Blog

Get informed about our latest news and events

PERAN FERMENTASI DALAM PANEN DAN PASCAPANEN KOPI

PERAN FERMENTASI DALAM PANEN DAN PASCAPANEN KOPI

Sri Mulato [cctcid.com]

Sejak dibudi-dayakan secara komersial, pascapanen kopi yang dikenal dan berlaku saat itu hanya metoda olah kering [dry process], yaitu dengan cara penjemuran. Begitu nilai ekonomi kopi membaik, ekspansi kebun kopi berlangsung secara masif di banyak negara tropis. Metoda olah kering tidak lagi mampu mengolah hasil kebun kopi yang melimpah. Butuh lantai jemur lebih luas, karena buah kopi makan tempat dan susah kering [25 – 30 hari]. Sebagai alternatif muncul metoda olah kopi basah [wet process]. Konsep dasar metoda ini adalah menurunkan volume buah kopi. Pengupasan kulit buah bisa mengurangi volume buah sebanyak 60 %. Biji kopi berkulit tanduk [parchment] kemudian direndam dalam bak untuk difermentasi. Esensi dari proses ini adalah untuk menghilangkan lendir [mucilage] yang masih menempel erat di permukaan kulit tanduk. Mikroba alami memanfaatkan senyawa organik dalam “mucilage” untuk pertumbuhannya. Setelah beberapa hari, “mucilage” kehilangan daya lengket dan mudah dicuci dari permukaan “parchment”. Pengeringan “parchment” menjadi lebih singkat, yaitu 10 – 14 hari saja, Dengan demikian, kapasitas penjemuran meningkat cukup tinggi. Namun, proses pencucian ini butuh air cukup banyak. Limbahnya berpotensi mengotori lingkungan. Metoda olah kopi berkembang lagi ke arah yang lebih simpel, yaitu yaitu proses semi-basah dan “honey”. Kedua proses ini hanya mengadopsi teknik pengupasan kulit buah dan penjemuran. Tidak melewati proses fermentasi dan pencucian. Fermentasi “mucilage” berlangsung secara bersamaan waktu dan tempat dengan pengeringan. Selain pertimbangan efisiensi dan pelestarian lingkungan, metoda olah ini diharapkan juga bisa menghasilkan biji kopi dengan profil citarasa khas sebaik hasil pengolahan basah. Kontrol proses fermentasi secara regular menjadi faktor penentu dalam menghasilkan kualitas biji kopi yang konsisten dan mencegah kerusakan citarasa oleh mikroba yang berkembang secara tidak terkendali.

 

PENGERTIAN FERMENTASI

Fermentasi merupakan proses mikrobiologis terkontrol untuk merubah substrat [bahan] organik menjadi senyawa baru yang bermanfaat, melalui jalur-jalur reaksi seperti disajikan pada Gambar 1 berikut,

Gambar 1. Jalur reaksi fermentasi terkontrol.

Senyawa karbohidrat sederhana, termasuk glukosa, merupakan sumber makanan mikroba yang paling mudah diperoleh di alam dan dicerna oleh mikroba. Senyawa tersebut bisa dijadikan menu mikroba setelah dicampur dengan air. Oksigen diperlukan oleh mikroba jenis aerob untuk menyokong aktivitas pembiakannya. Saccharomyces termasuk mikroba jenis khamir [yeast] yang mampu hidup dalam kondisi lingkungan aerob dan anaerob atau disebut mikroba aerob fakultatif. Pada kondisi aerob, Saccharomyces  berperan dalam proses respirasi. Sebaliknya pada ekosistem anaerob, Saccharomyces menjalankan aktivitas metabolisme untuk merubah glukosa menjadi alkohol dan gas CO2 yang disertai pelepasan energi panas. Pembentukan alkohol ini terlebih dulu melewati produk antara yang disebut asam piruvat, hasil reaksi glikolisis senyawa glukosa. Pada kondisi minim oksigen, asam piruvat akan dikonversi oleh lakto-bakter menjadi asam laktat. Sedangkan, pada ekosistem cukup oksigen, asam piruvat akan diuraikan menjadi air dan gas CO2.

Dalam fermentasi campuran, alkohol yang berasal dari  asam piruvat akan dioksidasi lanjut oleh aseto-bakter dalam situasi surplus oksigen menjadi asam asetat dan beberapa jenis organik lainnya. Reaksi fermentasi pembentukan asam melepaskan energi lebih besar, kira-kira 5 kali lebih banyak dari jumlah energi yang dihasilkan dalam fermentasi alkohol. Fermentasi dengan mikroba campuran ini termasuk dalam kategori “hetero-fermentatif”. Dalam satu proses bisa menghasilkan beberapa jenis produk fermentasi yang berlainan. Sebaliknya, “homo-fermentatif” hanya menghasilkan produk fermentasi tunggal. Pada skala operasional, aplikasi proses fermentasi bisa dilakukan dengan teknik perendaman dalam media cair [Submerged Fermentation] dan tanpa media cair [Solid State Fermentation], seperti ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Reaktor fermentasi perendaman dan tanpa air.

 

Teknik perendaman melibatkan banyak air sebagai fase kontinyu untuk merendam bahan baku yang sedang diproses. Pertumbuhan mikroba dan reaksi fermentasi berlangsung dalam fase cair [wet fermentation]. Hasil fermentasi akan terlarut atau tersuspensi sebagai partikel-partikel padat dalam fase cair. Pada fermentasi kering [dry fermentation], bahan padat dibiarkan berproses tanpa rendaman air. Aktivitas mikroba hanya pengandalkan ketersediaan substrat dan air yang menempel di permukaan bahan padat yang sedang diproses.

SUBSTRAT FERMENTASI

Fermentasi membutuhkan substrat atau media tumbuh mikroba. Substrat umumnya menggunakan bahan yang mengandung karbohidrat sederhana [gula] yang mudah diurai oleh mikroba. Buah kopi mengandung berbagai jenis senyawa gula dengan kadar tergantung pada tingkat kematangannya.

Kematangan Buah Kopi

Daging buah kopi matang terdiri atas campuran bahan organik dan air dalam proporsi tertentu yang layak digunakan sebagai substrat fermentasi. Kadar senyawa gula dalam daging buah kopi sangat tergantung pada tingkat kematangannya. Ukuran kematangan buah ditandai oleh perubahan warna kulit buah yang semula berwarna hijau menjadi merah. Senyawa khlorofil adalah pigmen warna hijau saat buah kopi masih mentah. Pigmen karotenoid menjadi dominan ketika buah kopi sudah matang. Warna ini dipakai acuan untuk menentukan saat yang tepat untuk panen buah kopi. Setelah lewat matang, warna kulit buah berubah menjadi merah-kehitaman [Gambar 3].

Gambar 3. Perubahan fisik buah kopi selama proses kematangan di pohon.

Selain warna, kematangan buah kopi juga dapat diukur dari tingkat kekerasan kulit buahnya. Buah mentah mempunyai kulit yang keras dan sulit dikupas. Diperlukan daya yang besar untuk mengupas buah kopi mentah, yaitu 15 N [Newton]. Daya ini akan berkurang menjadi tinggal 10 N saat buah sudah tepat matang. Kulit dan daging buah matang bersifat sangat lunak, berlendir dan mudah dikupas. Secara kimiawi, kandungan senyawa gula dalam daging buah juga meningkat secara signifikan. Pada buah kopi mentah, kadar gula belum bisa diukur. Seiring dengan proses pematangan buah kopi, kadar gula naik secara bertahap dan mencapai puncaknya sampai 17 Brix. Satuan Brix adalah proporsi antara berat padatan terlarut [termasuk gula] dalam 100 gr larutan. Senyawa gula dalam daging buah berkorelasi positif dengan jenis dan jumlah senyawa pembentuk citarasa dalam biji kopi. Buah kopi merah akan memiliki komposisi kimia senyawa pembentuk citarasa yang lengkap dan maksimal. Selain itu, petik buah kopi merah juga memberikan keuntungan teknis, yaitu mudah dikupas kulitnya tanpa merusak kulit tanduk dan keuntungan ekonomis dalam bentuk peningkatan rendemen olah yang tinggi.

Komposisi Kimia Substrat

Sifat fisik dan kimiawi daging buah kopi berkorelasi langsung dengan tingkat kematangannya. Perubahan fisik kematangan buah kopi diawali oleh perubahan warna kulit buah yang semula hijau secara bertahap menjadi kemerahan akibat dari perubahan pigmen khlorofil menjadi karoten. Diikuti dengan perubahan kimiawi dalam bentuk pertambahan konsentrasi senyawa gula dan perubahan tekstur daging buah menjadi lebih lunak. Enzim pektin metil esterase [PME] dan poligalakturonase [PG] mengurai senyawa polimer pembentuk dinding sel, yaitu heterosakarida jenis pektin.  Penyusun utama pektin adalah senyawa homogalakturonat. Enzim PME berperan melepaskan gugus metil ester dari ikatan linier polimer homogalakturonat. Pektin kemudian mengalami depolimerizasi dan membentuk gel yang bersifat lengket pada daging buah dan lapisan lendir di permukaan “parchment”. Proses pelunakan daging buah sejalan dengan peningkatan aktivitas enzim PME secara progresif sejak buah kopi muda sampai buah matang [Gambar 4].

Gambar 4. Peningkatan aktivitas enzim PME pada berbagai tingkat kematangan buah.

Secara spesifik, kenaikan aktivitas enzim PME berlangsung dalam 5 tingkat kematangan buah kopi yang disertai dengan perubahan warna buah.  Tingkat 1 terjadi saat kulit buah kopi masing berwarna hijau dihitung dari 110 hari setelah pembungaan atau 100 DAF [Day After Flowering]. Diikuti dengan tingkat 2, saat warna kulit buah mulai berubah merah muda pada 180 DAF. Pada tingkat 3, kulit buah berubah menjadi merah dominan ketika pembungaan sudah mencapai 200 DAF. Pada tingkat 4 setelah 210 DAF, kulit buah berwarna merah merata. Warna kulit buah cenderung merah tua setelah 240 DAF. Ketika buah kopi mendekati fase akhir kematangan, enzim PME mengaktifkan enzim jenis lainnya, yaitu poligalakturonase [PG]. Enzim ini berperan melunakkan daging dan lapisan lendir buah kopi. Akumulasi jenis dan jumlah senyawa pembentuk rasa dan aroma, seperti gula reduksi dan non-redukasi dan protein,  dalam biji juga sudah mencapai maksimal. Demikian juga, jenis dan komposisi senyawa kimia yang terkumpul dalam daging buah [pulp] dan lapisan lendir [“mucilage”] sudah mendekati final [Tabel 1].

Tabel 1. Sifat fisik dan kimiawi daging buah [pulp] dan lapisan lendir [mucilage].

Sumber Mikroba Fermentasi

Selama ini, mikroba fermentasi kopi sebagian besar berasal dari sumber alami lokal [indigenous species], seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5 berikut ini,

Gambar 5. Berbagai sumber mikroba untuk fermentasi kopi.

 

Beberapa jenis spesies bakteri menempel di permukaan kulit buah kopi dan tanah di sekitar kebun. Bakteri asam laktat sudah lama diketahui tinggal di permukaan buah kopi hasil panen. Permukaan buah juga mengandung khamir sebanyak 5,2 x 106 CFU/ml [Colony Forming Unit] dan berperan dominan pada proses fermentasi kopi. Kontribusinya terhadap proses fermentasi jauh lebih besar dibandingkan peran mikroba yang berasal dari sumber lainnya. Sedangkan, air untuk pengolahan buah kopi banyak mengandung mikroflora mesofilik utamanya enterobakteria, sebanyak 2.3 x CFU/ml. Bakteri jenis ini juga ditularkan pada kopi lewat kulit pekerja dan alat-alat pengolahan. Ada beberapa jenis serangga yang hidup di lingkungan kebun menghasilkan bakteri frukto-basilum yang berperan pada metabolisme gula fruktosa. Bakteri metilo-bakterium yang umumnya tinggal di tanah di sekitar kebun masuk lingkaran proses fermentasi melalui permukaan buah kopi yang jatuh di tanah. Populasi mikroba alami di sekitar kebun cenderung menurun secara signifikan akibat aplikasi semprotan bahan kimia yang berlebihan [pestisida, herbisida dan fungisida] untuk pemberantasan hama dan penyakit tanaman kopi.

AKTIVITAS AIR

Salah satu faktor penentu proses fermentasi adalah ketersedian air dalam substrat, yang diukur dari nilai Aw. Aktivitas air atau water activity [Aw] adalah jumlah air bebas dalam substrat yang bisa dimanfaatkan oleh mikro-organisme untuk menyokong pertumbuhannya. Masing-masing mikro-organisme [bakteria, yeast, mold] memiliki batas minimal nilai Aw. Di bawah nilai tersebut, mikro-organisme tidak bisa hidup. Aw berbeda dengan kadar air [Moisture Content disingkat MC]. MC adalah kandungan air total dalam suatu bahan yang terdiri atas air terikat [bound water] dan air bebas [free water]. Karena mengandung air bebas berlebih, bahan pangan yang basah mudah diserang berbagai jenis mikroba. Proses pengeringan bahan basah bisa mengurangi air bebas sampai habis dan hanya meninggalkan air terikat saja.  Air terikat ini melekat sangat kuat dalam jaringan molekul bahan. Sehingga, mikro-organisme tidak mampu mejangkau dan memanfaatkan air terikat untuk media hidupnya. Mikro-organisme hanya bisa mengkonsumsi air bebas sampai batas nilai Aw yang dimilikinya. Dalam skala industri, nilai Aw dipakai untuk menentukan jenis reaksi mikrobiologis terkait perubahan sifat bahan yang sedang diolah secara fermentasi [Gambar 6].

Gambar 6. Hubungan nilai Aw dan aktivitas reaksi mikro-biologis dalam bahan pangan.

Jenis dan populasi mikroba dalam bahan pangan semakin banyak pada nilai Aw tinggi. Mikroba jenis bakteri pada kisaran nilai Aw ≥ 0,91, beberapa jenis bakteri mampu bertahan di Aw 0,75. Sebagian mikroba khamir [yeast] hidup dan berkembang pada Aw 0,85 dan ada jenis khamir yang bisa bertahan hidup pada Aw 0,60. Kebanyakan mikroba jenis jamur [kapang] tumbuh pada Aw minimal 0,75. Enzim adalah metabolit mikroba yang mampu berkembang biak dengan baik pada rentang Aw yang cukup lebar, antara 0,30 – 0,80. Pengeringan bisa menurunkan nilai Aw sampai di bawah 0,60. Pada nilai ini, mikroba bisa mati atau tidak aktif. Pada proses pengolahan kopi, aplikasi Aw sangat relevan terutama untuk memonitor proses fermentasi, pengeringan sampai penyimpanan biji kopi dalam gudang.

PENYIAPAN BAHAN OLAH

Bahan olah fermentasi adalah buah kopi hasil panen dari kebun. Hal yang krusial dalam masa panen adalah penentuan periode pemetikan buah yang tepat waktu. Setelah panen, buah kopi sebaiknya diolah langsung hari itu juga sesuai metoda olah baku yang diinginkan pasar. Seandainya, olah tepat waktu tidak bisa dilakukan, buah kopi harus disimpan terlebih dahulu dengan cara yang benar untuk mencegah pra-fermentasi dalam buah yang bisa efek menurunkan mutunya.

Panen

Aktivitas mikrobiologis sebenarnya sudah berlangsung sejak buah kopi masih menempel di ranting pohon. Buah kopi digolongkan sebagai buah klimaterik. Buah jenis ini memiliki kemiripan aktivitas dalam proses respirasi dan pelepasan senyawa etilen selama proses pematangannya [Gambar 7].

Gambar 7. Laju respirasi, pelepasan etilen buah kopi selama proses pematangan.

Dengan bantuan oksigen, buah kopi melakukan respirasi untuk memperoleh energi melalui reaksi peruraian biokemis senyawa organik komplek menjadi gas CO2 dan H2O. Selama proses pematangan, buah klimaterik memiliki kurva respirasi terbagi dalam 4 tahap, yaitu pra-klimaterik, klimaterik, puncak klimaterik dan paska klimaterik. Pada fase pra-klimaterik, respirasi berlangsung lambat dan terjadi saat buah kopi masih muda, berwarna hijau dan belum cukup ketersediaan senyawa organik sebagai sumber makanan untuk reaksi fermentasi. Respirasi meningkat tajam pada fase klimaterik disertai pembentukan senyawa gula dari pemecahan senyawa komplek polifenol dan pektin. Tektur daging buah menjadi lunak. Klorofil terurai oleh enzim klorofilase dan memunculkan pigmen karotenoit yang berwarna merah. Puncak respirasi tercapai ketika buah berumur 185 hari setelah pembungaan. Proses respirasi berjalan beriringan dengan pelepasan gas CO2, gas etilen dan penurunan air dari daging buah. Gas etilen berperan untuk mengontrol kematangan buah. Sementara, sebagian air hasil respirasi meresap ke dalam biji kopi untuk pertumbuhan.

Pada fase paska klimaterik, laju respirasi mulai menurun. Yang kemudian disusul oleh puncak laju pelepasan etilen yang terjadi pada 15 hari kemudian [hari ke 200 setelah pembungaan]. Rentang kedua puncak tersebut merupakan waktu ideal untuk panen buah kopi. Nilai tersebut umumnya bervariasi antara kebun yang satu dengan yang lain tergantung pada iklim, ketinggian lahan dan perawatan tanamannya. Panen buah kopi  sebelum waktunya akan menghasilkan biji kopi yang kurang enak. Demikian juga, panen buah kopi sesudahnya masuk ke fase matang lanjut [overripe]. Panen kadaluwarsa menyebabkan daging buah mulai terjadi fermentasi yang tidak terkontrol dan menghasilkan senyawa-senyawa perusak citarasa khas kopi. Daging buah menjadi sangat lunak dan mudah rusak saat dipanen atau diangkut ke lokasi pengolahan paskapanen.

Penyimpanan Hasil Panen

Proses kematangan buah kopi pada dahan-dahan pohon tidak berlangsung secara serempak. Pemanen kopi dituntut untuk mempraktekkan panen secara selektif, yaitu panen buah merah saja. Pola panen demikian menyebabkan kapasitas tenaga kerja pemanen umumnya hanya berkisar antara 90 – 100 kg buah kopi merah/hari. Sehingga, buah kopi hasil panen tidak bisa diolah di hari yang sama. Untuk itu, buah hasil panen sebaiknya tidak dibiarkan dalam karung selama beberapa malam, tetapi disimpan dulu dengan teknik penyimpanan secara perendaman [Gambar 8].

Gambar 8. Metoda penyimpanan buah kopi hasil panen dengan perendaman air.

Kesegaran buah hasil panen bisa dilihat secara visual dari warna kulit buah, tingkat kelunakan daging buah dan aromanya. Akibat proses fermentasi, kesegaran buah akan menurun seiring dengan waktu penyimpanan. Warna buah kopi dalam karung [tanpa direndam] yang semula merah-segar [0 hari] akan berubah menjadi kecoklatan setelah 3 hari penyimpanan. Daging buah kopi mengalami reaksi pencoklatan secara enzimatif [enzymatic browning]. Senyawa polifenol dalam daging buah diuraikan oleh enzim polifenol oksidase [PPO] dan menyebabkan warna kulit buah menjadi coklat-tua.

Dalam kondisi aerob, enzim PME dan PG akan mengurai senyawa pektin sehingga daging buah menjadi sangat lunak. Demikian juga, senyawa gula dalam daging buah awalnya teroksidasi oleh khamir menjadi etanol. Oleh aseto-bakteri, etanol dikonversi lanjut menjadi asam asetat disertai pelepasan energi panas yang cukup besar. Suhu tumpukan buah kopi dalam karung meningkat sampai 40 oC dan mendorong proses fermentasi berlangsung lebih cepat dan tidak terkontrol. Metabolit hasil fermentasi yang kurang baik berpotensi meresap ke dalam biji kopi dan menimbulkan rasa dan aroma tidak sedap. Hal demikian tidak terjadi pada buah kopi hasil panen yang disimpan secara perendaman. Air akan membatasi ketersediaan oksigen untuk menghambat proses fermentasi thermal. Suhu buah relatif konstan. Air juga berfungsi sebagai media pendingin yang berperan mencegah kenaikan suhu buah. Warna buah kopi hasil panen yang direndam tidak mengalami perubahan yang signifikan. Selain itu, perendaman bisa sekaligus difungsikan untuk memisahkan buah kopi kopong [floaters] dari buah kopi bernas yang layak diolah lanjut di tahapan paskapanen.

PENGOLAHAN PASKAPANEN BUAH KOPI

Secara garis besar, metoda paskapanen buah kopi dikelompokkan menjadi 4, yaitu, pengolahan natural [dry process], basah [wet process], proses “honey” dan “semi-washed”. Metoda pengolahan natural hanya mengandalkan proses tunggal, yaitu pengeringan. Buah hasil panen dalam bentuk utuh langsung dikeringkan di lantai jemur. Sementara, ketiga metoda pengolahan lainnya menerapkan perlakuan kupas kulit buah kopi [pulping] terlebih dahulu sebelum masuk ke tahap olah berikutnya. Bahkan, proses basah menerapkan tambahan tahapan proses, yaitu fermentasi kering atau basah dan diikuti dengan proses pencucian. Proses ini tidak dipraktekkan pada proses natural, semi-washed dan “honey” [Gambar 9].

Gambar 9. Tahapan proses beberapa metoda olah buah kopi petik merah.

Perlakuan pengupasan kulit buah kopi berpengaruh sangat signifikan pada reaksi bio-kemis yang berlangsung di masing-masing metoda olah. Pengupasan menyebabkan ketersedian dan komposisi substrat berbeda sangat menyolok. Substrat metoda natural berjumlah cukup banyak dengan komposisi kimia yang variatif, yaitu “pulp” [daging buah] dan “mucilage” [lendir]. Media substrat pada metoda ini heterogen yang terdiri atas air, gel dan padatan dan terlindungi oleh kulit buah kopi. Proses fermentasi dimulai dari permukaan kulit buah. Sebaliknya, substrat ketiga metoda olah lainnya hanya mengandalkan dari “mucilage” saja. Substrat ini hanya sedikit mengandung air, padatan nutrisi dan gel [lendir]. “Mucilage” sudah pada posisi terbuka tanpa pelindung kulit buah dan mudah berinteraksi dengan sumber mikroba dari sekelingnya.

Proses Natural

Pada proses natural, buah hasil panen utuh langsung dijemur di permukaan lantai jemur atau di atas para-para [pengering meja]. Tempat penjemuran buah kopi berfungsi sekaligus sebagai reaktor [fermentor]. Proses fermentasi metoda olah natural ini bersifat tidak sengaja [accidently] karena berlangsung bersamaan dengan proses pengeringan. Kaidah-kaidah proses pengeringan berpengaruh langsung terhadap ekologi mikroba, jenis mikroba dan populasinya selama proses fermentasi berlangsung. Populasi dan jenis mikroba bervariasi tergantung pada dinamika penurunan kadar air buah kopi akibat penguapan air selama penjemuran [Gambar 10].

Gambar 10. Profil kadar air buah kopi olah natural dan aktivitas mikroba.

Untuk mencapai kadar air biji kopi 12 %, penjemuran buah kopi memerlukan waktu lebih dari 25 hari. Pada periode awal pengeringan, mikroba alami melakukan proses fermentasi dari permukaan buah [eksokarp] secara berurutan ke dalam “pulp” dan “mucilage”. Mikroba yang terlibat dalam fermentasi natural ini meliputi jenis bakteri, khamir dan kapang filamen.  Beberapa jenis bakteri bisa memproduksi enzim ekstrasel PME dan PG yang memecah molekul selulosa dan pektin yang merupakan penyusun komponen dinding buah kopi, pulp dan “mucilage”. Kerusakan ketiga komponen ini secara enzimatis memicu dimulainya reaksi fermentasi dalam buah kopi yang melibatkan mikroba bakteri, khamir dan kapang. Masing-masing berkembang dalam beberapa tahap sesuai dengan rentang nilai Aw dalam buah yang berubah secara dinamis sesuai kadar airnya.

Pada 6 hari pertama, substrat buah kopi mengandung air 69 %, nilai Aw 0,90 dan nilai pH 6,5. Kondisi ini sangat baik  untuk pertumbuhan mikroba jenis bakteri sehingga populasinya mencapai 80 – 95%. Lewat hari ke-6, kadar air substrat menyusut tinggal 50 % dengan nilai Aw 0,7 – 0,8. Pertumbuhan mikroba bakteri tertekan dan digantikan oleh mikroba jenis khamir. Populasi khamir mencapai puncaknya, yaitu 80 % pada saat penjemuran masuk hari ke-15. Terjadi kondisi hetero-fermentatif, secara konsekutif khamir akan merubah gula dalam substrat menjadi alkohol dan dioksidasi lanjut menjadi asam asetat oleh aseto-bakter. Demikian juga, bakteri asam lainnya secara paralel membentuk berbagai jenis senyawa asam dalam substrat. Karena perbedaan konsentrasi, senyawa-senyawa asam substrat kemudian meresap ke dalam biji kopi. Atribut citarasa biji kopi menjadi lebih komplek  dengan sensasi rasa asam dan rasa buah [fruity] yang variatif  [Gambar 11].

Gambar 11. Profil senyawa asam dalam substrat [A] dan biji kopi selama fermentasi [B].

Senyawa asam hasil fermentasi tersebut menambah jenis dan jumlah senyawa pembentuk citarasa kopi yang sudah ada sebelumnya dalam biji, seperti protein, asam amino bebas, gula, gula reduksi dll. Namun, komposisi kimia ini bisa dirusak oleh mikroba jenis kapang yang umumnya tumbuh di tahap akhir penjemuran, kira-kira setelah penjemuran melewati hari ke-15. Mikroba ini mampu bertahan hidup pada substrat dengan kadar air 25 % dan nilai Aw mendekai 0,70. Infeksi kapang pada buah kopi umumnya terjadi pada penjemuran buah di atas tanah. Laju penambahan populasi kapang semakin nyata pada buah kopi saat penjemuran berlangsung pada cuaca mendung dan udara lembab [hujan]. Kapang jenis Aspergillus dan Penicillium berpotensi menghasilkan metabolit yang bersifat karsinogek, yaitu Okhratoksin-A [OTA]. Namun, kedua jenis kapang tersebut tidak aktif pada nilai Aw di bawah 0,70 ketika  kadar air akhir buah kopi kering 12,50 %. Pada cuaca cerah, kadar air ini bisa tercapai dengan waktu penjemuran selama 22 – 25 hari. Kadar air tersebut setara dengan nilai Aw 0,55 – 0,60. Pada rentang nilai Aw ini, semua jenis kapang tidak bisa hidup. Secara visual,  buah kopi kering ditandai dari warna kulitnya coklat tua merata dengan tekstur mengkerut, masing-masing akibat pembentukan pigmen fenolik dan dehidrasi.

 

“Honey” dan “Semi-Washed”

Kedua metoda olah ini diawali dengan pengupasan kulit buah kopi hasil panen. Substrat fermentasi adalah “mucilage” yang menempel di permukaan kulit tanduk. Hasil pengupasan sering disebut biji kopi berkulit tanduk [parchment] dan langsung dikeringkan di lantai jemur. Fermentasi “mucilage” berlangsung bersamaan dengan proses pengeringan [Gambar 12].

Gambar 12. Profil kadar air “parchment” metoda olah “honey” dan aktivitas mikroba.

Pengupasan buah kopi mensisakan lapisan “mucilage” tipis di permukaan “parchment”. Selain itu, kadar air “parchment” juga lebih rendah,  yaitu 59 %, atau lebih rendah 10 % dari metoda olah natural [lihat Gambar 10]. Kedua hal tersebut mampu mengurangi waktu pengeringan menjadi hanya 15- 19 hari dan memperpendek waktu fermentasi. Suksesi mikrobilogis pada fermentasi metoda olah “honey” hanya memiliki 2 tahapan. Mikroba bakteri aktif pada fase-1 fermentasi dengan rentang pendek, yaitu 0 – 2,5 hari pertama. Diikuti oleh dominasi mikroba khamir di fase-2 sampai hari ke-15.

Pada metoda olah “honey”, senyawa alkohol yang diproduksi oleh mikroba khamir tidak bisa dikonversi lanjut menjadi senyawa asam karena terbatasnya ketersedian mikroba bakteri di awal fermentasi. Sisa senyawa gula menjadi berlebih menjadikan biji kopi hasil olah metoda ini memiliki atribut citarasa asam yang moderat, rasa manis lebih intens, sedikit rasa “wine”, sensasi kental [mouth feel] yang menonjol dan tidak meninggalkan sensasi kurang nyaman di tenggorokan [after taste]. Pengeringan lambat memberi peluang kapang tumbuh dan memunculkan sensasi “after taste”. “Parchment” bisa dikeringkan sampai kadar air 12,50 % dengan waktu yang relatif lebih singkat. Pada kadar air “parchment” 12,50 % atau setara nilai Aw 0,60, mikroba kapang sudah tidak lagi aktif lagi dan bukan menjadi ancaman munculnya OTA dalam biji kopi.

 

Secara visual, “parchment” kering hasil metoda olah “honey” memiliki 3 tampilan, yaitu warna hitam [black], merah [red] dan kuning [yellow]. Kategori ketiga produk tersebut diperoleh atas dasar presentase ketebalan “mucilage” paska pengupasan kulit buah kopi. “Black honey” diperoleh dari parchment dengan sisa ketebalan “mucilage” maksimal, yaitu 100 %. Sedangkan, ketebalan “mucilage” 50 % dan 25 % menghasilkan masing-masing “parchment” kering  dengan sebutan “red dan “yellow honey”.  “Mucilage” mengandung beberapa senyawa berstruktur makro, antara lain, polifenol dan pektin [lihat Tabel 1]. Pektin diuraikan oleh enzim pektinase alami dalam “mucilage” menjadi senyawa-senyawa berstruktur mikro, seperti asam organik, alcohol dan karbohidrat sederhana [sukrosa dan gula reduksi]. Selama proses penjemuran, senyawa-senyawa mikro tersebut sebagian diserap ke dalam biji kopi. Sisanya tetap menempel di permukaan “parchment” sampai mengering.

Permukaan “parchment” yang dilapisi “mucilage” 100 % akan mengering dengan karakter warna coklat-kehitaman yang disebut “Black honey”. Warna  tersebut merupakan hasil reaksi “enzymatic browning” senyawa polifenol dalam “mucilage” oleh enzim polipenol oksidase [PPO]. Pengaruh sinar matahari selama penjemuran yang cukup lama menjadikan warna “parchment” berubah manjadi hitam oleh pigment senyawa fenolik. Sedangkan, “Red honey” diperoleh dari “parchment” yang dilapisi “mucilage” 50 %.  Saat kering, “parchment” berwarna kemerahan yang berasal dari pigmen senyawa karotenoid atau likopin. Pigmen ini juga dimiliki oleh kulit buah kopi matang. “Mucilage” dengan tebal 25 % menghasilkan “parchment” kering yang disebut “Yellow honey”. Warna ini dipengaruhi oleh pigmen karotenoid yang juga terkandung di kulit buah kopi setengah matang [under-ripe].  Warna “parchment” hasil metoda olah “semi-washed” sedikit lebih muda dari warna “Yellow honey”. Pada proses “semi-washed”, lapisan “mucilage” dibersihkan lanjut secara mekanis dengan mesin “demucilager”. Sisa lapisan “mucilage” pada proses “semi-washed” kurang dari 5 %. Dengan jumlah substrat yang minimal, mikroba tidak bisa tumbuh lagi. Biji kopi hasil metoda olah ini memiliki sensasi rasa asam yang paling rendah.

 

Proses Basah [Fully-Washed]

Berbeda dengan ketiga metoda olah yang telah dijelaskan sebelumnya, fermentasi metoda olah basah dilakukan dengan sengaja [on purpose] untuk membersihkan “mucilage” dari permukaan “parchment”. Maka, fermentasi basah menggunakan wadah [fermentor] yang dirancang secara khusus dan terlindung dari sinar matahari langsung. Pada kapasitas besar, fermentor terbuat dari bak semen dilapis keramik. Pada fermentasi basah [wet fermentation],  “parchment” direndam dalam bak berisi air bersih selama berlangsungnya fermentasi. Pada fermentasi kering [dry fermentation], “parchment” dimasukkan kedalam bak tanpa penambahan air [lihat Gambar 2 ]. Kedua teknik di atas berpengaruh pada ketersediaan oksigen selama proses fermentasi. Kondisi kekurangan oksigen [hipoksia] terjadi pada fermentasi basah dan mendorong pertumbuhan mikroba jenis khamir. Sebaliknya, fermentasi kering tanpa air menyebabkan mikroba mengalami kondisi defisit air. Ketersediaan air dan pasokan oksigen sangat berpengaruh terhadap jenis, populasi pertumbuhan mikroba yang terlibat dalam proses fermentasi, suhu dan nilai pH dalam bak fermentasi [Gambar 13].

Gambar 13. Jenis mikroba [A] dan kondisi ekologis [B] pada fermentasi basah dan kering.

Dengan lingkungan kecukupan air [nilai Aw mendekati 1], bak fermentasi basah banyak dihuni mikroba jenis bakteri. Karena terendam air, oksigen tersedia dalam jumlah terbatas yang mendorong eksistensi bakteri asam laktat. Pertumbuhan bakteri ini mencapai puncak pada saat fermentasi berlangsung 15 hari. Sebaliknya, populasi mikroba jenis khamir berkembang baik pada fermentasi kering pada lingkungan nilai Aw di kisaran 0,80. Pertumbuhan khamir mendekati maksimum pada hari ke-20 setelah fermentasi dimulai. Perbedaan menyolok dari kedua ekosistem fermentasi menjadikan laju pembentukan senyawa asam juga berbeda cukup nyata. Penurunan nilai pH pada fermentasi basah cukup drastis akibat surplus populasi bakteri asam laktat dibandingkan yang terjadi pada fermentasi kering. Sebaliknya, suhu biji kopi pada fermentasi kering menunjukkan peningkatan lebih tinggi dan mencapai puncaknya pada 32 oC setelah fermentasi hari ke-15. Kondisi aerob mendorong aktivitas aseto-bakteri merubah senyawa organik dalam “mucilage’ menjadi senyawa asam, etanol, gas CO2 dan air disertai pelepasan energi panas. Hal yang sama tidak terjadi dalam fermentasi basah. Selain keterbasan ketersediaan oksigen, massa air dalam bak bisa mempertahankan suhu fermentasi relatif stabil pada kisaran 24 oC.

Fermentasi metoda olah “fully-washed” semula hanya ditujukan untuk membersihkan “mucilage parchment” untuk mempercepat proses pengeringan. Ternyata, fermentasi juga menghasilkan senyawa-senyawa baru yang berperan menambah variasi citarasa biji kopi. Senyawa-senyawa tersebut berasal dari hasil peruraian senyawa organik sederhanana yang terkandung dalam “mucilage” [Gambar 14].

Gambar 14. Profil senyawa gula ‘mucilage” [A] dan hasil fermentasi [B].

Mikroba awalnya mengurai terlebih dahulu senyawa kimia sederhana sebagai sumber energi pertumbuhan. Senyawa sederhana berasal dari gula disakarida [sukrosa] yang terhidrolisis menjadi 2 molekul gula reduksi, yaitu glukosa dan fruktosa. Reaksi ini terjadi saat fermentasi berlangsung dari 0 sampai 10 jam pertama. Pada fase ini, bakteri asam laktat dan khamir berkembang dengan baik, sedangkan populasi bakteri pektolitik belum berkembang. Pada jam ke 20, sukrosa yang tersisa di permukaan “mucilage” semakin berkurang dan akhirnya tinggal 6 gr [Gambar 14 A]. Kandungan gula reduksi setelah 20 jam fermentasi menurun secara drastis akibat dikonsumsi oleh mikroba khamir. Hanya sedikit perbedaan sisa kadar gula reduksi antara ketiga metoda olah [Gambar 14 B]. Minimnya jumlah gula reduksi dan asidifikasi “musilage” oleh asam laktat mendorong bakteri pektolitik mulai melakukan aktivitas. Bakteri ini mengeluarkan enzim pektinase yang mampu menguraikan pektin dalam “mucilage” menjadi senyawa-senyawa berstruktur sederhana, yaitu gula reduksi, sukrosa dan asam organik. Munculnya gula reduksi di fase akhir fermentasi membuat mikroba khamir melakukan aktifitas lagi. Dengan bantuan oksigen, khamir  merubah senyawa gula reduksi menjadi beberapa jenis senyawa asam yang bermanfaat positif pada pembentukan varian citarasa dalam biji kopi [Gambar 15].

Gambar 15. Pembentukan senyawa asam dalam “mucilage” selama fermentasi.

KONTROL FERMENTASI

Biji kopi secara alami sudah mengandung berbagai jenis senyawa kimia pembentuk citarasa. Kadar senyawa-senyawa tersebut mencapai puncaknya saat buah kopi tepat matang. Kegiatan paskapanen ditujukan untuk mempertahankan senyawa tersebut dalam kondisi tetap baik dan tidak mengalami degradasi. Di antara tahapan paskapanen kopi, fermentasi termasuk tahapan proses yang susah dikontrol. Padahal, poses kontrol secara regular sangat dibutuhkan untuk memonitor proses fermentasi hanya berjalan ke arah yang baik [good fermentation]. Fermentasi ini jelas menghasilkan mutu biji dengan citarasa variatif, unik dan konsisten. Sebaliknya, fermentasi tidak terkontrol cenderung menuju ke arah yang tidak baik [bad fermentation]. Populasi mikroba kapang berkembang lebih dominan yang menyebabkan “off flavor” [cacat citarasa] pada biji kopi. Mikroba kapang juga berpotensi meproduksi metabolit yang bersifat toksik dan karsinogenik.

 

Faktor penentu fermentasi baik adalah kualitas buah kopi, jenis mikroba, ketersedian oksigen, air, suhu, waktu fermentasi dan pH substrat. Jika ketersediaan oksigen dan air yang cukup, fermentasi baik didominasi oleh populasi mikroba jenis khamir dan bakteri asam laktat. Banyak jenis mikroba khamir yang secara spesifik bisa memberikan  sensasi rasa buah yang lebih variatif, seperti rasa aprikot, markisa, plum, apel dan sitrus. Khamir akan berkembang biak lebih cepat pada substrat dari buah kopi matang karena sudah mengandung senyawa gula yang maksimal. Pada ekosistem minim oksigen, aktivitas khamir hanya terbatas pada konversi gula menjadi etanol disertai sedikit pelepasan panas. Sehingga, suhu fermentasi relatif stabil di kisaran   23-24 oC, seperti yang terjadi pada fermentasi basah [lihat Gambar 13 B]. Pada suhu itu, proses fermentasi sebaiknya diperpanjang sampai 36 jam untuk memberi kesempatan produksi senyawa asam lebih banyak. Pada lingkungan aerob seperti pada fermentasi kering, reaksi oksidasi senyawa gula tidak hanya terhenti sampai etanol tetapi berlanjut sampai pembentukan senyawa asam. Reaksi ini disertai kenaikan suhu fermentasi  sampai 32 oC. Pada kondisi ini, waktu fermentasi diperpendek hanya 24 jam supaya fermentasi tidak berbelok ke arah “bad fermentation”.

DAFTAR BACAAN

Martínez Vcm., I.D. Aristizábal., E. L. Moreno [2017]. Evaluation Of The Composition Effect Of Harvested Coffee In The Organoleptic Properties Of Coffee Drink. ISSN 0121-4004 / ISSNe 2145-2660. Volumen 24 número 1, año 2017. Universidad de Antioquia, Medellín, Colombia. págs. 47-58. DOI: http://dx.doi.org/10.17533/udea.vitae.v24n1a06.

Carvalho, N, G.V de Melo Pereira, V.O. A. Tanobe, B.J. da Silva, C. Rodrigues  and C.R. Soccol [2017].  Yeast Diversity and Physicochemical Characteristics Associated with Coffee Bean Fermentation from the Brazilian Cerrado Mineiro Region. Fermentation 2017, 3, 11; doi:10.3390/fermentation3010011 www.mdpi.com/journal/fermentation

 

Geromel, G,  L. P. Ferreira, S.M.C. Guerreiro, and A. A.Cavalari [2006]. Journal of Experimental Botany, Vol. 57, No. 12, pp. 3243–3258, 2006. doi:10.1093/jxb/erl084 Advance Access publication 22 August, 2006

 

Yusianto and D. Nugroho [2015]. Pengaruh Perlakuan Penyimpanan Buah Sebelum “Pulp”Er Terhadap Mutu Fisik Dan Citarasa Kopi Arabika. Internal Report Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Jember.

Avallone.S, B. Guyot, J.M. Brillouet, E. O. Palacio and J.P. Guiraud [2001]. Microbiological and biochemical study of coffee fermentation Microbiological and Biochemical Study of Coffee Fermentation. Article in Current Microbiology · May 2001. DOI: 10.1007/ s002840110213 · Source: PubMed.

 

=====O=====

Leave a Reply

Your email address will not be published.

× WhatsApp