Blog

Get informed about our latest news and events

Pengembangan Teknologi Pascapanen Pendukung Upaya Peningkatan Mutu Kakao Nasional

Pengembangan Teknologi Pascapanen

Pendukung Upaya Peningkatan Mutu Kakao Nasional

Sri Mulato

[cctcid.com]

PENDAHULUAN

Analisis daya saing ekspor beberapa komoditas pertanian dengan berbagai pendekatan parameter komparatif, trade mapping, tren pertumbuhan, kontribusi devisa dan sebaran geografis menunjukkan bahwa salah satu komoditas yang memiliki indeks komposit daya saing tertinggi dan mempunyai prospek untuk dikembangkan secara nasional adalah kakao [Sufri, 2007; Faisal Assad., et-al., 2009]. Oleh karena itu, Kementerian Pertanian telah menetapkan kakao sebagai salah satu komoditas unggulan dari sub-sektor perkebunan. Eksistensinya akan terus dipertahankan dan bahkan akan diperluas di masa datang, antara lain melalui Program Gernas.

Pengguna terbesar biji kakao adalah industri makanan dan minuman yang makin tumbuh akibat pertambahan penduduk dan kesejahteraan masyarakat. Kedua industri ini menetapkan berbagai syarat yang ketat dari aspek citarasa, keamanan pangan, rendemen hasil pengolahan dan kemudahan proses produksi [process ability]. Persyaratan-persyaratan tersebut sebenarnya sudah tercakup dalam standar mutu biji kakao SNI [Standar Nasional Indonesia] No : 2323-2008 [BSN, 2008]. Namun demikian, standar tersebut belum diimplementasikan secara baik dan massal. Sehingga biji kakao Indonesia masih mempunyai citra yang kurang baik dengan ciri-ciri : tidak difermentasi, kurang kering, ukuran biji tidak seragam dan banyak mengandung kotoran. Secara global, citra [brand image] yang demikian berakibat pada penurunan daya saing. Hal ini terbukti masih diterapkannya diskon harga dan perlakuan penahanan atas biji kakao asal Indonesia di beberapa negara konsumen. Sedangkan secara domestik, industri kakao nasional kekurangan bahan baku dan terpaksa harus mengimpor biji kakao fermentasi dari negara produsen lain [Afrika Barat].

Beberapa analis pasar memperkirakan bahwa pengaruh program Gernas terhadap peningkatan produksi kakao nasional akan mulai dirasakan setelah 3 tahun sejak awal dimulainya program tersebut tahun 2009 [Godfrey, 2011]. Pada saat itu, wujud revitalisasi kebun kakao untuk menjadikan produksi kakao nasional nomor satu di dunia baru akan terlihat hasilnya. Namun, predikat itu sebenarnya belum lengkap jika tidak diikuti dengan program peningkatan mutu biji kakao secara bersamaan dan juga bersifat massal. Selain akan meningkatkan citra kakao Indonesia, ketersediaan biji kakao bermutu [sesuai SNI : 2323-2008] akan memperkuat keterkaitan antara industri hulu-antara-hilir kakao domestik [backward and forward linkages] untuk menciptakan nilai tambah kakao dan daya saing yang lebih tinggi dari yang ada sekarang.

Peningkatan mutu biji kakao, baik untuk keperluan industri kakao lokal dan global, harus mengoptimalkan empat faktor utama penentu proses produksi, yaitu : mutu [quality], jumlah [quantity], biaya [cost] dan penyediaan [delivery]. Keempat faktor tersebut hanya dapat dicapai secara simultan, efektif dan efisien jika petani menghimpun dalam satu kesatuan usaha bersama. Para petani kakao diarahkan untuk membentuk kelompok untuk mengolah hasil kebun dalam skala usaha pengolahan berskala ekonomis. Tulisan ini membahas hasil pengembangan teknologi UPH [Unit Pengolahan Hasil] Kakao berbasis pada usaha kecil dan menengah [UKM] oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao di Jember.

RANTAI PASOK INDUSTRI KAKAO

Keterkaitan ketiga kelompok industri berbasis kakao dari hulu sampai hilir disajikan pada Gambar 1 berikut,

Gambar 1. Keterkaitan 3 kelompok industri berbasis kakao.

Kakao diperdagangkan dalam bentuk fisik sebagai biji kering dan digolongkan sebagai produk primer. Produk ini dihasilkan oleh kelompok industri paling hulu yang berperan mengolah buah kakao hasil panen menjadi biji kering. Pabrik pengolahan biji kakao dibangun mendekati sumber bahan baku [kebun] dengan tahapan proses utama adalah fermentasi, pengeringan dan sortasi. Konsumen utama biji kakao adalah industri kakao antara, yang umumnya berlokasi di kota besar. Kelompok industri ini berfungsi mengubah biji kakao menjadi produk antara [intermediate products] seperti pasta, lemak, bungkil dan bubuk kakao. Ketiga produk ini kemudian dipasok ke industri hilir untuk kemudian diolah lanjut menjadi produk-produk makanan dan minuman yang siap dikonsumsi oleh masyarakat, seperti, permen cokelat batangan, pralin susu bubuk cokelat, roti kering, es krim, biskuit dsb. Selain sebagai bahan baku makanan dan minuman, produk antara kakao juga dimanfaatkan sebagai bahan baku industri farmasi dan kosmetika antara lain untuk membuat sabun, lipstik, pelembab kulit dsbnya.

Di dalam sistem rangkaian rantai pasok biji kakao [supply chain], petani kakao merupakan pelaku usaha paling hulu dan mempunyai peran sentral sebagai penyedia bahan baku industri olahan kakao domestik dan global [Gambar 2]. Kurang lebih 90 % produksi kakao nasional, yang saat ini mencapai 650 ribu ton, dihasilkan oleh petani. Porsi biji kakao eskpor ke pasar global adalah 70 % melalui jalur eksportir domestik dan agen-agen pemasar global. Sedangkan sisanya digunakan untuk pasokan ke industri kakao domestik melalui pedagang perantara lokal dan Unit-Unit Pengolahan Hasil yang dikelola oleh kelompok tani [Simon., et-al., 2007; BKPM, 2010; Pusdatin, 2010].

Gambar 2. Rantai pasok kakao dari petani sampai industri kakao domestik dan global.

Petani kakao sebagian besar mengolah buah kakao menjadi biji kering dengan alat dan cara seadanya. Sehingga kurang lebih 90 % biji kakao yang dihasilkan oleh petani tergolong mutu rendah, dengan ciri-ciri utama tidak difermentasi, kurang kering, terserang jamur dan banyak mengandung kotoran [kontaminan]. Selain keterbatasan sarana pengolahan dan pengetahuan, petani tidak tertarik untuk mengikuti metoda pengolahan yang baik [baku] karena dipicu oleh minimnya insentif harga. Perbedaan harga antara biji kakao mutu baik yang diolah dengan baik dengan biji kakao yang tidak diolah sangat minim. Tata niaga biji kakao antara petani dan pedagang hanya berbasis pada jumlah [kuantum] dan tidak berorientasi pada mutu. Bahkan sering terjadi, tata niaga biji kakao di tingkat desa menggunakan mekanisme “ijon”; Pedagang memberi uang muka pada petani sebelum panen dan dibayar kembali oleh petani dalam bentuk biji saat panen. Dijumpai juga transaksi dengan mekanisme “barter”; pedagang memasok barang-barang kebutuhan harian petani dan kemudian ditukar dengan biji kakao pada musim berikutnya  [KPPU, 2009; Bina UKM, 2010]. Kondisi ini menyebabkan menurunnya daya saing biji kakao Indonesia di pasar global yang tercermin dari harga yang rendah akibat terkena diskon [Dinie Suryani & Zulfebriansyah, 2007; Firman Mutakin & Tumpal Sihaloho, 2008; BKPM, 2010].

Gambar 3 menunjukkan diagram daya saing biji kakao Indonesia dibandingkan dengan biji kakao yang dihasilkan oleh negara produsen lain seperti Nigeria, Ghana [kelompok Afrika Barat] dan Papua New Guinea [Kelompok Asia].

Gambar 3. Kurva daya saing biji kakao dari beberapa negara produsen.

Terlihat bahwa pada aspek mutu citarasa/aroma, biji kakao Indonesia mempunyai nilai sangat rendah, yaitu 1,50. Indikasi bahwa biji kakao Indonesia tidak difermentasi. Demikian juga aspek konsistensi mutu dan kadar lemak. Keduanya  mempunyai nilai maksimum 2,50. Suatu petunjuk bahwa secara umum biji kakao tidak diolah dengan menggunakan metoda baku dan terkontrol. Bahkan, mutu biji kakao dari Papua New Guinea lebih baik dari mutu biji kakao Indonesia. Nilai plus biji kakao Indonesia terletak pada aspek ketersediaan dan infrastruktur logistik yang mendapat nilai sedang. Dengan pertimbangan mutu, industri cokelat global lebih menyukai biji kakao dari Nigeria dan Ghana, yang mempunyai nilai mutu lebih tinggi, meskipun nilai pada aspek lainnya lebih rendah. Industri cokelat membeli biji kakao Indonesia hanya untuk keperluan bahan pencampur karena harganya murah [nilai tinggi]. Oleh karena itu, perbaikan mutu biji kakao rakyat merupakan hal mendesak yang harus segera dilakukan oleh pemerintah dan segenap pemangku kepentingan usaha kakao nasional.

PENERAPAN KONSEP UPH

Sesuai dengan kosa-katanya, agroindustri mengandung dua kata dengan arti yang kontras. Agro berarti sesuatu yang terkait dengan tanaman yang produksinya bersifat “intermiten” [terputus-putus], sedangkan industri mempunyai sifat operasional yang berkesinambungan dengan luaran yang kontinu. Industri kakao cenderung mengharapkan bahan baku selalu tersedia meskipun bukan musimnya. Oleh karena itu, UPH sebagai bagian integral dari sistem agroindustri harus menggunakan teknologi proses yang mampu beradaptasi dengan perubahan pasokan bahan baku [buah kakao]. Alat dan mesinnya harus mampu beroperasi secara fleksibel [luwes] dan mempunyai fungsi multi-guna [Tabel 1]. Selain itu, UPH harus menyiapkan gudang dengan kapasitas yang memadai untuk menjamin kontinuitas pasokan biji kakao ke industri.

Urutan proses UPH harus bersifat fleksibel, responsif dan mampu beradaptasi terhadap perubahan berbagai faktor produksi seperti,

  1. jenis, jumlah dan kualitas bahan baku [input].
  2. jenis, jumlah dan kualitas produk [output] sesuai permintaan pasar.
  3. lingkungan [cuaca, harga produk dan sumber energi]

Untuk menekan biaya pengolahan, operasional UPH menggunakan sumber energi yang bersifat terbarukan [renewable]. UPH juga dilengkapi dengan sarana untuk memanfaatkan seoptimal mungkin limbah kebun dan limbah pabrik menjadi bahan yang bernilai tambah [A to Z, Added Value to Zero Waste], seperti kompos, pakan ternak dsb [Sri Mulato & Edy Suharyanto, 2010]. Untuk mendapatkan mutu biji kakao yang memenuhi standar, seragam dan konsisten, setiap tahapan pengolahan di UPH harus diawasi secara regular dan berkelanjutan agar pada saat terjadi penyimpangan, suatu tindakan koreksi yang tepat sasaran dapat segera dilakukan. Tolok ukur mutu biji kakao hasil UPH adalah SNI [Standar Nasional Indonesia] : 2323 – 2008. Standar ini memuat karakteristik fisik biji kakao dan tingkat kontaminasi seperti yang tercantum pada Tabel 2 dan 3. Secara umum syarat biji kakao yang tertera di dalam SNI ditentukan atas dasar tingkat fermentasi, tingkat kekeringan, ukuran biji dan tingkat kontaminasi benda asing [kotoran].

Tabel 1. Urutan Proses UPH Kakao Berbasis UKM [Kapasitas 5 ton biji kering/minggu]

Tabel 2. Persyaratan umum mutu biji kakao.

Tabel 3. Persyaratan khusus mutu biji kakao.

PERANAN MUTU DALAM INDUSTRI KAKAO

Mutu bahan baku dalam industri sering diartikan sebagai “kesesuaian” antara sifat bahan baku yang ditawarkan oleh pemasok [petani] dan yang dibutuhkan oleh pengguna [industri]. Industri adalah suatu kegiatan produktif mengolah bahan baku [input] menjadi produk [output] untuk memperoleh keuntungan [profit]. Mutu biji kakao sebagai bahan baku utama industri cokelat akan sangat berpengaruh pada perolehan profit, daya saing produknya dan kelangsungan usahanya. Oleh karena itu, industri cokelat sangat memperhatikan kesusaian mutu biji kakao pada berbagai aspek dengan pertimbangan untuk,

Keamanan pangan

Jamur [kapang] merupakan kontaminan [kotoran] mikrobiologis yang tidak disukai oleh industri. Jamur selain merusak cita-rasa dan aroma khas cokelat, juga berpotensi memproduksi senyawa racun [toksik] yang berbahaya bagi kesehatan konsumen. Serangan jamur dianggap serius jika pertumbuhan jamur sudah masuk ke dalam keping biji. Biji kakao yang demikian akan ditolak oleh industri. Deteksi kualitatif jamur yang menyerang biji kakao dapat dilakukan secara visual dari munculnya warna putih di permukaan kulit biji. Serangan dianggap ringan, jika jamur hanya tumbuh di permukaan biji dan bisa dihilangkan dengan cara pencucian. Namun, serangan dianggap berat, jika warna putih sudah masuk ke dalam keping biji [nib] disertai bau menyengat [busuk] atau kurang sedap. Secara kuantitatif, serangan jamur yang demikian harus ditentukan secara laboratorium dengan bantuan media pembiakan di dalam petridis. Jumlah dan jenis mikroba yang menyerang biji kakao dapat diketahui secara teliti. Biji yang sudah terkena serangan jamur berat tidak dapat digunakan sebagai bahan baku cokelat. Jamur bisa tumbuh pada saat proses fermentasi yang kurang sempurna atau terlalu lama, proses pengeringan yang lambat [penjemuran saat cuaca buruk/hujan] dan saat penyimpanan biji setengah kering atau kodisi ruang gudang yang lembab.

Beberapa jenis kotaminan biji kakao yang juga mempunyai potensi mengganggu kesehatan konsumen adalah asap, bahan kimia beracun [pestisida], serangga dan kotoran hewan. Kontaminasi asap umumnya terjadi di dalam pengering mekanis yang tidak dilengkapi dengan pemindah panas. Asap hasil pembakaran kayu atau BBM mengandung senyawa kimia PAH [Poli Aromatik Hidrokarbon] yang berpotensi penyebab kanker. Kontaminasi asap, bahan bakar dan minyak pelumas juga mungkin terjadi pada proses penjemuran di pinggir jalan raya. Kontaminasi bahan kimia lain [pestisida] kemungkinan terjadi di kebun [saat pengendalian hama/penyakit], karung yang tercemar dan di dalam gudang penyimpanan yang berdekatan dengan gudang bahan kimia. Sedangkan, kontaminasi serangga dan kotoran bisa terjadi saat penjemuran [tanpa penutup] dan di dalam gudang.

Citarasa dan Aroma

Beberapa konsumen, terutama industri makanan dan minuman cokelat, menghendaki beberapa persyaratan mutu tambahan, yaitu uji organoleptik. Mereka lebih menyukai biji kakao yang mempunyai cita-rasa dan aroma khas cokelat yang menonjol dan rasa asam yang minimal. Citarasa dan aroma khas cokelat yang demikian akan diperoleh pada biji kakao yang telah mengalami proses fermentasi secara sempurna. Secara kualitatif, kesempurnaan proses fermentasi dapat dilihat dari perubahan warna keping biji kakao. Dengan uji belah dapat diketahui bahwa warna dominan keping biji tanpa fermentasi adalah ungu [violet] atau sering disebut biji slaty. Warna ungu disebabkan oleh kandungan senyawa polifenol yang masih tinggi. Senyawa ini menyebabkan rasa sepat dan pahit. Selama proses fermentasi, 60 sampai 70 % senyawa ini terurai secara enzimatis disertai dengan perubahan warna biji menjadi coklat sejalan dengan waktu fermentasi. Makin panjang waktu fermentasi, warna coklat makin dominan dan proses pembentukan senyawa pembentuk citarasa dan aroma khas cokelat menjadi lebih sempurna. Derajat fermentasi berdasarkan warna keping biji dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tingkat, yaitu,

  • Fermentasi kurang menghasilkan keping biji berwarna ungu penuh [tanpa fermentasi], warna ungu seperti batu tulis [fermentasi 1 hari], warna ungu dan coklat sebagian [fermentasi 2 – 3 hari],  warna cokelat dengan sedikit ungu [fermentasi 4 hari]
  • Terfermentasi sempurna menghasilkan keping biji berwarna  coklat  dominan [5 hari]
  • Fermentasi berlebihan [> 6 hari] menghasilkan warna keping biji coklat gelap dan  berbau tidak enak.

Rendemen Hasil

Rendemen [yield] merupakan perbandingan antara berat hasil olahan [pasta, lemak dan bubuk kakao] dan berat bahan baku [biji kakao]. Industri cokelat sangat menginginkan rendeman hasil yang tinggi. Nilai rendemen sangat dipengaruhi oleh kadar air, ukuran biji, cara pengolahan dan kandungan kontaminan [kotoran] yang tercampur ke dalam biji. Kadar air, selain penyebab kerusakan biji karena serangan jamur, juga berpengaruh terhadap rendemen hasil. Air dianggap sebagai bahan ikutan yang akan hilang pada saat pemrosesan [penyangraian].

Ukuran biji kakao sangat menentukan rendemen hasil. Selain faktor bahan tanam, ukuran biji dipengaruhi oleh faktor pemeliharaan tananam, agroklimat dan tingkat kematangan buah saat dipanen. Biji ukuran besar diperoleh dari bahan tanam unggul yang dirawat dengan baik dan dihasilkan dari buah kakao yang sudah masak [ripe]. Biji yang besar menghasilkan rendemen lemak yang tinggi pula. Lemak merupakan komponen yang paling mahal dari biji kakao. Panen buah yang kurang matang [under ripe] akan menghasilkan biji pipih/gepeng [flat bean]. Biji yang demikian mengandung lemak yang rendah. Kontaminan padat, seperti ranting, daun, tanah, plasenta, plastik dll, yang tercampur dalam biji kakao akan menurunkan rendemen hasil. Biji berkecambah merupakan jenis biji cacat yang diperoleh dari buah yang sangat matang [over ripe] dan bisa juga disebabkan oleh biji yang tidak difermentasi. Proses fermentasi yang baik akan mematikan daya kecambah biji. Tingkat fermentasi yang rendah juga akan menurunkan rendemen lemak karena komponen non-lemak masih tertinggal di dalam biji.

Kemudahan proses [process ability]

Kemudahan proses merupakan indikator bahwa bahan baku dapat diproses dengan cepat dan dengan biaya rendah. Waktu proses biji kakao dengan kadar air di atas standar [> 7,50 %] akan lebih lama sehingga kapasitas produksi turun. Energi penguapan air juga lebih besar, yang berakibat pada peningkatan biaya. Karena kandungan bahan non-lemaknya [selulosa] masih tinggi, biji yang tidak difermentasi diketahui lebih sulit diproses dan membutuhkan energi makanik lebih besar. Kontaminasi benda keras [batu atau besi] yang tercampur biji kakao selain akan menyebabkan komponen mesin cepat aus, juga menyebabkan pengaruh negatif terhadap kualitas cokelat [kehalusan].

PENERAPAN BISNIS UPH

Kalau dilihat pada Gambar 2, secara keseluruhan peran petani sebagai bagian dari entitas agrobisnis kakao masih sangat kecil. Padahal petani punya andil besar dalam penyediaan bahan baku untuk kelangsungan usaha industri kakao domestik dan global. Pendekatan pengelolaan UPH berbasis UKM diharapkan mampu memberikan sumbangan yang positif dan signifikan terhadap kondisi ekonomi dan sosial khususnya pada petani dan masyarakat pedesaan pada umumnya. Konsep UPH seharusnya tidak hanya dipandang sebagai pembangunan dan pendirian pabrik pengolahan semata, namun lebih ditekankan pada upaya merubah [transformasi] secara holistik dan membangun sikap mental kelompok tani yang semula berbudaya usaha “tradisionil” menuju budaya “industrial”.

UPH harus dipandang sebagai entitas [pelaku] bisnis dan dikelola secara terorganisir untuk mendapatkan manfaat ekonomis, sosial dan lingkungan secara optimal. Lingkup kegiatan agrobisnis meliputi penyediaan bahan baku [on-farm, kebun], pengolahan hasil [off-farm, pabrik] dan pemasaran produk [Gambar 4]. Komponen utama UPH adalah teknologi, pabrik lengkap dengan pra-sarana dan sarana produksi, SDM yang terampil, metoda proses produksi serta pengawasan mutu secara melekat, modal usaha dan pemasaran produk-produk secara luas. Keberlanjutan operasional UPH sangat tergantung pada kemampuan manajemen pengelolanya.

Gambar 4. Ruang lingkup sistem pengelolaan UPH.

UPH harus dikelola seperti layaknya usaha bisnis yang lain melalui penetapan rencana usaha [business plan] yang solid dan realistik sebelum pembentukan UPH direalisasikan [Gambar 5].

Gambar 5. Komponen-komponen penting dalam rencana usaha [business plan] UPH.

Rencana usaha merupakan “cetak biru” [blue print] yang mempunyai empat [4] fungsi utama. Pertama sebagai pedoman yang akan digunakan oleh pengelola [yang diangkat oleh pemilik] UPH untuk membawa arah usaha meraih manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan secara maksimal. Kedua sebagai penarik minat investor [penanam modal] dan pemberi pinjaman [perbankan] untuk ikut menanamkan modalnya. Ketiga sebagai pemikat pembeli untuk melakukan kontrak pembelian jangka panjang karena adanya kepastian produksi. Keempat sebagai acuan bagi pemilik usaha untuk mengawasi dan menilai konsistensi serta kesehatan pelaksanaan usahanya.

Rencana usaha mencerminkan kekuatan, kemampuan dan kesungguhan pengelola UPH untuk mencapai tujuan dan sasaran secara maksimal. Pada kondisi sekarang ini, petani secara individu tidak pernah melakukan perencanaan usaha. Sehingga mereka harus menyadari bahwa mereka harus membentuk kelompok, mendirikan organisasi usaha dan memilih pengelola UPH yang kompeten, profesional dan gigih dalam persaingan usaha. Pengelola UPH profesional inilah yang kemudian menyusun rencana usaha jangka pendek dan jangka panjangnya. Sedangkan, kelompok tani bertindak sebagai salah satu pemilik organisasi UPH [share holder] dan sekaligus sebagai produsen bahan baku. Karena petani merupakan pemilik aset produktif [tanah, tanaman, sarana dan prasarana produksi] dan ekosistemnya.

MANAJEMEN UPH

Manajemen pada dasarnya merupakan proses koordinasi SDM untuk memanfaatkan [mengelola] sumber daya [bahan baku, mesin, metoda, energi dan modal] secara optimal guna mencapai tujuan dan sasaran usaha secara efisien dan efektif. Efisiensi merupakan indikator manajemen yang berorientasi pada cara [metoda] dan biaya. Secara matematis efisiensi merupakan rasio antara output [keluaran] dan input [masukan] produksi. Efesiensi tinggi merefleksikan metoda produksinya benar. Indikasi bahwa UPH mampu berproduksi pada kapasitas penuh dengan biaya rendah. Sedangkan efektivitas merupakan indikator yang berorientasi pada hasil penjualan [sasaran]. Efektivitas manajemen digambarkan oleh prestasi penjualan yang tinggi [dekat dengan sasaran] dengan jumlah klaim [retur] produk yang rendah. Tingkat klaim umumnya terkait erat dengan kualitas produk dan respon pelayanan yang cepat/prima terhadap perubahan permintaan dan keluhan konsumen. Secara umum, manajemen UPH mempunyai lingkup pengelolaan kegiatan produksi, pemasaran,  keuangan dan pengelolaan SDM.

Manajemen Produksi

Manajemen produksi bertujuan untuk mengelola sumber-sumber daya [manusia, mesin, metoda, material dan uang] secara optimal untuk mengolah bahan baku [proses transformasi dan konversi] menjadi produk [output] yang sesuai dengan kebutuhan industri [market] baik dari segi kualitas, kuantitas, harga dan ketepatan waktu distribusinya dengan biaya dan jumlah limbah [waste] minimal [Gambar 6].

Sasaran manajemen produksi adalah produk berdaya saing sehingga pasar bisa menyerap sebanyak mungkin produk yang dihasilkan dengan mendatangkan profit yang maksimal. Ada 4 komponen proses produksi yang merupakan faktor internal dan sangat berpangaruh terhadap daya saing produk, yaitu produktivitas, kualitas, biaya produksi dan distribusi.

Gambar 6. Komponen proses produksi dan produk berdaya saing.

Dari segi produktivitas, indikator keberhasilan manajemen produksi adalah rasio antara realisasi dan perencanaan produksi. Makin besar nilai rasio ini, manajemen produksi berjalan baik dan kondisi usaha makin sehat. Sedangkan dari segi mutu, indikator keberhasilan adalah dari rasio antara jumlah produk yang ditolak [rejected] dan produk yang lolos uji kualitas [passed]. Dalam kontek ini, peran pengawas proses dan pengawas mutu merupakan hal yang mutlak. Makin kecil nilai rasio ini, manajemen produksi dianggap baik karena kerugian akibat kehilangan selama proses produksi [limbah] menjadi kecil. Bagian kontrol biaya bisa medeteksi kegagalan proses dari peningkatan biaya produksi yang tidak wajar. Klaim atau retur yang umum dihadapi oleh UPH adalah tingkat kekeringan, kontaminasi jamur, bau dan kotoran. Karena mengandung nutrisi dan lemak yang tinggi, penyimpanan dan pengangkutan biji kakao harus diawasi secara baik. Dalam hal ini, peran pengawasan mutu dan pengawas pasar sangat penting baik selama proses, di dalam gudang maupun saat produk dikirim ke industri.

Manajemen Keuangan

Manajemen keuangan berfungsi mengelola dana hasil penjualan dan mengalokasikannya secara efektif dan efisien untuk keperluan produksi, pembayaran utang, pembagian keuntungan ke pemegang saham [petani dll] dan pengembangan usaha. Sasaran manajemen keuangan adalah optimalisasi penggunaan dana melalui minimalisasi biaya dan memaksimalkan “keuntungan”. Alokasi biaya, pada dasarnya, bertujuan untuk menyeimbangkan antara proporsi ketersediaan dana [likuiditas] untuk keperluan produksi dan akumulasi dana yang terparkir [idle cash]. Untuk UPH kakao yang sebagian sahamnya dimiliki petani, fungsi dividen adalah sangat penting. Dividen  merupakan bagian dari laba usaha dan dibagikan sebagai insentif bagi para pemegang saham. Sehingga, petani sebagai salah satu pemegang saham bisa merasakan manfaat ekonomi secara langsung dengan eksistensi UPH di wilayahnya dan merasa ikut memiliki untuk membesarkannya.

Manajemen Pemasaran

Manajemen pemasaran berfungsi untuk mengelola hubungan transaksional dengan pasar [konsumen] melalui pemenuhan kebutuhan industri tentang suatu produk [jenis, kualitas dan kuantitas], mengatur mekanisme penyerahannya [distribusi] dan menetapkan kesekatan harga terhadap produk-produk yang telah dipilih oleh konsumen. Strategi pemasaran adalah membuka peluang pasar seluas-luasnya melalui komunikasi dan promosi intensif dengan tujuan untuk,

  1. menyelaraskan pola permintaan pasar dan kemampuan produksi
  2. merubah sikap pasar yang semula tidak berminat tentang suatu produk menjadi tertarik untuk membeli.
  3. menyadarkan pasar yang semula tidak tahu menjadi tahu
  4. mengaktifkan pasar yang cenderung turun
  5. memberi solusi produk baru untuk kebutuhan pasar yang belum ada atau belum terpenuhi
  6. mengamati perkembangan produk yang dihasilkan pesaing.

Konsumen UPH kakao adalah industri kakao/cokelat baik domestik mapun global. Mereka mendapatkan bahan baku biji kakao dari pedagang besar [importir] bertaraf global. Mereka menerapkan kaidah-kaidah pemasaran global yang meliputi aspek kualitas, kuantitas dan waktu penyerahan secara ketat. Bahkan sekarang ini, beberapa importir juga memasukkan aspek keberlanjutan pasokan jangka panjang sebagai tambahan syarat pembelian [Gambar 7]. Persyaratan demikian jelas tidak dapat dipenuhi oleh petani. Sehingga meskipun dengan harga rendah, petani hanya punya pilihan menjual biji kakao hasil panen kepada pedagang pengumpul tingkat desa. Suatu mekanisme transaksi yang sederhana dan cepat. Tidak terlalu terikat dengan persyaratan yang ketat, bahkan pedagang desa memberikan kemudahan dalam cara pembayaran melalui mekanisme bayar lunas [cash-carry] atau pemberian uang muka [pre-finacing] atau “ijon”. Kondisi ini yang menyebabkan petani tidak termotivasi untuk mengolah biji kakao secara baik karena tidak ada manfaat ekonominya secara nyata.

Gambar 7. Beberapa skema persyaratan pemasaran biji kakao.

Melalui pengembangan UPH kakao, mekanisme pemasaran diharapkan bisa menembus persyaratan-persyaratan yang diterapkan oleh importir besar. Dengan pengolahan secara kelompok, kualitas, kuantitas dan waktu pasokan bisa diatur sesuai kebutuhan pasar. Hal yang umumnya menjadi kendala adalah masalah modal kerja. Biaya untuk pembelian bahan baku merupakan komponen terbesar [ > 60 %] dari total biaya produksi di UPH. Pengelola UPH harus mampu memperoleh dana besar dari sektor perbankan, investor atau fasilitas pemerintah dan merundingkan mekanisme pembayaran yang meringankan, minimal uang muka. Sehingga, pengelola UPH bisa mengatur aliran uang [cash flow] secara sehat dan tidak mengganggu aktivitas produksi.

Manajemen Sumber Daya Manusia [SDM]

Manajemen SDM bertugas menetapkan kebijakan sistem pengorganisasian pelaksana produksi [SDM] terkait tugas dan fungsi masing-masing unit produksi untuk meningkatkan konstribusi produktif terhadap pencapaian tujuan dan sasaran usaha dengan memperhatikan aspek kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan kerja. Kebijakan operasional pengelolaan SDM mencakup sistem seleksi/penempatan, pengembangan kapasitas dan kompetensi kerja, penggajian, kontribusi, penghargaan, promosi, pengembangan karir dan keharmonisan kerja. Manajemen SDM harus memasukkan unsur pendidikan dan pelatihan secara terprogram, sistematis dan berkelanjutan bagi pelaksana UPH untuk peningkatan kompetensi, inovasi dan profesionalisme kerja. Pengelola UPH juga harus dibekali dan diperkuat dengan budaya kewirausahaan agar termotivasi untuk mengembangkan kapasitas dan jangkauan usaha pada skala yang lebih besar dan lebih luas.

MODEL PEMBINAAN UPH

Sejak berlakunya liberalisasi perdagangan, pelaku industri olahan kakao global lewat agen-agen resminya bisa memperoleh biji kakao langsung dari petani. Infiltrasi pedagang global [multi nasional], lewat agen-agennya di pasar domestik sampai ke pedesaan, sudah terlihat sejak tahun 1996; setelah diterbitkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 11/MPP/SK/I/1996 tentang Kegiatan Perusahaan Penanaman Modal Asing di Bidang Ekspor. Perusahaan multi nasional dapat melakukan pembelian bahan baku langsung dari produsen [perusahaan, koperasi dan perorangan]. Liberalisasi perdagangan tersebut menjadikan persaingan head to head antara pemain lokal dan pemain multi nasional makin ketat. Ruang gerak industri olahan kakao maupun eksportir domestik  untuk memperoleh biji kakao dari petani makin sempit. Mereka harus bersaing dengan agen-agen, yang disokong perusahaan multi nasional klas dunia yang secara ekonomis lebih kuat [KPPU, 2009].

UPH skala UKM yang tumbuh secara tradisional harus mampu bersaing dengan pedagang global yang tumbuh di era modern berbasis persaingan bebas. Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar UKM di Indonesia, terutama yang berbasis UPH kakao,  belum siap menghadapi tantangan tersebut. Ciri UKM yang mampu mengatasi persaingan adalah yang responsif terhadap perubahan. Oleh karena itu, UKM dituntut mampu memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen yang senantiasa berubah secara cepat, baik dari aspek harga, variasi produk, mekanisme transaksi dan pelayanan. Perubahan harus dimulai dari dalam [internal] UKM sendiri melalui trasformasi budaya, yang semula tradisionanil menjadi budaya industrial.

Transformasi budaya dan penguatan kemampuan berbisnis UKM tersebut tidak dapat dibiarkan berlangsung secara alami tanpa melalui serangkaian proses pembinaan. Meskipun  sangat dilematis, pembinaan UKM harus dilakukan dengan konsekuensi,

  1. pertumbuhan UKM sangat lambat, butuh waktu dan mungkin mati, jika mereka harus menghadapi persaingan UKM global tanpa bantuan dari luar [eksternal] yang bersifat sebagai katalis dan pemacu usaha.
  2. risiko UKM menjadi tidak mandiri, jika bantuan eksternal terhadap UKM diberikan secara berlebihan, tidak proporsional dan tidak edukatif.

Solusi jalan tengah adalah pembinaan yang bersifat diagnotis [kondisi kesahatan bisnis UKM] dengan berbagai pertimbangan yang rasional dan realistis agar proses pembinaan berdaya guna dan berhasil guna.

Ada beberapa model pembinaan, yang sifatnya diagnotis dan tidak menimbulkan dilema seperti tersebut di atas, yaitu,

Model Mentoring

Model ini memanfaatkan UKM [pihak 1] yang sudah mandiri dan sukses untuk menjalin dan membangun kerjasama bimbingan [supervisi] dan kemitraan dengan UKM pemula atau UKM yang sudah berjalan tetapi belum sehat [pihak 2]. Topik kerjasama harus dipilih pada titik-titik lemah yang dimiliki UKM [pihak 2] dan harus diperkuat oleh UKM [pihak 1].

Model Inkubasi

Model inkubasi menggunakan prinsip “kondisioning”, yaitu membuat lingkungan bisnis UKM menjadi kondusif, baik aspek produksi, finansial dan SDM melalui supervisi oleh ahli-ahli yang relevan dan kompeten selama waktu tertentu sampai UKM bisa berjalan sendiri menghadapi persaingan dengan UKM sejenis lainnya. Pada model ini, UKM dianggap sebagai “bayi” yang dimasukkan ke dalam “inkubator” dan ditunggui oleh “dokter”. Setelah sehat dan kuat, bayi tersebut dikeluarkan dari inkubator untuk menjalani lingkungan hidup yang normal.

Model Klaster

Model ini menggunakan basis kerja kemitraan antara beberapa UKM dan industri dengan masuk ke dalam sistem rantai pasoknya [supply chains]. UKM bisa berperan pada rantai pasok awal, penyediaan bahan baku atau bahan pembantu dan rantai pasok akhir, distribusi produk industri.

Model Mediasi

Aplikasi model ini mirip model inkubasi, tetapi dengan lingkup kegiatan yang lebih terbatas. Model ini tidak memberikan asistansi dalam hal keuangan, tetapi fokus membina UKM dalam hal pengolahan, pengawasan mutu dan membuka akses pasar ke pembeli-pembeli tertentu yang bersedia membeli produk UKM dengan harga berbasis kualitas dan kuantitas. Sebagai penjamin adalah mediator yang memang sudah dikenal dan dipercaya oleh pembeli dalam kepakarannya. Mediator biasanya adalah lembaga bisnis atau lembaga riset yang berorientasi bisnis.

KESIMPULAN

  1. Kakao adalah bahan baku utama makanan dan minuman cokelat. Peluang pengembangan UPH komoditas ini masih sangat besar seiring meningkatnya konsumsi cokelat dunia akibat pertambahan jumlah penduduk dunia dan kesejahteraan hidup.
  2. Program peningkatan mutu harus dikaitkan dengan perbaikan pendapatan petani yang ditempuh melalui pendekatan pengolahan secara kelompok di UPH. Pengembangan UPH kakao merupakan perpaduan antara pemilihan teknologi, penyiapan infrastruktur fisik, penyiapan SDM yang kompeten secara teknis dan manajerial serta transformasi sikap mental seluruh pemangku kepentingan UPH yang semula berbudaya usaha “tradisionil”menuju budaya “industrial”.
  3. Model UPH kakao pedesaan berskala UKM merupakan realisasi budaya industrial dan perlu didukung oleh rencana usaha [business plan] yang solid dan realistis serta berorientasi pada manfaat ekonomi dan sosial bagi seluruh pemangku kepentingan bisnis kakao dan perbaikan lingkungan di pedesaan.
  4. Transformasi budaya dan penguatan kemampuan berbisnis UPH perlu dikawal melalui aplikasi model pembinaan bersifat diagnotis yang cocok dengan kondisi serta kesehatan bisnis UKM yang bersangkutan.

 

BAHAN BACAAN

Anonim [2007]. Manajemen Ekonomi Masyarakat; Pemberdayaan Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah Pemberdayaan Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah. Bahan Diklat. Departemen Dalam Negeri dan Lembaga Administrasi Negara. Jakarta. June 2007.

 

Badan Standarisasi Nasional [2008]. SNI 2323 : 2008. Biji Kakao. ICS.67.140.30.

BKPM [2010]. Cocoa Plantation and Cocoa Industry. Agribusiness Update. Badan Koordinasi dan Penanaman Modal. Jakarta.

Bambang Purwoko. Paradigma Pengembangan Sumber Daya Manusia. Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM. www.bpurwoko.staff.ugm.ac.id. Diunduh, tgl : 22 Maret 2011.

Bina UKM [2010]. Posisi Komoditi Kakao Indonesia. www.BinaUKM.com.

Dinie Suryani & Zulfebriansyah [2007]. Komoditas Kakao : Potret dan Peluang Pembiayaan. Economic Review : 210. Desember 2007

Faisal Assaad, Djumilah Zain dan Sugiyanto [2009]. Keunggulan Komparatif Komoditi Kakao Dan Kopi Di Sulawesi Selatan. Agritek Vol 17. No 3. Mei 2009.

Firman Mutakin dan Tumpal Sihaloho [2008]. Iklim Usaha Industri Pengolahan Biji Kakao. http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/1107326.pdf. Diunduh 20 Agustus 2011.

Gill, J.O & M. Chatton [2006]. Memahami Laporan Keuangan Memanfaatkan Informasi Keuangan untuk Mengendalikan Bisnis Anda. Seri Panduan Praktis No. 30 PPM, Cetakan ke 4. Mei 2006.

Godfrey, KM Loh [2011]. Southeast Asia Cocoa Outlook ; A discussion of issues impacting Farmers, Cocoa Production and its export / import. World Cocoa Foundation, 19th Partnership Meeting & Roundtable Sessions. May 18‐19, 2011.San Francisco, CA

KPPU [2009]. Backgroud Paper. Kajian Industri dan Perdagangan Kakao. Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Jakarta. 2009.

Pusdatin [2010]. Outlook Komoditas Pertanian Perkebunan. Bab. IV. Kakao. Pusat Data dan Informasi Pertanian Kementerian Pertanian 2010. Jakarta. ISSN 1907-1507.

Simon, B., B. Matlick and J.B. Baon [2007]. A Value Chain Assessment Of The Cocoa Sector In Indonesia. U.S. Agency For International Development.RAISE Plus IQC Task Order EDH-I-04-05-00004-00. January 2007.

Sri Mulato dan Edy Suharyanto [2010]. Pengolahan Produk Primer dan Sekunder Kakao. Kumpulan Hasil Riset. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia.

Sufri, M [2007]. Analisis Daya Saing Komoditas Ekspor Non-migas Dan Perubahan Struktur Ekonomi Implikasinya Terhadap Kebijaksanaan Pembangunan Di Sulawesi Selatan. http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=gdlhub-gdl-s3-2007-sufrimukhl-3551. Diunduh, 19 Agustus 2010.

Tambunan., T [2008]. Masalah Pengembangan UKM di Indonesia : Sebuah Upaya Mencari Jalan Alternatif, Bahan diskusi Forum Keadilan Ekonomi (FKE) Institute for Global Justice, Jakarta, 28 September 2008.

Tambunan., T [2010]. Ukuran Daya Saing Koperasi dan UKM, Background studi RPJM Nasional 2010 – 2014, Bidang Pemberdayaan Koperasi dan UKM, Bappenas.

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

× WhatsApp