SITUASI PASAR GLOBAL
Berbisnis kopi harus memahami situasi pasar global. Karena kurang lebih 60 %, produk kopi domestik diekspor ke pasar global. Dalam 20 tahun terakhir ini, produksi kopi global bertambah hampir 61 %, dari 94,6 juta karung [@ 60 kg] tahun 1990-an menjadi 152,2 juta karung pada tahun 2012-2016. Selama kurun waktu tersebut, konsumsi kopi domestik masing-masing negara produsen kopi juga meningkat kurang-lebih 55 %. Hal itu menyebabkan penurunan ekspor negara-negara produsen kopi dari 77 % menjadi 72 %. Industrialiasi, peningkatan kemakmuran dan perubahan gaya hidup secara bersamaan telah mendongkrak peningkatan konsumsi kopi di masing-masing negara produsen kopi [Gambar 1].
Dalam kurun waktu yang sama, pasar kopi robusta global mengalami pergeseran yang positif. Dominasi pangsa pasar arabika sedikit tergerus dari yang semula 69 % pada rentang waktu 1992-1996 menjadi 62 % pada kurun waktu 2012-2016. Sebagai produsen kopi robusta, hal ini membuka pintu Indonesia untuk ekspor kopi robusta lebih banyak dari posisi yang sekarang ini.
Dalam skala global, sebagian besar komoditi kopi diperdagangkan dalam bentuk biji dan tidak ada perubahan yang signifikan sejak dari tahun 1992-1996 [94 %] dan tahun 2012-2016 [91 %]. Meskipun persentase ekspor biji sangrai sangat kecil, ekspornya mengalami peningkatan hampir tiga kali lipat dari 0,1 % menjadi 0,3 %. Sementara, ekspor dalam bentuk kopi instan naik sedikit dari 5,6 % menjadi 8,7 %.
SITUASI PASAR DOMESTIK
Indonesia merupakan produsen kopi terbesar ke-4 di dunia. Posisi pertama ditempati Brazil, diikuti oleh Vietnam, dan Kolombia. Brazil dan Kolombia merupakan produsen kopi arabika. Sementara produksi kopi Indonesia dan Vietnam didominasi oleh robusta. Sejak tahun 2009, produksi kopi Indonesia cenderung stagnan di kisaran 680 ton/tahun. Namun dalam kurun waktu yang sama, produksi kopi arabika meningkat hampir dua kali yang semula 8 – 10 % menjadi 15 – 20 %. Hal ini dianggap positif karena pola produksi kopi Indonesia telah menrespon permintaan pasar kopi global, yaitu 70 % arabika. Ekspor kopi [dalam bentuk biji kopi mentah, biji sangrai dan instan] Indonesia ke pasar global berkisar antara 450 – 500 ribu ton [Gambar 4].
Selain untuk ekspor, konsumsi kopi untuk pasar domestik pada kurun waktu 10 tahun terakhir ini mengalami peningkatan cukup tajam, yaitu 5 – 6 %/tahun dan saat ini menyentuh angka 360 ribu/ton. Melihat selisih angka produksi-konsumsi, maka Indonesia dipastikan juga melakukan import dari negara produsen kopi lainnya. Sebagian kopi import digunakan sebagai bahan baku industri kopi instan [soluble coffee]. Serapan pasar produk berbasis kopi instan Indonesia relatif tinggi, yaitu sekitar 30%. Pangsa pasar kopi instan domestik dalam bentuk kopi mix 3 in 1 diperkirakan terus berkembang sebagai dampak promosi yang masif, harga relatif terjangkau dan kepraktisan dalam penyeduhan. Segmen pasar ini ikut mengdongkrak konsumsi kopi domestik yang sekarang mencapai kurang lebih 1,10 kg/orang/tahun.
Komsusi kopi domestik terkait dengan tingkat kemakmuran masyarakat [pendapaan masyarakat. Para analis memperkirakan setiap pendapatan per kapita naik 1 % akan mengangkat konsumsi kopi menjadi 2 %. Jika mengacu pada pertumbuhan produksi kopi domestik yang justru stagnan, tidak tertutup kemungkinan dalam rentang waktu 2 -3 tahun, Indonesia akan termasuk negara “nett-importer” kopi. Dugaan tersebut bisa terbukti sekiranya upaya mengatrol produksi dan produktivitas tidak dilakukan secara terencana dan berkelanjutan. Produktivitas kebun kopi Indonesai masih bertengger di tingkat 700 kg/ha/th, sementara produktivitas Vietnam, sebagai negara tetangga dekat sesama produsen kopi sudah mencapai di atas 2000 kg/ha/th.
POTRET KOPI JAWA TENGAH
Untuk mengatrol produksi kopi, Kementerian Pertanian saat ini mencanangkan program intensifikasi dan ekstensifikasi lahan kopi. Program intensifikasi berupa perbaikan tanaman kopi robusta seluas 4.900 hektare di beberapa propinsi, antara lain, di Jawa Tengah. Program tersebut mestinya bisa dimanfaatkan untuk memunculkan ikon-ikon kopi baru menyusul Temanggung dan Bondowoso. Kedua wilayah kopi ini sudah masuk ke dalam peta citarasa kopi bertaraf nasional dan global karena mampu menghasilkan citarasa kopi yang spesifik [Gambar 5].
Saat ini, Jawa Tengah memiliki luas areal kopi lebih kurang 39 ribu hektar dengan produksi sekitar 22 ribu ton setara 3 % produksi nasional. Dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah [RPJMD] Perubahan 2013—2018, rencana peningkatan produksi kopi hanya diproyeksikan sebesar kira-kira 2000 ton dalam 5 tahun atau setara rata-rata 400 ton/tahun [Tabel 1].
Mengacu pada pertambahan laju konsumsi kopi domestik sebesar 5 % atau 35 ribu ton/tahun, maka kontribusi Jawa Tengah dalam peningkatan produksi nasional tersebut hanya 1,15 %. Nilai ini sesuai dengan prediksi para pelaku bisnis kopi dan belum memadai untuk mengejar laju konsumsi kopi domestik di atas. Kalau kondisi kebun kopi secara nasional tidak segera dibenahi, dalam kurun waktu 5 tahun ke depan Indonesia akan menjadi “nett importir” kopi.
Langkah konkret perlu diambil untuk mendorong peningkatan produksi kopi di Jawa Tengah. Intensifikasi lahan kopi bisa menjadi prioritas. Pada lahan yang sesuai bisa diterapkan pola tanam kopi secara zig-zag [high density planting]. Populasi tanaman kopi/ha bertambah banyak yang awalnya 1500 pohon menjadi 3000 pohon. Kemudian disusul dengan program ekstensifikasi. Potensi lahan kopi Jawa Tengah yang sesuai untuk budidaya kopi masih tersedia relatif besar. Dari aspek pembiayaan, Pemerintahan Daerah bisa menyinergikan dan mensinkrokan alokasi dana Pusat [Kementerian Pertanian] dan Daerah [APBD]. Demikian juga, paket bantuan kepada petani tidak semata tertumpu dalam bentuk fisik, seperti, penyediaan bibit unggul, bantuan pupuk dan pasokan bahan pengendali hama/penyakit tanaman. Tetapi juga, perbaikan infrastruktur jalan kebun yang memadai untuk memperlancar penyaluran sarana produksi dan pemasaran hasil.
PEMBERDAYAAN POTENSI DAERAH
Hasil analisis hierarki yang dilakukan oleh Universitas Negeri Semarang tahun 2016 di perkebunan kopi rakyat Wonosobo terekam bahwa upaya peningkatan produksi dan mutu kopi harus dilakukan secara integral, dari aspek budidaya tanaman, pengolahan hasil [pascapanen] dan pemasaran biji kopi. Meskipun studi tersebut hanya mengkaji di wilayah terbatas, temuannya secara umum bisa dijadikan acuan oleh produsen kopi wilayah lainnya di Jawa Tengah. Mengingat, saat ini Wonosobo merupakan satu-satunya ikon kopi Jawa Tengah dan sudah dikenal secara luas, bahkan sampai tingkat global. Hasil riset tersebut menekankan pada pembenahan ketiga aspek di atas melalui pendampingan petani dalam bentuk edukasi secara sistematis, masif dan berkelanjutan. Esensi dari pendampingan adalah memberi pencerahan, bimbingan dan menjadikan petani sadar ilmu-teknologi kopi sebagai pedoman dalam pengelolaan kebun kopinya. Tenaga penyuluh harus memiliki “passion” [keterampilan teknis, antusiasme dan sabar] dalam membimbing petani. Karena, sebagian besar petani kopi sudah berusia antara 45 – 55 tahun dengan latar pendidikan rata-rata di bawah atau setara SLTA. Sehingga, tidak hanya tanaman kopi saja yang perlu diremajakan, tetapi juga petaninya. Menko Perekonomian telah memunculkan gagasan untuk mendekatkan industri kopi ke dunia pendidikan. Tidak tertutup kemungkinan didirikan SMK Kopi sebagai sumber SDM berkelanjutan untuk perkebunan kopi masa depan.
Budidaya kopi berbasis GAP [Good Agricultural Practices]
Di dalam rantai pasok biji kopi [supply chains], petani merupakan pelaku usaha paling depan [hulu] dan mempunyai peran sentral sebagai penyedia utama bahan baku industri kopi domestik dan global. Nasib industri kopi sangat ditentukan oleh para peani. Pasokan kopi ke industri yang tercermin dalam produktivitas kebun kopi sangat ditentukan oleh sikap petani dalam mengelola kebunnya. Sebagai partner bisnis, sudah saatnya, pola pikir [mindset] petani diubah agar berperilaku layaknya pengusaha. Petani harus dididik untuk mendaya-gunakan aset [tanah dan tanaman] seoptimal mungkin, kalkulasi finansial [untung-rugi], alokasi modal kerja, perluasan usaha dan resiko [asuransi]. Ciri petani bermental pengusaha adalah penguasaan ilmu-teknologi supaya mampu beradaptasi dengan perubahan tuntutan pasar kopi yang sangat dinamis. Di sisi lain, tenaga penyuluh harus menjadi sumber terpercaya bagi petani dalam memasok kebutuhan informasi dan teknologi terkini yang bisa mendukung revitalisasi lahan kopi petani.
Intensifikasi kebun kopi dimulai dari pembelajaran teori dan ketrampilan teknik budidaya kopi berbasis GAP berbasis kearifan lokal. Dalam jangka panjang, petani diharapkan tidak tergantung pada bantuan fisik dari pihak lain. Ilmu dan teknologi akan memotivasi petani untuk mampu berkreasi dan berinovasi secara mandiri untuk mengelola kebunnya dengan memanfaatkan sumber daya lokal yang tersedia. Dampak positif penerapan GAP terhadap peningkatan produksi kopi telah dikaji di kebun kopi wilayah Temanggung pada tahun 2016 oleh tim Pusat Penelitian Kopi Kakao. Beberapa komponen GAP yang diterapkan adalah pemilihan lahan tanaman kopi robusta kategori S1 [sangat sesuai tanpa faktor pembatas] dan S2c [sesuai dengan faktor pembatas iklim/curah hujan]. Komponen GAP yang juga diadopsi oleh petani meliputi, pemilihan klon unggul, populasi tanaman/luasan kebun, pemangkasan secara reguler, penanaman pohon pelindung produktif, integrasi ternak dan pemanfaatan pupuk kandang dengan dosis yang cukup [1 ton/hektar]. Produktivitas tanaman kopi robusta yang dikelola atas dasar GAP meningkat menjadi 1 ton/ha/tahun atau kurang lebih 30 % lebih tinggi dari produktivitas kebun kopi tanpa mengikuti standar GAP. Dalam skala lebih luas, perkebunan kopi milik BUMN juga telah menerapkan GAP untuk intensifkasi dan ekstensifikasi kebun kopi sejak lama. Hal itu terbukti dari produktivitas kebun kopi yang melewati angka 1,5 ton/ha/th. GAP sudah dibakukan dalam Peraturan Menteri Pertanian No: 49/2014.
Konsepsi dasar GAP adalah program pembangunan pertanian berkelanjutan. Selain manfaat ekonomi, pengelolaaan kebun kopi harus berwawasan lingkungan dan menjaga kelestarian sumberdaya alam. Dengan penerapan GAP secara luas, petani lebih siap untuk mengikuti program-program sertifikasi kopi skala global. Produk kopi bersertifikat “ekolabel” sudah menjadi tren pasar kopi dunia saat ini. Beberapa lembaga dunia telah melakukan sertifikasi kopi di Indonesia, antara lain, “Organic”, “Fair Trade”, “UTZ”, “RainForest Alliance”, “Bird Friendly” dan “4C” [Tabel 2].
Secara ekonomi, sertifikasi tersebut berdampak pada peningkatan harga jual kopi dan akses pasar yang lebih luas. Perbaikan harga merupakan insentif bagi petani untuk berproduksi kopi lebih banyak dan sekaligus menjaga kelestarian lingkungan.
Pascapanen berorientasi segmen pasar
Seiring peningkatan produksi, petani dilatih berbagai metoda pengolahan buah kopi yang berorientasi pasar. Saat ini, teknologi pengolahan kopi sudah berkembang untuk merespon permintaan pasar kopi yang makin variatif. Petani sejak awal bisa memilih metoda pascapanen sesuai standar mutu yang diinginkan konsumen [Gambar 6].
Petani diharapkan bisa mengenali karakteristik biji kopi sesuai dengan segmen pasar yang dituju. Ciri-ciri produksi biji kopi regular adalah klasifikasi mutu atas dasar uji fisik mengikuti SNI [Standar Nasional Indonesia], kuantum produksi cukup besar, namun harga relatif murah serta berfluktuasi. Sebaliknya, kopi premium dan spesialti memberikan tawaran harga jual tinggi serta stabil, dengan konsekuensi petani harus memenuhi persyaratan mutu standar SCAA [Specialty Coffee Association of America]. Selain syarat uji mutu fisik yang ketat, standar SCAA menyertakan uji citarasa biji kopi dengan nilai tinggi sebagai syarat utama. Standar ini juga meminta syarat panen buah petik merah. Petani yang ingin masuk ke pasar ini mulai berlatih klasifikasi mutu SCAA, termasuk uji organoleptik sederhana untuk membedakan citarasa biji kopi hasil panen racutan, petik merah dan panen lelesan.
Sertifikasi mutu biji kopi regular dilakukan oleh suatu Lembaga Sertifikasi Produk [LSpro] yang ditunjuk oleh Pemerintah, yaitu Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Jember. Petani, secara individu atau kelompok, bisa mengirim sampel biji kopi hasil olahannya ke laboratorium LSpro tersebut. Nilai hasil uji laboratorium akan disandingkan dengan nilai standar yang tertera dalam SNI Kopi: nomor 297-2008. Jika laporan hasil uji sesuai dengan nilai terkait dalam SNI, maka biji kopi tersebut akan diberi label SNI. Peringkat mutu biji kopi regular terdiri atas 1 sampai 6. Mutu 1 adalah peringkat tertinggi dengan batasan nilai cacat maksimum 11. Sedangkan peringkat terendah adalah mutu 6 dengan syarat jumlah nilai cacat antara 151 – 225.
Berbeda dengan biji kopi regular, biji kopi klas premium dan spesialti tidak hanya diuji dari aspek fisik, tetapi juga citarasanya yang dilakukan oleh panelis. Biji kopi yang lulus dari uji ukuran dan uji cacat kemudian dianalisis lanjut citarasanya oleh tim panelis bersertifikat internasional yang dikeluarkan oleh Coffee Quality Institute [CQI]. Panelis uji kopi arabika spesialti disebut sebagai Qgrader yang memiliki kemampuan dalam metoda penilaian mutu biji kopi secara organoleptik. Sedangkan, panelis bersertikat untuk kopi robusta disebut Rgrader. Hasil penilaian [scoring] Qgrader akan memberikan korelasi antara jumlah nilai cacat yang terdeteksi dalam sampel biji kopi dengan citarasanya. Semakin kecil jenis dan jumlah nilai cacat dalam sampel akan memberikan nilai uji citarasa semakin tinggi. Nilai cacat biji kopi premium maksimum 8, dengan nilai uji citarasa mendekati 85. Sedangkan, nilai cacat biji kopi spesialti maksimum 5, dengan nilai uji citarasa di atas 85. Nilai tertinggi citarasa adalah 100.
Pemasaran
Setelah mengelola kebun sesuai GAP, mengolah hasil panen sesuai segmen pasar, petani kemudian belajar mengenal dan cara meraih pasar. Membuka pasar ditempuh melalui pencitraan merek dagang [branding] dan disusul dengan promosi secara luas ke pasar domestik dan global. Biji kopi dari suatu wilayah harus memiliki merk atau identitas. Merek kemudian direpresentikan dalam bentuk simbol [logo] yang mudah terpatri dalam ingatan konsumen. “Branding” adalah upaya membangun citra merek untuk menumbuhkan hubungan emosional antara konsumen dan merek. Kegitan branding meliputi upaya untuk meyakinkan konsumen tentang keunggulan standar kualitas, kepercayaan [reliabilitas], gampang ditelusuri asal-usulnya [traceability], status citarasa dan keamanan produknya. Secara sederhana, branding bisa diwujudkan dalam kegiatan promosi, antara lain, lewat iklan, pameran dan publikasi. Produk dikemas dengan tampilan menarik, logo yang mudah diingat dan tagline mengundang minat pembeli. Bisnis berbasis digital internet dan berbagai jenis media sosial merupakan sarana promosi yang cepat, masif dan murah.
Selain lewat media sosial, Pemerintah juga telah banyak memberikan fasilitasi promosi biji kopi rakyat di even nasional dan global. Demikian juga, Pemerintah Daerah gencar mempromosikan biji kopi dari daerahnya masing-masing dan menyelenggarakan festival/kompetisi kopi antar wilayah penghasil kopi. Juara kompetisi tersebut kemudian diikut-sertakan dalam lomba tingkat nasional dan global sekaligus untuk promosi. Di pasar global, Kementerian Luar Negeri melalui Duta Besar/Atase Pertanian/Perdagangan aktif menggelar even pameran dan temu bisnis dengan para importir terbesar kopi, seperti Amerika dan Uni Eropa. Momen promosi tersebut seharusnya disikapi positif oleh petani dengan menyiapkan fisik biji kopi yang berkualitas disertai dokumen pendukung dalam bentuk “product knowledge” yang lengkap. “Product knowledge” adalah informasi akademik dari biji kopi dalam hal; asal-usul [origin], varietas, ekosistem tanaman [ketinggian kebun, iklim, kondisi tanah, jenis penaung, pemeliharaan tanaman], cara panen, metoda pengolahan dan sertifikat mutu fisik [SNI] dan citarasa [Qgrader atau Rgrader]. Konsumen kopi pasar global juga sangat peduli pada kelestarian lingkungan asal kopi ditanam. Selain penerapan GAP secara konsisten, petani yang ingin ekspor kopi harus melengkapi produknya dengan sertifikat berlabel lingkungan [ekolabel], seperti yang disajikan pada Tabel 2 di atas.
Hilirisasi kopi lewat pintu Agrowisata
Produk hilir kopi adalah kopi bubuk siap seduh. Hilirisasi adalah proses mendekatkan produk kopi tersebut ke konsumen. Selama ini biji kopi dihasilkan di desa, dibawa ke kota untuk dikonversi jadi kopi bubuk oleh industri dan dijual lagi ke desa. Hilirisasi lewat agrowisata upaya mempertemukan industri kopi, pariwisata di kawasan pedesaan kebun kopi dengan petani sebagai aktor sentral. Agrowisata tematik kopi akan menggabungkan antara keindahan alam kebun, pengelolaan kebun dan proses produksi kopi berwawasan lingkungan serta pemasaran produk kopi secara terintegrasi, tertata dan berurutan [Gambar 7].
Di sekitar komplek pengolahan adalah kebun kopi milik petani, yang dikelola dengan konsep GAP, sebagai pemasok buah kopi. Buah kopi langsung diolah mengikuti alur metoda proses berbasis mutu standar mutu SNI. Biji kopi sesuai peringkatnya dikonversi lanjut menjadi berbagai produk kopi hilir, dikemas secara apik dan dijual di “outlet” kopi [Gambar 8].
Setelah berkeliling kebun, para wisatawan bisa bersantai menikmati seduhan kopi asli di Kafe, menikmati hiburan tradisionil dan diteruskan belanja produk olahan yang tersedia di “Factory Outlet”. Kawasan agrowisata kopi memperoleh pemasukan dari penjualan karcis masuk, penjualan berbagai produk kopi baik dalam bentuk oleh-oleh dari “outlet” maupun dari penyajian minuman di Kafe, jasa tenan [penyewa] jajanan makanan, hiburan dan jasa dari agen-agen wisata. Kawasan ini juga mendapatkan pemasukan tambahan dari penghematan biaya bahan bakar gas yang dihasilkan dari reaktor biogas. Bahan baku pembuat gas adalah campuran limbah kulit buah kopi dan kotoran sapi. Sedangkan, kulit tanduk dimanfaatkan sebagai campuran pakan sapi yang merupakan bagian integral pengelolaan agrowisata kopi. Secara kumulatif, pemasukan keuangan bisa dipakai untuk memenuhi biaya operasional dan pengembangan usaha secara mandiri.
Manajemen agrowisata harus membuat sistem pembagian keuntungan secara adil kepada petani sesuai kontribusinya. Membangun agrowisata adalah mengembangkan kawasan dan tidak bisa dilepaskan dari partisipasi masyarakat di sekitar kawasan. Para petani kopi adalah pemilik aset kawasan dan merupakan pemegang saham terbesar dari kawasan agrowisata. Kontribusi petani kopi diwujudkan dalam bentuk kerelaan untuk penyatuan lahan kopi miliknya sebagai wilayah kawasan wisata. Sedangkan, peran masyarakat-non petani bisa berupa penyediaan akomodasi, lahan parkir, kantin, transportasi, kerajinan tangan, produk olahan non-kopi dan jenis bisnis layanan lainnya. Secara umum, kegiatan agrowisata akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan kegiatan ekonomi pedesaan, memberikan edukasi ke masyarakat untuk melestarikan lingkungan. Hal ini sejalan dengan Misi Pemerintah Daerah Jawa Tengah untuk mewujudkan pembangunan pertanian dan perkebunan yang mengedepankan pro-poor, pro-job, pro-growth dan pro-environment dengan memperhatikan kearifan lokal.
Untuk menambah daya-pikat kepada wisatawan, pengelola kawasan agrowisata kopi perlu merangcang paket wisata dengan menggandeng pelaku bisnis obyek-obyek wisata lainnya yang berdekatan. Potensi wisata sepanjang rute perjalanan menuju kawasan utama agrowisata kopi perlu dipetakan untuk membentuk jejaring wisata yang menawarkan berbagai suguhan wisata tematik yang berlainan. Paket wisata ini menjadi esential ketika wisatawan datang dari jarak yang jauh. Masing-masing obyek wisata bisa dimanfaatkan oleh wisatawan untuk istirahat sambil menikmati wisata tematik di wilayah itu. Paket agrowisata sudah dikategorikan sebagai produk bisnis yang harus didukung dengan manajemen pengelolaan yang baik, pemandu wisata yang terampil dan promosi. Keunikkan agrowisata perlu diperkenalkan dan dipublikasikan secara luas, lewat situs internet, media-sosial, penyebaran brosur tepat sasaran dan pemasangan penunjuk lokasi yang jelas.
Tautan Agrowisata dengan HoReKa
Seiring dengan pertumbuhan ekonomi, bisnis HoReKa [Hotel Resto Kafe] berkembang sangat cepat. Sejak tahun 2009, jumlah HoReKa naik hampir 100 %. Secara kumulatif, jumlah HoReKa saat ini sudah lebih dari 8000 buah. Pertambahan bisnis tersebut sangat menyolok terjadi sejak 5 tahun lalu, yaitu sebanyak 3000 buah. Sementara penambahan hotel relatif tidak banyak [Gambar 9].
Seperti halnya Agrowisata, bisnis HoReKa tidak akan terlepas dari kopi. Yang berbeda hanya lokasinya. Agrowisata berlokasi di desa, namun mampu memproduksi produk kopi dari hulu sampai hilir secara mandiri. Sebaliknya, HoReKa terletak di kota. Pasokan kopinya mengandalkan pelaku usaha lainnya. Pabrik kopi Agrowisata sebaiknya bisa menggaet peluang pasar HoReKa tersbut. Perlu riset pasar untuk memetakan jenis produk yang diminati oleh para pebisnis HoReka; apakah dalam bentuk biji kopi, biji kopi sangrai atau kopi bubuk. Tidak seperti warung kopi, HoReka papan atas memiliki standar operasional yang baku [SOP], termasuk dalam pembelian biji kopi. Teknologi dan alat penyeduhan semakin canggih dan variatif. Sehingga, mutu biji kopi dan metoda penyangraiannya harus menyesuaikan dengan teknologi penyeduhan yang digunakan oleh masing-masing HoReka. Hal tersebut seharusnya dipahami oleh pengelola Agrowisata agar proses hilirisasi kopinya bisa berjalan dua arah. Kopi untuk masyarakat desa dan sekaligus untuk komunitas perkotaan.
Selain hal-hal terkait teknis produksi kopi, pengelola agrowisata hendaknya menguasi teknik pemasaran secara “on-line”. Maraknya bisnis “on-line” bisa memutus rantai tata-niaga kopi tanpa harus lewat tengkulak. Para petani bisa menjual secara langsung kepada HoReKa di kota. Tren penjualan langsung ini tercermin di kanal jual beli kopi online yang meningkat hampir tigakali lipat, yang semula kurang-lebih 40 ribu produk pada 2016 menjadi hampir 120 ribu produk selama 2017. Agrowisata harus memiliki situs internet [website] untuk menjaring lebih banyak konsumen. Pengguna internet Indonesia terus tumbuh subur dan saat ini sudah mencapai hamper 145 juta [Gambar 10].
Situs internet harus menarik dan harus minta bantuan tenaga profesional. Tampilan situs internet merupakan cerminkan dari produk yang dijajakan. Situs berisi “product knowledge” kopi yang ditawarkan yang memuat tentang, jenis kopi, varietas, kualitas [regular, premium, spesialti], musim dan cara panen, kuantitas produksi [per minggu, bulan dan stok], waktu dan cara deliveri [biasa, ekspres, prioritas], tinggal dan tanggal sangrai, jenis kemasan, sertifikat [ekolabel, keamanan pangan, halal] dan cara pembayaran. Situs internet akan lebih menarik jika menyajikan tulisan-tulisan popular tentang kopi dari wilayah agrowisata, jumlah pengunjung, keikutsertaan dalam pameran promosi dan kejuaraan kompetisisi local, domestik dan global.
RUJUKAN
Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Jawa Tengah [2013]. Rencana Strategis Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 – 2018.
Erdiansyah, N.V & A. Wahono, [2016]. Pengembangan dan Budidaya Kopi Robusta di Kabupaten Temanggung Jawa Tengah. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. 28. (1). Februai 2012. PB. Sudirman 90 Jember 68118.
Fitria, A & N.V. Erdiansyah [2012]. Sertifikasi Kopi Berkelanjutan di Indonesia. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. 24. (2) Juni 2012. PB. Sudirman 90 Jember 68118.
ICO (2018). Development of Coffee Trade Flows.
International Coffee Council 121st Session, 9 – 13 April 2018, Mexico City, Mexico.
Kementerian Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan [2014]. Pedoman Teknis
Budidaya Kopi Yang Baik (Good Agriculture Practices /Gap On Coffee). Peraturan Menteri Pertanian Nomor 49/Permentan/Ot.140/4/2014.
Pratiwi, R.R., [2016]. Hambatan Dan Strategi Pengembangan Usahatani Kopi Dalam Upaya Peningkatan Produksi Di Kecamatan Candiroto Kabupaten Temanggung. Skripsi Sarjana Ekonomi. Universitas Negeri Semarang.