. AIMS Mol Sci. 2016 ; 3(1): 88–103. doi:10.3934/molsci.2016.1.88.

Shirin Mahmood. S, A. Elmi & S. Hallaj-Nezhadi [2018]. Copper Nanoparticles as Antibacterial Agents. J Mol Pharm Org Process Res 2018, 6:1. DOI: 10.4172/2329-9053.1000140.

Sri Mulato, Edy Suharyanto & hendy Firmansyah [2012]. Kawasan Tekno Agro. Pengembangan Produk Berbasis Kopi dan Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Jember.

Vincent, M, R.E. Duval, P. Hartemann & M. Engels-Deutsch [2017]. Contact killing and antimicrobial properties of copper. Journal of Applied Microbiology. ISSN 1364-5072.

Winifred O. W, K.J. Takrama, C. K. Agyente-Badu and F. M. Amoah [2012]. A Manual For Extraction Of And Production Of Cocoa Potash Cocoa Soft Soap. Cocoa Research Institute Of Ghana (Ghana Cocoa Board) Technical Bulletin No. 24.

 

=====O=====

Leave a Reply

Your email address will not be published.

× WhatsApp