KADAR ASAM LEMAK BEBAS [FFA] BIJI KAKAO.
DARI KEBUN SAMPAI PRODUK COKELAT
[FROM FARM TO BAR]
Sri Mulato [cctcid.com]
PENDAHULUAN
Lebih dari 50 % biji kakao adalah lemak kakao. Populer disebut “cocoa butter” [CB]. Merupakan komponen termahal dalam biji kakao. Digunakan sebagai bahan baku utama makanan cokelat dan kosmetika. Salah satu persyaratan mutu CB adalah kandungan asam lemak bebas atau Free Fatty Acid [FFA]. Kadar FFA dalam CB dibatasi maksimum 1,75 % [ekivalen asam oleat]. Nilai ini diatur dalam dalam SNI: 3748-2009 maupun standar UE 2000/36/EC. Lebih tinggi dari batasan ini, FFA berdampak negatif pada produk cokelat, antara lain beraroma tengik, sensasi “aftertaste” kurang nyaman [serak di tenggorokan], umur simpan pendek dan menyebabkan gangguan kesehatan. FFA termasuk asam karboksilat. Hasil hidrolisis trigliserida lemak kakao melalui reaksi enzimatik lipase. Ada 2 sumber enzim lipase, yaitu, sumber endogenik [bawaan alami biji kakao] dan sumber eksogenik [kontaminasi lipase dari luar biji]. Terjadi saat proses pascapanen dan penyimpanan.
PEMBENTUKAN FFA PADA CB
CB dihasilkan dari proses pengempaan bertekanan tinggi pada biji kakao. Cairan kental berwarna jernih kekuningan. Memadat pada suhu kamar dan mencair pada suhu tubuh. Secara kimiawi, lemak kakao terikat pada molekul senyawa trigliserida atau sering disebut triasilgliserol [TAG]. Senyawa ini merupakan hasil reaksi kondensasi antara 1 molekul gliserol dan 3 molekul asam lemak. Ketiganya berasal dari 1 asam lemak tidak jenuh [asam oleat] dan diapit oleh 2 asam lemak jenuh [asam palmitat dan stearat]. Reaksi hidrolisis-enzimatik lipase menyebabkan trigliserida CB terurai menjadi 1 molekul FFA jenis oleat dan digliserida [Gambar 1].
Gambar 1. Reaksi pembentukan FFA CB lewat hidrolisis-enzimatik trigliserida.
SUMBER FFA
Biji kakao rentan terhadap kontaminasi jamur penghasil enzim lipase. Setiap tahapan proses buah kakao mulai dari prapapen, panen sampai pascapanen melibatkan jamur penghasil enzim lipase [Gambar 2].
Gambar 2. Tahapan panen dan pascapanen buah kakao.
Pra-Panen Dan Panen
FFA hadir secara alami dalam CB sejak buah masih di pohon. Biji kakao telah mengandung enzim lipase endogenik. Pada buah sehat, konsentrasi enzim lipase sangat rendah. Kadar FFA biji kakao hasil panen buah sehat hanya 0,2 %. Kontaminasi jamur mulai terjadi ketika buah di pohon terserang hama dan penyakit. Serangga “helopeltis” dan jamur “phytophthora” merusak biji dalam buah. Warna biji sehat yang semula putih berubah kehitaman [Gambar 3].
Gambar 3. Tampilan biji kakao rusak [kiri] dan biji kakao sehat [kanan].
Biji kakao warna hitam merupakan sarang berbagai jenis jamur. Paling tidak ada 10 jenis jamur berkembang pada biji hitam. Sedangkan, biji kakao berwarna putih hanya ditumbuhi oleh 2 jenis jamur [Tabel 1].
Tabel 1. Jenis jamur pada biji kakao warna hitam dan warna putih.
Sepuluh jenis jamur pada biji kakao hitam adalah penghasil enzim lipase. Menyebabkan kadar FFA bisa mencapai 6,5 %. Biji hitam tidak layak diolah lanjut menjadi bahan baku produk cokelat. Hanya cocok dibuat kompos. Dikubur dalam tanah sekalian untuk memutus siklus hidup hama dan penyakit tanaman kakao. Biji kakao putih hanya terkontaminasi oleh 2 jenis jamur, yaitu “Mucor sp. dan Rhizopus sp”. Keduanya bukan penghasil enzim lipase. Kadar FFA biji putih hanya 0,2 %. Itupun bawaan sejak dari buah. Biji kakao putih bisa diolah lanjut.
Fermentasi
Warna putih pada biji kakao sehat berasal dari lapisan lendir [pulpa]. Lapisan ini mengandung senyawa gula cukup tinggi [8 %]. Bermanfaat sebagai substrat makanan mikroba selama proses fermentasi. Proses ini umumnya dilakukan dalam kotak papan kayu selama 5 hari berurutan. Berlangsung reaksi bio-kimiawi dalam 3 tahapan. Pada hari pertama, senyawa gula diurai oleh khamir [yeast] secara an-aerobik. Terbentuk alkohol, gas CO2 dan H2O. Disertai pelepasan energi panas sebesar 93 kJ per mol gula. Suhu tumpukan biji meningkat dari 25 ke 35 oC. Khamir termasuk mikroba penghasil enzim lipase. Kadar FFA pada biji kakao selama hari pertama fermentasi terukur 0,30 %. Tebal lapisan pulpa berangsur menipis. Memudahkan oksigen dari udara menembus tumpukan biji kakao dalam kotak.
Reaksi fermentasi pada hari kedua-ketiga berlangsung secara aerobik. Mikroba lakto dan asetobakter menjadi aktif. Mengoksidasi alkohol menjadi asam laktat dan asam asetat. Disertai pelepasan panas sebesar 493 kJ per mol. Suhu fermentasi meningkat hingga 45 – 47 °C. Lakto bakter termasuk penghasil enzim lipase. Kandungan FFA naik menjadi 0,50 %. Pembentukan FFA berlanjut sampai hari ke lima. Kadar FFA biji mendekati 0,80 %. Warna keping biji kakao yang semula ungu berubah jadi coklat. Intensitas cita rasa cokelat terasa makin tajam. Perpanjangan waktu fermentasi lebih 5 hari tidak diperlukan. Berpotensi meningkatkan kandungan FFA terus bertambah hingga 1,20 %.
Pengeringan
Pengeringan ditujukan untuk menurunkan kandungan air biji kakao hasil fermentasi yang semula 55 % menjadi tinggal 7 %. Biji kakao kering aman disimpan di gudang. Sambil menunggu pengiriman ke industri untuk diolah lanjut menjadi produk cokelat. Terdapat 2 model pengeringan yang umum diterapkan oleh petani kakao. Cara pertama adalah penjemuran terbuka [sun drying]. Biji kakao dihamparkan di permukaan lantai semen atau lembaran plastik terpal. Tebal lapisan biji kakao di permukaan lantai kurang-lebih 5 cm atau setara 15 kg biji per m2 luas lantai jemur. Biji kakao rentan terpapar jamur penghasil enzim lipase yang terbawa oleh kotoran ternak, unggas dan debu. Terjadi fluktuasi kadar FFA biji kakao secara tidak terkontrol. Cara kedua iyalah penjemuran tertutup [solar drying]. Hamparan biji setebal 5 cm diletakan di meja pengering di dalam rumah kaca [Gambar 4].
Gambar 4. Penjemuran biji kakao terbuka dan tertutup.
Kedua cara tersebut memanfaatkan sinar matahari sebagai sumber panas untuk penguapan air. Terpaan angin menyebabkan suhu biji di tempat terbuka tidak stabil. Cenderung mendekati suhu udara lingkungan. Pada penjemuran tertutup, panas terperangkap dan terkungkung dalam ruangan. Akumulasi panas mampu menaikkan suhu udara ruangan hingga 50 oC. Waktu pengeringan biji kakao dalam rumah kaca lebih pendek [Gambar 5].
Gambar 5. Kurva penurunan kadar air biji kakao di tempat terbuka dan tertutup.
Pada cuaca cerah, biji kakao di penjemuran terbuka baru kering pada hari ke-8. Sedangkan, biji kakao dalam ruang tertutup sudah kering pada hari ke-5. Kadar FFA biji kakao bisa dipertahankan pada nilai 1,70 %. Masih di bawah toleransi. Secara visual, tampilan biji kakao nampak bersih. Pada musim hujan, waktu pengeringan terbuka berlangsung hingga 10 hari. Kadar FFA biji kakao naik mendekati 2,70 %. Tampilan biji kering cenderung kusam terlapisi oleh jamur berwarna putih. Saat cuaca ekstrim basah, biji kakao ditumpuk di tempat teduh dan ditutup lembaran terpal supaya tidak terpapar air hujan. Proses pengeringan terhenti. Kondisi sangat lembab. Menyebabkan kandungan FFA biji kakao naik drastis hingga 6,80 %. Disertai munculnya bau amis [hummy] akibat degradasi protein dalam biji. Warna biji kakao berubah kehitaman [Gambar 6].
Gambar 6. Tampilan biji kakao kering pada berbagai kadar FFA.
PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN
Pengemasan dan penyimpanan merupakan tahap akhir dari serangkaian proses pascapanen buah kakao. Aspek penting dalam penyimpanan biji kakao adalah kadar air, jenis kemasan dan kondisi ruang simpan. Kadar air biji kakao kering saat masuk gudang harus sudah mencapai 7 %. Nilai ini disebut kadar air kesetimbangan. Indikator bahwa laju penguapan air dari biji setara dengan penyerapan air dari udara. Biji sudah stabil dan siap dikemas. Jenis kemasan biji kakao kering tergantung pada skala usaha kakao di suatu wilayah produksi. Dikenal 3 strata bisnis kakao, yaitu petani, pedagang pengumpul desa dan pengumpul kota. Petani hanya mampu menyimpan biji kakao sebanyak 50 – 60 kg per panen. Biji dikemas dalam karung plastik bekas ukuran 25 kg dan disimpan di ruangan seadanya. Terdeteksi jamur penghasil FFA antara 6 – 7,5 CFU/ml sampel uji. Pedagang desa mengumpulkan biji kakao dari beberapa petani. Kapasitas bisnisnya lebih besar. Sebagian dari mereka sudah menggunakan kemasan karung ukuran 60 kg. Manajemen penyimpanan belum diterapkan dengan baik. Masih dijumpai karung goni sobek dan tertetes air hujan dari atap gudang yang bocor. Jamur penghasil enzim lipase terukur 9 CFU/ml sampel uji. Berdampak pada peningkatan FFA hingga 7 %.
Pedagang kota mengelola gudang lebih baik. Kelembaban relatif [Rh] gudang dijaga pada 70 % lewat pengaturan ventilasi dan penyinaran ruangan gudang. Biji kakao kering dikemas dalam karung goni yang bersih dan utuh. Beberapa karung ditumpuk dan disangga palet papan kayu. Tidak terjadi “rewetting” [pembasahan ulang] biji kakao oleh uap air dari permukaan lantai semen]. Pertumbuhan jamur bisa ditekan sampai 4 CFU/ml sampel. Peluang munculnya FFA pada biji kakao jauh lebih kecil [Gambar 7].
Gambar 7. Tampilan pengemasan biji kakao di tingkat petani, pedagang desa dan kota.
COKELAT “BLOOMING”
Istilah ini merupakan penanda cacat fisik produk cokelat. Terjadi setelah produk disimpan beberapa lama pada suhu ruangan yang hangat [25 – 30 oC]. Secara visual, permukaan produk cokelat muncul noda bintik-bintik atau bulatan berwarna putih. Terkesan produk telah terinfeksi jamur dan tidak layak dikonsumsi. Fenomena ini disebut “fat bloom” [partikel lemak merembes ke permukaan produk] atau “sugar bloom” [partikel gula mendifusi ke permukaan produk]. Akibat peristiwa fisika yang disebut “eutektik”. Titik leleh lemak kakao menurun setelah tercampur lemak jenis lain. Kandungan FFA di atas 2 % dapat mempengaruhi kinetika kristalisasi padatan lemak kakao [Solid Fat Content]. Proses kristalisasi lemak kakao tertunda [delayed] lebih lama. Lemak kakao menjadi lembek. Sementara, bahan non-lemak, seperti partikel gula, kakao dan susu masih berbentuk padat. Ketiganya kemudian memiliki kesempatan bermigrasi ke permukaan produk. Memunculkan jejak noda berwarna putih saat produk kembali mengeras di suhu simpan yang dingin [Gambar 8].
Gambar 8. Mekanisme pembentukan “fat dan sugar bloom” pada produk cokelat.
“Blooming” merupakan fenomena fisik yang bersifat dapat-balik [reversibel]. Noda putih bisa dihilangkan melalui proses tempering ulang. Setelah dicetak dan disimpan di ruang dingin, produk hasil cetakan akan terbebas dari bintik dan noda putih. Bisa dikonsumsi lagi tanpa berdampak negatif pada kesehatan.
PENUTUP
Salah satu persyaratan penentu kualitas lemak kakao adalah kandungan asam lemak bebas [FFA]. SNI: 3748-2009 maupun standar UE 2000/36/EC menetapkam kadar FFA lemak kakao maksimum 1,75 %. FFA adalah bawaan biji kakao sejak masih dalam buah di pohon. Kadar FFA biji kakao terukur hanya 0,2 %. Meningkat sampai 1,6 % setelah biji kakao melewati tahapan proses pascapanen yang terkontrol. Pada proses pacapanen yang tidak terkendali, kadar FFA biji bisa melonjak hingga 6,80 %. Keberadaan FFA dalam biji kakao lebih dari 2 % berdampak negatif pada cita rasa, aroma, umur simpan produk cokelat dan kesehatan pada konsumen cokelat.
SUMBER BACAAN
Copetti., M,I [2014]. Fungi and mycotoxins in cocoa: From farm to chocolate. International Journal of Food Microbiology 178 (2014) 13–20.
Guehi., T.S [2010]. Performance of different drying methods and their effects on the chemical quality attributes of raw cocoa material. International Journal of Food Science and Technology 2010, 45, 1564–1571.
Robert.A,.et-al [2018]. Effect of Reconditioning of Discrepant Cocoa on the Quality of Cocoa Beans. Food Sci Nutr Technol 2018, 3(5).
Stéphanie, P.J., et-al; [2023]. Free Fatty Acids and Cocoa Butter Quality Traits: Causes and Impact on Consumers’ Health. Journal of Advances in Microbiology. 2023 – Volume 23 [Issue 3]
Widi Amaria, Tajul Iflah dan Rita Harni [2014]. Dampak Kerusakan Oleh Jamur Kontaminan Pada Biji Kakao Serta Teknologi Pengendaliannya. Bunga Rampai: Inovasi Teknologi Bioindustri Kakao. Repository.pertanian.go.id.
=====O=====