POHON PISANG SEBAGAI PENAUNG TANAMAN KAKAO
Sri Mulato [cctcid.com]
PENDAHULUAN
Tanaman kakao [Theobroma cacao] termasuk tumbuhan hijau tipe C3. Mengandung enzim rubisco. Enzim kunci untuk fiksasi CO2 dari udara ke dalam daun melalui proses fotosintesis. Klorofil dalam daun menyerap cahaya matahari untuk mengubah H2O [dari tanah] dan CO2 [dari udara]. Menghasilkan C6H12O6 [gula glukosa] disertai pelepasan gas O2. Glukosa dimanfaatkan oleh tanaman sebagai sumber energi untuk pertumbuhan melalui proses respirasi dibarengi pelepasan gas CO2. Fotosintesis dan respirasi berlangsung secara timbal-balik [Gambar 1].
Gambar 1. Proses fotosintesis dan respirasi pada tumbuhan.
Idealnya, laju fotosintesis lebih besar daripada laju respirasi untuk menjamin tanaman tumbuh dan berproduksi secara optimal. Daun tanaman kakao hanya sedikit memiliki jumlah klorofil. Fotosintesisnya terjadi pada suhu rendah [29 – 33 °C]. Suhu daun meningkat saat terpapar sinar matahari langsung. Mendorong laju respirasi lebih cepat. Menyerap sekitar 20 – 50 % dari total hasil fotosintesis. Menyebabkan tanaman kakao tumbuh kurang normal. Laju respirasinya perlu dibatasi melalui reduksi paparan sinar matahari ke daun pohon kakao. Tanaman kakao muda dan belum menghasikan buah [TBM] hanya perlu penyinaran 25 – 35 % dari total radiasi matahari. Saat, kebutuhan penyinaran meningkat 50 – 70 %, saat tanaman mulai menghasilkan [TM]. Pohon penaung jenis pisang dianggap bisa berfungsi sebagai tanaman penaung. Selain mudah tumbuh, secara ekonomis pohon pisang bisa menambah pendapatan petani.
TANAMAN PISANG
Morfologi
Pohon pisang termasuk tanaman cepat tumbuh. Mampu menghasilkan buah dalam 1 tahun setelah tanam. Batang pisang [Musa spp] memiliki penampang silindris [diameter 20 – 25 cm]. Bersifat lunak karena tidak berkayu. Batang merupakan perpanjangan pelepah daun membentuk struktur batang semu. Tersusun atas 3 lapisan, yaitu lapisan dalam, tengah dan luar. Ujung ketiganya terikat pada batang sejati [bonggol] berakar serabut. Menjalar di zona 60 cm dari permukaan tanah [Gambar 2].
Gambar 2. Morfologi tanaman pisang.
Siklus hidup pohon pisang mengikuti 3 tahapan, yaitu pertumbuhan vegetatif, pembungaan dan pembuahan. Ketiganya membutukan waktu 6 sampai 12 bulan. Pohon pisang berbuah sekali dan kemudian mati. Digantikan anakannya secara vegetatif dari permukaan rimpang. Tunas ini tumbuh secara bergantian selama siklus hidupnya, tidak tergantung musim. Selama 5 – 6 bulan daun dan batang akan terbentuk. Setiap minggu dihasilkan satu daun. Setelah pertumbuhan vegetatif selesai, muncul bunga berwarna merah-kecoklatan. Buah pisang akan matang 15 – 21 minggu setelah bunga muncul.
Pohon Penaung
Sistem agroforestri tanaman kakao sudah dipratekkan secara luas oleh petani. Meskipun belum tertata secara baik. Kombinasi tanaman kakao, pohon pisang dan tanaman tahunan tumbuh berdampingan di lahan petani [Gambar 2].
Gambar 3. Agroforestri kakao, pisang dan tanaman tahunan.
Agroforestri kakao terdiri atas pohon kakao sebagai tanaman pokok. Pohon pisang berperan sebagai penaung sementara dan tanaman tahunan berfungsi sebagai penaung tetap. Idealnya, pola tanam ketiganya ditata seperti disajikan pada Gambar 4 berikut,
Gambar 4. Tata letak tanaman pada budidaya agroforestri kakao.
Tata letak ini memungkinkan diadopsi pada lahan kakao yang baru akan dibuka. Sambil menunggu pembibitan kakao siap tanam [kira-kira 6 bulan], lahan mulai ditanami pohon pisang dengan jarak 3 x 3 meter. Deretan pohon pisang nantinya berfungsi sebagai tanaman pelindung sementara [kotak biru]. Saat bibit kakao siap tanam, pohon pisang sudah tumbuh dan mulai berbunga. Bibit kakao disisipkan di antara pohon pisang untuk mendapatkan naungan kira-kira 25 – 35 % dari total sinar surya. Nilai ini bisa dipenuhi oleh pohon pisang yang berdaun lebar. Fungsi pohon pisang sebagai penaung dipertahankan sampai bibit kakao tumbuh besar dan mulai menghasilkan buah [TM].
Setelah berbuah, pohon pisang akan mati. Fungsi naungan digantikan oleh anakan pohon pisang yang tumbuh berikutnya. Secara berurutan, siklus ini berlangsung sampai turunan pisang ketiga [3 tahun]. Setelahnya, fungsi penaung dari anakan pisang mulai tidak efektif. Karena ketinggian tajuk anakan pohon pisang dan tanaman kakao muda sudah setara. Namun, tanaman pisang masih dipertahankan sebagai tanaman tumpang sari. Fungsi naungan diambil alih oleh tanaman tahunan yang bersifat permanen. Pohon penaung tetap ditanam bersamaan masa tanam bibit kakao. Diposisikan secara diagonal antar pohon kakao dengan jarak tanam kira-kira 4 x 6 meter [kotak kuning]. Fungsi naungan tetap mulai berperan saat pohon kakao sudah memasuki fase menghasilkan buah [TM]. Kanopi tanaman tahunan mampu menyaring paparan sinar matahari ke tanaman kakao sebanyak 50 – 70 %.
MANFAAT EKONOMIS
Bagi pelaku budidaya tumpang sari kakao – pisang, manfaat ekonomi pohon pisang sebetulnya sudah mulai dirasakan petani sejak tanaman kakao belum menghasilkan [TBM]. Petani dapat memanen buah pisang setiap 15 hari. Petani kakao memperoleh pendapatan awal dari penjualan buah pisang. Populasi tanaman pisang per hektar rata-rata 400 rumpun. Setelah tanaman kakao menginjak masa produktif [TM], petani kakao secara rutin akan memperoleh pendapatan ganda per tahun sebesar 700 – 800 kg biji kakao kering plus 4.000 – 6.000 tandan buah pisang.
MANFAAT TEKNIS
Mulsa dan kompos merupakan unsur penting pada pertanian berkelanjutan. Pohon pisang setelah ditebang mensisakan limbah dalam bentuk batang, daun dan pelepah. Ketiganya berpotensi dijadikan mulsa dan kompos. Mulsa memanfaatkan hasil tebangan pohon pisang. Sedangkan, kompos diperoleh melalui proses mikrobiologis limbah tanaman pisang. Sifat fisik dan kimiawinya telah berubah secara signifikan. Perbedaan tersebut menjadikan fungsi dan aplikasi mulsa dan kompos untuk tanaman kakao dilakukan pada saat yang berlainan.
Mulsa Tanah
Saat sudah ditebang, pohon pisang meninggalkan limbah berupa batang [gedebog] dan daun. Berat per batang pisang berkisar antara 20 sampai 40 kg. Proporsi daun dan pelepah pisang kurang-lebih 50 % dari batangnya. Kadar air keduanya antara 80 sampai 90 %. Limbah batang dan daun pisang dipotong-potong menjadi ukuran lebih kecil. Kemudian, dihamparkan menutupi tanah di sekitar batang pohon kakao. Mulsa kira-kira seluas proyeksi bayangan tajuk pohon kakao [Gambar 5].
Gambar 5. Mulsa batang dan daun pisang pada pohon kakao.
Mulsa berperan menahan paparan sinar matahari ke permukaan tanah di sekitar pohon kakao. Menjadikan tekstur tanah tetap lembab dan gembur. Mulsa juga berfungsi menahan pertumbuhan gulma sekitar pohon. Mulsa bisa bertahan dalam waktu lama. Batang pisang mengandung senyawa selulosa, hemiselulosa dan lignin. Ketiganya tidak mudah terdegradasi secara alami di permukaan tanah. Mulsa bisa bertahan selama 3 bulan sampai 1 tahun. Selulosa cenderung terurai lebih lambat daripada hemi-selulosa. Lignin merupakan senyawa yang paling sulit terurai. Selama proses mulsing, berbagai jenis mineral, seperti kalium, kalsium, fosfor dan nitrogen akan terlepas dari mulsa dan diserap oleh akar pohon kakao sebagai sumber nutrisi.
Kompos
Pengomposan adalah proses dekomposisi aerobik biomassa oleh mikroba secara terkendali. Beberapa jenis mikroorganisme yang terlibat aktif dalam proses pengomposan adalah bakteri, jamur, ragi, laktobasilus dan aktinomises. Mikroorganisme akan mengurai senyawa organik komplek dalam biomassa menjadi senyawa sederhana. Senyawa ini mudah diserap oleh akar tumbuhan.
Batang pisang tersusun dari berbagai unsur mineral, seperti nitrogen [4,48 %], karbon [23,95 %], fosfor [0,1 %], kalium [0,81 %] dan kalsium [5,62 %]. Senyawa organik komplek dalam biomassa adalah selulosa [63 %], hemiselulosa [20 %] dan lignin [5 %]. Rasio C/N dalam batang pisang segar antara 30 : 1 sampai 40 : 1. Suatu indikasi bahwa batang pisang kaya unsur karbon [C], namun miskin unsur N. Unsur C merupakan sumber energi mikroba untuk berkembang biak. Sedangkan, unsur N diperlukan sebagai sumber nutrisi untuk merangsang perkembangan mikroba lebih cepat. Dalam skala praktek, pengomposan batang pisang perlu ditambah unsur N, salah satunya berasal dari kotoran hewan [sapi].
Proses pengomposan dilakukan dalam kotak papan kayu. Kapasitas dan ukuran kotak disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing petani. Salah satu ukuran yang umum adalah lebar 80 cm, panjang 150 cm dan tinggi 50 cm. Antar papan diberi celah antara 5 – 10 mm untuk akses oksigen masuk ke dalam kotak [Gambar 6].
Gambar 6. Tahapan proses pengomposan batang pisang.
Pengomposan batang pisang mengikuti tahapan sebagai berikut,
Pencacahan Batang Pisang
Batang pisang dipotong-potong menjadi ukuran kecil, antara 5 – 10 cm. Kemudian dimasukkan dalam kotak pengompos.
Penambahan Kotoran Sapi
Kotoran sapi ditambahkan ke dalam kotak dengan perbandingan 1 : 2. Keduanya dicampur sampai homogen.
Proses Pengomposan
Selama pengomposan terjadi dekomposisi mikro-biologis aerobik. Degradasi dimulai dari senyawa organik sederhana [glukosa]. Disertai pelepasan energi panas. Indikator proses pengomposan adalah perubahan suhu dan sifat fisik biomassa dalam kotak, seperti berikut,
Minggu pertama: proses dekomposisi biomassa diawali oleh mikroba jenis mesofilik saat suhu biomassa masih rendah, sekitar 27 oC. Aktivitas mikroba jenis ini menghasilkan panas. Menyebabkan suhu biomassa merangkak naik mencapai 35 oC di akhir minggu pertama. Air dalam biomassa perlahan mulai menguap. Kadar air biomassa yang semula 80 turun menjadi 70 %. Warna biomassa belum berubah secara nyata. Terdapat spot-spot warna hitam yang berasal dari kotoran hewan sapi
Minggu kedua: mikroba termofilik mulai aktif. Ditandai dengan peningkatan suhu biomassa menjadi 40 °C. Terjadi penguapan air lebih banyak. Kadar air biomassa turun lagi menjadi 50 %. Warna biomassa berubah menjadi kecoklatan. Warna ini muncul akibat penguraian biomassa berkadar karbon tinggi.
Minggu ketiga: suhu biomassa mencapai maksimum 45 oC. Kadar air relatif stabil pada 45 %. Senyawa organik komplek mulai terurai. Warna biomassa berubah kehitaman akibat pembentukan senyawa asam humat. kemampuan tanah untuk menahan unsur hara menjadi lebih baik. Selain itu, asam humat juga meningkatkan kemampuan tanah dalam menahan air.
Minggu keempat: suhu kompos cenderung menurun. Suatu indikasi bahwa proses pengomposan mendekati fase akhir.Warna kompos makin hitam. Ukuran partikel kompos makin mengecil. Akibat senyawa komplek berrantai karbon panjang terpotong menjadi rantai pendek. Reduksi ukuran partikel kompos juga disebabkan oleh perlakuan mekanik [pengadukan] selama pengomposan. Ukuran partikel kompos tereduksi menjadi lebih halus.
Fase pematangan adalah tahap akhir proses pengomposan. Hasil kompos dikeluarkan dari kotak dan dihamparkan di atas terpal selama beberapa hari. Membiarkan suhu kompos dingin mendekati suhu lingkungan. Kadar air kompos juga menurun sampai 25 %. Kompos matang siap diaplikasikan di lahan kakao. Waktu proses pengomposan batang pisang berkisar antara 4 sampai 5 minggu. Terjadi susut bobot [rendemen] biomassa yang semula 350 kg menjadi 100 kg kompos matang atau 30 %..
Aplikasi Kompos Di Kebun Kakao
Kompos batang pisang mengandung N [4,48 %], P [0,1 %], K [1,81 %] dan Ca [5,62 %] dan C/N rasio [5,35]. Kandungan C-organik sekitar 29,7 %. Kandungan ini memenuhi standar minimal pupuk organik padat, yaitu minimal 15% sesuai Permentan Nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011.
Limbah batang pisang yang dihasilkan dari satu hektar lahan tumpang sari kakao – pisang mencapai sekitar 40 ton. Jumlah ini bisa bervariasi tergantung pada jarak tanah dan jenis pohon pisang. Dengan rendemen pengomposan 30 %, maka potensi hasil kompos sebanyak 40 ton batang pisang x 30 % = 12 ton per tahun per hektar. Aplikasi dosis kompos untuk tanaman kakao berkisar antara 5 – 10 ton per hektar per tahun. Waktu aplikasi kompos 2 kali dalam setahun. Masih ada sisa kompos yang bisa digunakan untuk tanaman lainnya dalam kebun atau dijual.
PENUTUP
Tumpang sari kakao dan pisang memiliki beberapa manfaat. Tanaman pisang dapat memberikan naungan pada awal penanaman kakao [TBM]. Juga memberikan pendapatan tambahan dari hasil penjualan buah pisang. Saat tanaman kakao sudah memasuki masa menghasilkan [TM], pohon pisang masih bisa dipertahankan sebagai tanaman tumpangsari. Limbah pohon pisang bisa dimanfaatkan sebagai mulsa pohon kakao dan bahan baku produksi kompos.
DAFTAR BACAAN
Cha., S.R.O.S [2024]. Analysis Nutrient Content of Stem Banana Compost as Organic Fertilizer [2024]. Jurnal Agronomi Tanaman Tropika. Vol. 6 No. 1 January 2024.
Evizal, R and F. E. Prasmatiwi [2024]. Bananas Intercropping Effects on Cocoa Yield and Land Productivity. 7th International Conference on Sustainable Agriculture 2024.
Meilani., S. S & N. Eka. Susyan [2021]. Pemanfaatan Kembali Limbah Batang Pisang Menjadi Kompos. Agroindustrial Technology Journal Vol.5 No.2 (2021) 13-26.
Pranata., I. K. A [2022]. Effect of Adding Cow Manure on Compost Quality on Banana Stalk Composting. JURNAL BETA (Biosistem Dan Teknik Pertanian Program Studi Teknik Pertanian, Volume 10, Nomor 1, bulan April 2022.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70/Permentan/Sr.140/10/2011 Tentang Pupuk Organik, Pupuk Hayati Dan Pembenah Tanah
Salaza., J. Carlos. S, [2018]. Photosynthesis limitations in cacao leaves under different agroforestry systems in the Colombian Amazon. PLOS ONE Journal. November 1, 2018.
Sri Mulato [2023[. Pengomposan Limbah Biomassa. https:// www. cctcid.com/
Yaser., A. Z [2016]. Composting paper and grass clippings with anaerobically treated palm oil mill effluent. International Journal Of Recycling of Organic Waste in Agriculture 5 (3).
=====O=====