PENDAHULUAN
Dalam sektor industri, kopi dikelompokkan sebagai bahan baku minuman penyegar ringan [mild stimulant]. Kopi mengandung kafein, suatu jenis senyawa kimia yang bisa memberikan efek fisiologik dan psikologik terhadap beberapa organ tubuh, antara lain, pada susunan syaraf pusat otak. Efek tersebut terlihat dari penurunan rasa kantuk, diiringi dengan peningkatkan daya tangkap panca indera serta percepatan daya pikir. Kafein juga menambah laju metabolisme konversi energi dalam tubuh dan mengurangi rasa lelah.
Kebiasaan minum kopi sangat lekat dengan kehidupan manusia sejak berabad-abad yang lalu. Setiap tiga orang di dunia ini terdapat seorang di antaranya sebagai peminum kopi. Sehingga, kopi telah menjadi bisnis yang menggiurkan dan menduduki peringkat kedua sebagai komoditas yang paling banyak diperdagangkan setelah minyak bumi. Pada era industrialisasi ini, kopi telah dimanfaatkan secara luas sebagai bahan baku berbagai jenis minuman yang memiliki nilai ekonomis tinggi [Gambar 1].
PELAKU BISNIS KOPI
Di dalam rantai pasok biji kopi, petani merupakan pelaku usaha paling depan [hulu] dan mempunyai peran sentral sebagai pemasok bahan baku industri kopi domestik dan global [Gambar 2]. Kopi diperdagangkan dalam bentuk fisik sebagai biji kering dan digolongkan sebagai produk primer. Produk ini dihasilkan oleh jutaan petani. Sehingga, petani bisa disebut sebagai pemegang saham terbesar kelompok industri paling hulu yang berperan mengolah buah kopi hasil panen menjadi biji kopi kering. Karena itu, petani sudah sewajarnya dididik untuk memahami metoda pengolahan buah kopi yang standar. Petani juga perlu diberi insentif dalam bentuk harga jual biji kopi yang layak sesuai dengan mutunya. Supaya, petani bergairah dan bersemangat untuk memproduksi biji kopi bermutu baik dan dalam jumlah sesuai kebutuhan pasar secara berkelanjutan.
Saat ini, konsumen utama biji kopi hasil petani adalah industri sekunder, yang mengolah lanjut biji kopi menjadi berbagai jenis produk olahan, seperti tersebut pada Gambar 1. Produk-produk tersebut dipasarkan dengan harga lebih tinggi ke seluruh penjuru tanah air, sebagian di antaranya kembali ke pedesaaan. Dalam jangka panjang, industri sekunder perlu juga ditumbuhkan di pedesaan dan dikelola oleh kelompok tani secara profesional. Produk industri pedesaan ini, dipasarkan di wilayah pedesaaan sampai ke perkotaan. Bahkan, mutu produk industri pedesaan dituntut mampu menembus pelaku bisnis industri tertier, antara lain, Kafe, Resto dan Hotel papan atas. Sehingga, nilai tambah produk kopi bisa dinikmati juga oleh masyarakat pedesaan.
SEGMENTASI PASAR BIJI KOPI
Peminum kopi era milenial menginginkan citarasa seduhan kopi yang spesifik dan menyehatkan. Petani selaku produsen biji kopi harus memahami segmentasi pasar berikut standar mutu yang dipersyaratkannya. Pangsa pasar biji kopi saat ini terbagi secara piramidal menjadi 3 segmen [Gambar 3].
Ciri-ciri produksi biji kopi regular adalah klasifikasi mutu atas dasar uji fisik mengikuti SNI [Standar Nasional Indonesia], kuantum produksi produksi cukup besar, namun harga relatif murah serta berfluktuasi. Sebaliknya, kopi spesialti memberikan harga jual tinggi serta stabil, dengan konsekuensi mengikuti acuan mutu standar SCAA [Specialty Coffee Association of America] yang ketat agar bisa meraih peluang pasar yang terbatas.
JENIS KOPI
Biji kopi berasal dari buah tanaman genus Coffea. Turunan genus ini yang dibudidayakan secara komersial adalah spesies arabika [Coffea arabica], robusta [Coffea canephora], liberika [Coffea Liberica] dan ekselsa [Coffea dewervrei]. Bentuk tanaman dan buahnya seperti disajikan dalam Gambar 4 berikut ini,
Kopi arabika: habitat ideal di lahan antara 20o Lintang Utara dan 20o Lintang Selatan [wilayah tropis] pada ketinggian 1000 – 2000 m dpl, suhu lingkungan 15 – 25 oC, curah hujan 1500 – 2500 mm/tahun dengan bulan kering tidak lebih 3 bulan.
Kopi robusta: habitat ideal di lahan antara 20o Lintang Utara dan 20o Lintang Selatan [wilayah tropis] pada ketinggian 400 – 900 m dpl, suhu lingkungan 26o C, curah hujan 2000 – 2500 mm/tahun.
Kopi liberika: habitat ideal di lahan antara 20o Lintang Utara dan 20o Lintang Selatan [wilayah tropis] pada ketinggian 400 – 600 m dpl, suhu lingkungan 27 – 30o C, curah hujan 1500 – 2500 mm/tahun.
Kopi ekselsa: habitat ideal di lahan antara 20o Lintang Utara dan 20o Lintang Selatan [wilayah tropis] pada ketinggian 0 – 700 m dpl, tahan suhu tinggi dan kekeringan.
Produksi biji kopi nasional sekarang ini diperkirakan mendekati 700 ribu ton/tahun, dengan proporsi 80 % [560 ribu ton] kopi robusta dan 20 % [140 ribu ton] kopi arabika. Hal ini terbalik dengan permintaan kopi global yang lebih banyak membutuhkan jenis kopi arabika. Karena itu, petani yang memiliki lahan cocok diarahkan untuk menanam kopi arabika lebih luas. Petani juga mulai belajar untuk mencari peluang segmen pasar premium dan spesialti. Keduanya segmen pasat itu semuanya berasal dari jenis arabika.
ANATOMI BUAH KOPI MATANG [MERAH]
Biji kopi mutu baik dihasilkan dari buah kopi siap panen dan mempunyai kulit luar berwarna merah. Buah kopi merah terdiri atas lapisan kulit buah terluar, daging buah, lendir, kulit tanduk, kulit ari dan biji kopi. Lapisan kulit dan daging buah yang masih dalam satu kesatuan disebut kaskara [Gambar 5].
Ukuran biji kopi memiliki korelasi positif dengan citarasa. Buah kopi petik merah akan menghasilkan ukuran biji kopi lebih besar daripada petik kuning. Jenis dan jumlah kandungan senyawa pembentuk citarasa pada biji kopi hasil petik buah merah dianggap sudah lengkap dan maksimal [4 kg/pohon]. [Gambar 6]. Selain itu, biji besar juga dikaitkan dengan ekosistem kebun yang cocok dan perawatan tanaman kopi yang lebih baik.
PANEN dan SORTASI BUAH KOPI
Proses kematangan buah kopi pada dahan-dahan tanaman tidak berlangsung bersamaan. Petani harus memetik buah secara bertahap. Panen awal adalah petik buah kopi hijau dan kuning yang terserang hama dan penyakit. Masuk masa panen raya, petik diharuskan secara selektif. Hanya buah kopi matang [warna merah] saja yang boleh dipetik dan membiarkan buah muda tetap di dahan untuk dipanen berikutnya [Gambar 7].
Pada akhir panen raya saat jumlah buah kopi di dahan tinggaldi bawah 10 %, petik buah dilakukan secara racutan. Campuran buah muda dan buah merah dipanen secara bersamaan. Diikuti dengan panen lelesan, memungut campuran buah yang jatuh ke tanah. Meskipun dalam jumlaah sedikit, buah inferior [warna hijau, kuning, hitam dan buah kopong] yang terikut hasil panen buah merah, harus disortir. Buah kopi merah kemudian dirambang dalam bak air. Buah merah kopong akan mengambang dan terpisah dari buah merah bernas yang terendam di dasar bak air [Gambar 8].
PENGOLAHAN BUAH KOPI HASIL SORTASI
Secara garis besar, metoda pengolahan buah kopi menjadi biji kopi kering dikelompokkan menjadi 3, yaitu, proses kering, proses basah dan proses semi basah [Gambar 9].
Proses kering [dry process] adalah metoda pengolahan buah kopi tanpa melibatkan air. Buah kopi hasil panen langsung dikeringkan secara alami di atas lantai penjemuran. Proses ini sering juga disebut Proses Natural dan awalnya diterapkan untuk mengolah campuran buah kopi hijau dan kuning. Namun dalam perkembangannya, buah merah bernas juga diproses secara natural. Buah kopi kering berwarna kehitaman disebut kopi gelondong kering. Berbeda dengan proses kering, proses basah [wet process] merupakan pengolahan buah kopi merah dengan menggunakan air secara intensif pada setiap tahapan prosesnya. Tahapan proses ini diawali dengan pengupasan kulit buah kopi terluar berikut dagingnya secara mekanik atau manual disertai guyuran air dalam jumlah yang cukup. Air berfungsi sebagai pelapis kulit tanduk dan biji tidak pecah oleh dinding silinder pengupas. Hasil proses ini adalah biji kopi berkulit tanduk yang masih diselimuti lapisan lendir [biji kopi HS basah].
Pada proses basah, proses fermentasi lapisan lendir di permukaan biji kopi HS basah dilakukan secara terkendali dalam suatu wadah atau bak dengan kisaran waktu antara 12 – 36 jam. Selama di dalam wadah fermentasi, biji kopi HS dibiarkan dalam kondisi tanpa penambahan air yang disebut fermentasi kering. Bisa juga secara fermentasi basah, biji kopi HS direndam dalam wadah berisi air. Selama di dalam wadah, lapisan lendir akan terkelupas menjadi partikel-partikel halus permukaan kulit tanduk. Setelah air rendaman dibuang, bak fermentasi diguyur dan dibilas beberapa kali dengan air bersih sampai permukaan kulit tanduk menjadi bersih dan berwarna putih. Proses pencucian ini juga bisa menggunakan perangkat mekanis dengan mesin disertai semprotan air [Gambar 10].
Metoda pengolahan kopi terus berkembang sesuai selera pasar dan tuntutan pelestarian lingkungan. Meskipun hasil mutu biji dianggap sangat baik, proses basah membutuhkan banyak air. Limbah proses basah berpotensi menimbulkan polusi lingkungan. Sebagai antisipasi, muncul proses pengolahan alternatif, yaitu proses kopi madu [honey process]. Jika proses fermentasi cara basah berlangsung di dalam bak, proses fermentasi sisa lendir biji kopi HS pada proses madu terjadi bersamaan dengan proses penjemuran. Senyawa organik [gula, protein, pektin] dalam sisa lendir akan mengalami reaksi fermentasi secara alami di lantai jemur. Tebal lapisan sisa lendir dan intensitas sinar matahari akan mempengaruhi warna kulit tanduk dan citarasa biji kopinya. Biji kopi madu hitam [black honey] dihasilkan dari biji kopi HS yang sisa lapisan lendir di dibiarkan paling tebal [utuh]. Waktu penjemuran menjadi lebih lama. Ketika sudah kering, warna permukaan biji kopi HS menjadi kehitaman.
Biji kopi madu merah [red honey] diperoleh dari biji kopi HS basah yang sisa lapisan lendir di permukaan kulit tanduknya sudah dikurangi tinggal 50 %. Biji kopi HS hasil penjemuran akan berwarna kemerahan [red honey]. Sedangkan, jika sisa lapisan lendir di permukaan kulit tanduk dibersihkan sampai batas minimalnya. Permukaan biji kopi HS hasil penjemuran menjadi bersih dan berwarna kekuningan [yellow honey], seperti halnya hasil pengolahan semi basah. Berbeda dengan proses madu, proses semi basah mengadopsi cara pengolahan basah dengan alur proses yang lebih pendek. Air digunakan dalam jumlah sangat terbatas saat pengupasan buah. Lapisan lendir pada biji kopi HS basah dikurangi secara mekanis, dengan mesin demusilager dan tanpa diikuti proses fermentasi dan pencucian. Biji kopi HS basah hasil demusilager langsung dikeringkan [Gambar 11].
Pengeringan adalah proses penguapan air dari dalam biji kopi dengan pemanasan sampai kadar air biji kopi menurun dan mencapai batas aman untuk penyimpanan dan pengangkutan ke konsumen. Faktor internal yang berpengaruh terhadap kecepatan pengeringan terkait sifat-sifat biji kopi adalah jenis kopi, massa buah/biji, kadar air awal dan ukuran buah/biji. Sedangkan, faktor eksternal atau dari luar biji meliputi suhu, kelembaban relatif, tekanan dan laju aliran udara dalam alat atau mesin pengering. Pengeringan kopi bisa dilakukan secara alami atau disebut cara penjemuran. Faktor eksternal pada cara ini hanya mengandalkan kondisi alami, yaitu radiasi matahari dan tiupan angin sekitar. Proses pengeringan berlangsung secara terputus [intermitent], hanya terjadi pada siang hari dan tergantung cuaca. Waktu pengeringan tidak bisa diprediksi secara akurat. Kinerja cara penjemuran bisa ditingkatkan dengan aplikasi meja pengering sebagai lantai jemur dan adopsi rumah kaca.
Beberapa kelebihan meja pengering adalah kandungan air permukaan biji kopi bisa tertiris lebih cepat, potensi kontaminasi benda asing lebih sedikit, secara ergonomis membantu pekerja untuk melakukan operasional pengeringan dan aliran udara luar lebih leluasa melewati biji kopi dari atas dan bawah meja. Kinerja meja pengering semakin baik bila dipasang dalam rumah kaca. Atap transparan rumah kaca berfungsi sebagai perangkat untuk konversi radiasi matahari menjadi energi panas. Gelombang elektromagnetik sinar surya yang menembus atap tersebut akan terjebak dan berubah menjadi radiasi gelombang panjang untuk pemanasan ruangan. Phenomena ini disebut sebagai efek rumah kaca. Suhu udara ruangan rumah kaca semakin meningkat dan akan mempercepat laju pengeringan biji kopi yang ada di dalamnya. Proses pengeringan biji kopi diakhiri saat kadar airnya sudah mencapai kisaran 12-13 %. Kadar air ini sudah masuk pada nilai kadar air kesetimbangan, yaitu 12,5 %. Suatu nilai kadar air di mana pada ruangan dengan kelembaban relatif udara 70 %, laju penguapan air [desorpsi] dan penyerapan air [adsorpsi] oleh biji kopi berlangsung secara seimbang [Gambar 12].
Dalam SNI biji kopi nomor 01-2907-2008, kadar air dimasukkan dalam kriteria umum dengan nilai maksimum 12,5 %. Nilai kadar air biji kopi 12,5 % adalah kadar air kesetimbangan di lingkungan dengan kelembaban relatif udara 70 %. Pada kadar air lebih tinggi dari nilai tersebut, biji kopi berpotensi mudah terserang jamur yang menyebabkan umur simpannya menjadi lebih pendek. Sebagai ilustrasi, umur simpan pada biji kopi kadar 15 % kurang dari 6 bulan. Jamur akan memanfaatkan air dalam biji kopi sebagai media tumbuh yang berakibat pada bau biji kopi menjadi apek. Air juga berperan dalam hidrolisis senyawa lemak dalaam biji kopi yang memunculkan bau tengik. Keduaya meruapakan cacat fisik yang menyebabkan citarasa kopi menurun. Sebaliknya, umur simpan biji kopi pada kadar air 10 % meningkat lebih lama. Namun, secara teknis, pengeringan sampai jauh di bawah kadar air dianggap tidak perlu. Karena, biji kopi tersebut akan menyerap kembali uap air dari udara sekelilingnya dan kembali ke nilai kadar air kesetimbangannya. Secara ekonomis, pengeringan biji kopi sampai jauh di bawah 12 % berdampak pada peningkatan biaya dan waktu operasionalnya, serta bobot hasil biji kopi beras keringnya saat dijual menjadi lebih sedikit.
Setelah proses pengeringan, biji kopi gelondong dan biji kopi HS dikupas kulit luarnya untuk menghasilkan biji kopi kering tanpa kulit. Dalam perdagangan, biji kopi kering sering disebut juga biji kopi beras atau biji kopi ose. Proses pengupas biji kopi gelondong dan biji kopi HS disebut “huller” [Gambar 13]. Dalam bahasa dagang populer disebut mesin gerbus. Di wilayah pengasil kopi Sumatera Utara dan Takengon, para petani atau pedagang pengumpul mengupas biji kopi HS setengah basah atau sering disebut “wet hulling”. Biji kopi HS saat kadar air biji kopi masih di kisaran 22 – 24% dikupas dengan “huller” khusus. Hasil proses ini adalah biji kopi setelah kering yang kemudian dikeringkan lanjut sampai biji kopi beras kering. Dengan proses ini, warna biji kopi menjadi kebiruan mirip warna kulit telur bebek. Pengupasan setengah basah ini umumnya hanya diterapkan untuk biji kopi HS hasil olah basah atau setengah basah dan jarang diaplikasikan pada kopi gelondong kering hasil olahan proses natural.
SORTASI BIJI KOPI
Atas Dasar Ukuran Biji
Kriteria mutu yang termasuk dalam syarat khusus dalam SNI adalah ukuran bij kopi. Secara alami hasil panen kopi akan menghaasilkan ukuran buah bervariasi mulai yang ukuran kecil, sedang dan besar. Untuk itu, biji kopi hasil panen harus melewati tahap sortasi untuk memilah dan mengelompokan menjadi 3 ukuran yang seragam [Gambar 14].
Untuk biji kopi arabika, ayakan terdiri atas 3 tingkat; lubang saringan ayakan paling atas 7 mm [A], diikuti lubang saringan ayakan tengah 6 mm [B] dan lubang saringan ayakan 5 mm [C] dan paling bawah berfungsi sebagai penampung kotoran. Saat vibrator dihidupkan, umpan biji kopi dimasukkan dari ujung ayakan paling atas. Biji ukuran besar akan tertinggal di atas ayakan paling atas, biji ukuran medium tertahan di ayakan tengah dan biji ukuran kecil akan lolos lubang ayakan paling bawah. Kualitas biji kopi dianggap baik jika persentase biji ukuran besar [ukuran A] makin tinggi. Selain faktor genetik, ukuran biji kopi terkait dengan kematangan buah dan pemeliharaan tanaman. Buah matang penuh akan menghasilkan ukuran biji maksimal. Demikian juga, tanaman kopi yang dirawat dengan baik akan memproduksi biji yang lebih besar. Pada biji kopi berukuran besar, senyawa-senyawa pembentuk citarasa kopi sudah mencapai kandungan yang maksimal.
Atas Dasar Cacat Biji
Cacat warna, bau dan bentuk isa diamati secara visual dan dengan indera penciuman. Cacat warna dan bau apek umumnya terjadi akibat serangan jamur. Penjemuran moderat dan terkontrol akan mencegah bau tersebut dan menghasilkan warna biji kopi biru-keabuan [grayish-blue] dan atau hijau-keabuan [grayish-green]. [Gambar 15].
Warna biji kehijauan memberikan sensasi citarasa yang seimbang [well-balanced] antara keasaman [acidity], sensasi bodi dominan [full body], rasa kopi dominan dan tidak menyebabkan rasa pertinggal [aftertaste] yang mengganggu. Warna kecoklatan [brownish] disebabakan oleh pengeringan terlalu cepat atau petik buah muda. Warna biji ini memberikan citarasa seduhan bodi ringan, kurang asam dan rasa kopi yang rendah. Selain itu, cacat warna, bau dan cacat fisik pada biji kopi bisa terjadi di kebun dan saat pengolahan [Gambar 16].
Peringkat mutu biji kopi regular ditentukan atas dasar temuan jenis dan jumlah biji cacat. Nilai dari setiap temuan jenis cacat dalam sampel dihitung sesuai aturan dalam SNI [Tabel 1].
Pada Tabel 2 ditunjukkaan perhitungan perhitunggan jenis dan jumlah biji cacat pada sampel biji kopi. Akumulasi jumlah nilai cacat pada sampel tersebut adalah 45,1, maka menurut Tabel 3, biji kopi yang sedang dinalisis tergolong peringkat mutu 4-A.