Blog

Get informed about our latest news and events

BARISTA: PROFESI MULTI-TALENTA

BARISTA: PROFESI MULTI-TALENTA

Sri Mulato [cctcid.com]

PENDAHULUAN

Istilah Barista, awalnya muncul di Itali, sebagai sebutan untuk seseorang yang bekerja di kafe dan terampil dalam menyeduh kopi espresso. Barista lebih dari sebuah kata. Sebuah profesi yang banyak peluang dan harapan serta perjalanan hidup yang penuh manfaat. Elemen dan kompetensi seperti apa yang dibutuhkan untuk menjadi seorang Barista profesional. Pada era kopi gelombang ke-3, ruang lingkup kerja Barista menjadi sangat komplek. Profesi yang menyandang banyak wajah [multifaceted] dan talenta, sebagai penyeduh, penyaji, pencerah literasi kopi dan sekaligus seorang ambasador bagi industri kopi. Industri ini telah bertrasformasi menjadi industri kuliner. Ada beragam jenis bahan baku, resep dan menu. Mirip “chef de cuisine”, Barista senior adalah pemegang otoritas tertinggi dan bertanggung-jawab atas semua urusan di kafe. Barista yunior tidak serta-merta bisa meraih posisi tersebut. Perlu pengalaman dan jam terbang yang memadai untuk naik kasta menjadi Barista senior. Barista level ini dituntut memiliki kompetensi menangani beberapa kegiatan secara paralel [multitasking], mulai hal teknis, manajemen dan marketing. Elemen manajemen yang krusial adalah mengelola SDM kafe menjadi sebuah tim yang bekerja secara efisien dan terukur untuk menarik lebih banyak kostumer. Unsur marketing menjajal kemampuan Barista senior sebagai “market driver”. Suatu kompetensi untuk menjaring lebih banyak kostumer minum kopi dan mengapresiasi jasa layanan yang telah diterimanya. Butuh perjuangan yang tidak gampang dan kepercayaan diri yang tinggi untuk mengubah mind-set pembenci kopi [coffee haters] menjadi pencinta kopi [coffee lovers].

DINAMIKA PROFESI BARISTA

Profesi Barista mulai menapakkan kakinya setelah lahirnya “specialty coffee” di jagad perkopian dunia. Istilah “specialty coffee” [kopi spesialti] pertama kali dibidani oleh Erna Knutsen pada tahun 1978 dalam publikasi “Tea and Coffee Trade Jurnal”. Istilah spesialti didedikasikan pada biji kopi dengan citarasa spesial yang dihasilkan dari wilayah kebun beriklim mikro. Identifikasi kondisi geografis dan tata kelola tanaman merupakan unsur utama kopi spesialti. Kemudian diperkuat dengan unsur tambahan lainnya, seperti cara panen dan pascapanen buah, penyangraian dan penyeduhan harus terdefinisikan secara jelas. Berbekal kualitas prima, kopi spesialti percaya diri mulai masuk ke segmen pasar komersial pada tahun 1980. Sejak itu, kopi spesialti menempati “land scape” baru pasar kopi, yang lebih berorientasi pada kualitas dan asal-usul yang jelas.

Kopi spesialti juga mampu merubah cara pandang generasi milenial terhadap kopi. Seduhan kopi spesialti terpilih sebagai minuman favorit hampir 60% kaum milenial Amerika. Minum kopi di kafe tumbuh menjadi simbol gaya hidup masyarakat urban dunia. Tahun 2000, Starbuck mulai menancapkan kuku bisnisnya di Indonesia. Saat ini, sudah terbangun 328 gerai kopi yang didukung oleh 3500 orang karyawan. Hampir 70% di antaranya adalah Barista. Kafe dengan konsep Starbuck kemudian menjamur di bumi pertiwi seolah tidak terbendung. Industri kopi berubah menjadi industri gaya hidup dengan segala asesorisnya. Bendera Barista mulai berkibar menjulang tinggi ke langit jagad perkopian seakan tidak tertandingi.

Melalui Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi [SK Menakerstran] No 370, tahun 2013, Barista dikategorikan sebagai sebuah profesi; suatu pekerjaan yang membutuhkan kompetensi berupa ketrampilan dan keahlian khusus meracik dan menyajikan minuman berbasis kopi. Apakah sesederhana itu? Tentu saja ada syarat dan klasifikasi standar-formal untuk bisa mendapatkan identitas sebagai Barista.  Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh Barista untuk mendukung pengembangan profesionalismenya. Memang, profesi ini tidak membutuhkan latar belakang pendidikan formal tertentu. Pendidikan berbasis hospitaliti [tata boga dan perhotelan] bisa dijadikan modal awal untuk berprofesi sebagai Barista. Seleksi penerimaan calon Barista umumnya dinilai dari kompetensi “hard skill dan soft skill” seperti ditunjukkan pada Gambar 1 berikut,

“Hard skill” adalah kompetensi inti Barista yang berkaitan dengan proses produksi seduhan kopi mulai dari seleksi kopi di kebun sampai siap saji [from farm to cup]. Produk “hard skill” adalah secangkir seduhan kopi. Indikator kompetensi ini adalah citarasa seduhan kopi sesuai pesanan konsumen. Sedangkan, “soft skill” terkait dengan perilaku [karakter], yang tercermin dalam bentuk keramah-tamahan, kesopanan dan komunikatif kepada kostumer. Selain itu, Barista harus menunjukkan budaya kerja produktif, integritas tinggi, disiplin dan mampu bekerja secara tim.   Kualitas pelayanan dan produktivitas sebagai tolok ukur kompentensi “soft skill”. Penguasaan kedua keterampilan tersebut akan memudahkan calon Barista dalam beradaptasi dengan pekerjaan saat diangkat sebagai Barista yunior di sebuah kafe.

Menurut SK Menakerstran No 370, tahun 2013, peningkatan karir Barista yunior berlangsung secara berjenjang dan terstruktur. Akumulasi pengalaman kerja, pembibingan dan pelatihan formal akan memperkaya kompetensi Barista yunior untuk bekal naik kasta menjadi Barista senior. Ditambah penguasaan manajemen, Barista senior bisa dinobatkan menjadi General Manajer [GM] kafe. GM adalah pemegang otoritas tertinggi dan bertanggung-jawab atas semua urusan di kafe. Tolok ukur keberhasilam seorang GM adalah kemampuan manajerial untuk membentuk “tim work” dan memobilisasi sumber daya [SDM, bahan baku, alat-mesin dan modal] untuk meraih target pasar secara efektif dan efisien. GM ini dituntut untuk terus meng-upgrade kompetensinya dan memperbarui pundi-pundi keilmuannya sesuai dengan perkembangan gelombang IPTEK perkopian [Gambar 2].

Gelombang pertama [1st wave] terjadi sebelum tahun 1970. Minum kopi dianggap sebagai simbol-ritual. Kultur minum kopi dilakukan di rumah. Bubuk kopi dibeli di warung tanpa atensi terhadap asal-usul dan mutu biji kopi. Prosesi penyeduhan cukup ditangani “tukang seduh”. Seduhan kopi hanya terasa panas dan pahit. Profesi Barista masih dalam kandungan. Sesudah tahun 1970-an, masuk era kopi gelombang kedua [2nd wave]. Era ini ditandai munculnya phrasa “coffee lover” yang menuntut citarasa unik seduhan biji kopi spesialti sebagai tolok ukur. Prosesi untuk menghasilkan secangkar kopi, mulai dari mutu biji kopi, tingkat penyangraian dan penyeduhan dilakukan secara terukur sesuai protokol. Terjadi gelombang akulturisasi minum kopi. Budaya minum kopi masyarakat yang semula dijalani di rumah bergeser ke ruang publik. Kafe seperti Starbuck dan sejenisnya merupakan tempat yang nyaman untuk bersosialisasi sesama teman sambil minum kopi. Seduhan kopi berbasis espresso dengan berbagai variannya merasuki kehidupan masyarakat. Teknik penyeduhan menjadi sebuah karya seni [art], paduan antara sain kopi dan seni. Peran tukang seduh mulai diambil alih oleh Barista.

Dimulai pada tahun 2000-an, literasi dan berbagi ilmu [sharing] mewarnai era gelombang kopi ketiga [3rd wave]. Pencinta kopi mulai bersikap kritis untuk tidak hanya sekedar minum seduhan kopi, tetapi lebih jauh mendalami ilmu kopi [sain kopi].  Apa yang ada di dalam cangkir seduhan kopi digali dan dirangkai secara akademik menjadi sebuah literasi kopi. Sebuah pengetahuan yang mengupas tuntas proses produksi kopi secara utuh dan terintegrasi mulai dari kebun sampai meja kafe. Pada era ini, peran Barista semakin luas diluar tugas rutinnya. Berbagi ilmu kopi kepada konsumen [knowledge sharing] adalah bentuk kewajaran. Layaknya sebuah seminar ilmiah, Barista menjadi moderator diskusi dan dialog interaktif antar pengunjung kafe. Sudah barang tentu, Barista dituntut untuk memperluas kapasitas dan wawasan IPTEK perkopian. Pada akhirnya, akan muncul sebutan baru Barista sebagai Profesor kopi. Sesuatu hal yang bisa dijadikan “market driven”. Daya tarik lebih banyak kostumer untuk datang dan datang lagi ke kafe.

Fenomena gelombang ketiga berlanjut ke gelombang keempat. Deskripsi gelombang ini dianggap masih imaginer dan menjadi perdebatan di kalangan pelaku bisnis dan pemerhati kopi. Namun, secara tersamar penggiat kopi di dunia telah memindai gelombang kopi keempat ini dan sudah mulai mencium aromanya sejak tahun 2015. Menu kafe makin variatif lebih komplek layaknya resep kuliner. Ada banyak jenis bahan lain non-kopi, susu, gula semut, penambah rasa berbaur dalam seduhan kopi. Lingkup tanggung jawab Barista lebih komplek dari “chef de cuisine”. Barista masa kini bertanggung-jawab atas semua urusan di dapur kafe dan resto. Konsep binsis Starbuck perlahan tapi pasti juga bergeser ke arah resto. Selain seduhan kopi panas dan dingin, juga tersaji salad, sandwich dan berbagai jenis kue kering. Bahkan secara terbuka, model merchandise seperti topi, gelas, cangkir, kaos berlogo Starbuck terpajang di dinding kafe Starbuck. Barista dengan senang hati menambah kompetensi keilmuan pangan, ketajaman naluri bisnis dan mampu menangani beberapa kegiatan secara paralel [multitasking]. Barista adalah afisinados: seeseorang yang sangat perhatian dan menaruh minat mendalam terhadap suatu bidang ilmu dan keterampilan menyangkut profesinya.

SERTIFIKASI BARISTA

Sertifikat adalah dokumen tertulis yang diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi [LSP] yang sudah terakreditisasi. Nama yang tertera dalam dokumen ini dinyatakan telah menguasai kompetensi kerja bidang keahlian tertentu sesuai dengan Standard Kompetensi Kerja Nasional Indonesia [SKKNI]. Pemberian sertifikat Barista tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No 370, tahun 2013. Sertifikasi adalah prosesi untuk mendapatkan sertifikat. Proses ini dilakukan oleh asesor secara sistematis, objektif, akuntabel, terukur dan tertelusuri. Unsur sertifikasi mencakup aspek pengetahuan kopi, keterampilan teknik dan perilaku. Tiga unsur tersebut kemudian dijabarkan menjadi 9 tolok ukur kompetensi, seperti disajikan pada Tabel 1 berikut,

Bagi Barista pemula, materi uji kompetensi tersebut di atas bukan hal yang mudah. Oleh karena itu, beberapa Instansi Pemerintah memberikan bimbingan teknis pra-sertifikasi. Salah satunya, melalui pendampingan atau mengikutkan peserta pada lembaga kursus kopi. Peserta diberi materi teori dan praktek yang terdiri atas, pengenalan dan seleksi biji kopi, penyangraian, uji citarasa, penggilingan dan penyeduhan manual dan espresso. Peserta diharapkan menguasi kompetensi “hard skill” seperti ditunjukkan pada Gambar 1 di atas. Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No 370, tahun 2013 memasukkan Barista sebagai sumber daya industri pariwisata. Esensi industri ini adalah keramah-tamahan dan kesantunan dalam memberikan pelayanan ke kostumer. Suatu bentuk kompetensi “soft skill” yang harus dimiliki oleh Barista. Penguasaan kedua kompentensi tersebut akan memudahkan peserta mengikuti seluruh rangkaian prosesi sertifikasi Barista.

Fase uji kompetensi “hard skill” diawali dengan test teori tentang pengetahuan kopi dari kebun sampai menjadi seduhan kopi. Diikuti oleh uji praktek yang meliputi beberapa tahapan penyeduhan kopi, mulai dari penggilingan biji kopi sangrai dan pelarutan kopi dengan berbagai jenis alat seduh. Peserta juga diuji kepekaan inderawinya terhadap bau, tampilan dan rasa untuk mengidentifikasi jenis biji kopi yang menghasilkan seduhan yang unik. Uji praktek penyeduhan dengan mesin espresso mutlak dilakukan, sesuai dengan tuntutan era kopi gelombang ketiga. Penyeduhan adalah bagian dari seni, yang dilihat dari kemampuan peserta dalam meracik dan menyajikan seni dalam seduhan “latte arts”. Fase berikutnya adalah uji kompetensi “soft skill”. Tidak ada lagi praktek, peserta langsung diwawancarai oleh tim asesor. Unsur-unsur karakter peserta terkait sifat hospitaliti digali secara mendalam oleh asesor. Sifat tersebut menyangkut “human relation”, seperti komunikasi, keramah-tamahan dan kesopanan dalam melayani kostumer. Sering juga disinggung sifat yang terkait dengan budaya kerja, antara lain, kedisplinan, kemampuan kerjasama dan integritas.

PERSEPSI KEMANFAATAN HASIL SERTIFIKASI

Persepsi adalah suatu pandangan individu dalam menginterpretasikan dan menyimpulkan suatu topik bahasan tertentu. Survei persepsi publik tentang kemanfaatan sertifikasi Barista belum pernah dilakukan. Seperti tercantum dalam SK Menakertran No 370, tahun 2013, Barista dikategorikan sebagai sumber daya manusia sektor pariwisata. Sehingga, ulasan ini akan membahas hasil survei kemanfaatan sertifikasi untuk industri pariwisata, yaitu perhotelan. Survei dilakukan oleh Vindi Alvionita dkk dari Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung pada tahun 2018. Kesimpulan dari survei ini adalah bahwa perolehan sertifikat profesi secara psikologis memberikan kepuasan serta percaya diri. Namun, secara teknis sertifikasi belum memberikan dampak positif pada jenjang karir, kinerja karyawan dan kompetisi dengan tenaga kerja lain.

Karyawan di manapun mereka bekerja secara umum memiliki kesamaan pandangan terhadap pemeringkatan jenjang karir. Penentuan jenjang karir dan promosinya secara kumulatif hendaknya diputuskan atas dasar 4 aspek, yaitu [1] pengalaman, [2] prestasi, [3] cakupan lingkup penugasan [scope] dan [4] latar belakang pendidikan formal, kursus kejujuran terkait dan sertifikat. Hasil survei menyebutkan bahwa sebanyak 52% responden menilai kepemilikan sertifikat belum berdampak positif pada peningkatan karir dan daya kompetisi. Nilai tersebut bisa dimaklumi karena 37% responden menganggap bahwa sertifikasi tidak mendongkrak kinerja karyawan. Hal ini bertentangan dengan tujuan sertifikasi, yang antara lain, untuk meningkatkan kompetensi karyawan dalam hal keilmuan, keterampilan dan perilaku. Hasil ini bisa menjadi rujukan pembelajaran bagi LSP Barista untuk melakukan survei presepsi publik terhadap manfaat sertifikasi Barista.

Mengacu pada hasil survei di atas, sertikasi hendaknya tidak dipandang sebagai formalitas. Perolehan sertifikat Barista sebaiknya ditindaklanjuti dengan hal-hal yang menjamin kepastian Barista sebagai profesi, baik secara status sosial maupun ekonomis, seperti diamanatkan dalam SK Menakertran No 370, tahun 2013. SKKNI Barista secara legal-formal bisa digunakan sebagai dasar dan acuan dalam penataan manajemen dan pengembangan karis SDM Barista berbasis kompetensi, antara lain,

  • Pengembangan Pelatihan Berbasis Kompetensi Bidang Barista.

Perumusan program pelatihan, penyusunan kurikulum dan silabus, modul pelatihan, penetapan metode pelatihan, kriteria dan materi penilaian.

  • Pengembangan Sertifikasi Kompetensi

Menetapkan sasaran dan materi uji kompetensi, penetapan metode penilaian kompetensi, penetapan kriteria kelulusan uji serta penentuan skema sertifikasi kompetensi barista.

  • Pengembangan Sistem Manajemen SDM

Menjadi acuan rekrutmen dan seleksi, penempatan, penilaian kompetensi dan pengembangan karir SDM barista, baik di jalur struktural maupun fungsional.

  • Penataan Organisasi pada

Merumuskan pola pembagian kerja dan tata hubungan kerja antar posisi atau jabatan, terutama dengan mempertimbangkan hasil analisis hierarkhi dan keterkaitan fungsi-fungsi produktif.

 

DAFTAR BACAAN

Alvionita, V, A.H.G. Kusumah & S. Marhanah [2018]: Persepsi Karyawan Hotel Terhadap Manfaat Sertifikasi Kompetensi Pariwisata Bidang Perhotelan di Kota Bandung. Journal of Indonesian Tourism, Hospitality and Recreation. Volume 1, Nomor 2, Oktober 2018.

Devishanty [2018]. Cultivating the Coffee Culture. PT. SARI COFEE INDONESIA [STARBUCK INDONESIA]. Sahid Sudirman Center , 27th Floor, Jl.Jend. Sudirman Kav. 86, Jakarta. www. Starbucks.co.id

Rahman. L & E. D. Hari Putri [2019]. Upaya Meningkatkan Kinerja Barista Untuk Mengurangi Keluhan Tamu Di Rock Gilis Coffee Lombok. Jurnal Khasanah Ilmu. Vol.10 No.1 Maret 2019 63 ISSN : 2087-0086.

SK Menakertran No 370 [2013]. Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Kategori Penyedian Makanan Dan Minuman Golongan Pokok Penyedimn Minuman Golongan Penyedian Minuman Sub Golongan Bar Kelompok Usaha Rumah Minum/Kafe. Kementerian Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia.

Putranto, F. Eka & H. Hudrasyah [2017]. Identification Of Consumer Decision Journey In Choosing Third Wave Coffee Shop In Bandung By Youth Market Segment. Journal Of Business And Management. Vol. 6 No.1, 2017: 88-100.

 

=====O=====

Leave a Reply

Your email address will not be published.

× WhatsApp